Wabah korona yang melanda dunia telah merenggut banyak nyawa. Paradigma kehidupan manusia pun bergeser. Seperti panyandra para dalang dalam pertunjukan wayang kulit menjelang adegan pathet 9, “Rep tidhem permanem tan ana bawane walang alisik, samirana datan lumampah, ron-ronan datan ebah”. Jagat serasa berhenti dan waktu seperti membeku, menjelang tabuh 12 malam: sepenggal momen persinggungan antara jagat gedhe dan jagat alit.
Berbagai bidang kehidupan, dari agama, politik, hingga ekonomi, seolah memerlukan tafsir dan penyikapan baru yang sungguh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Kebudayaan Jawa tradisional meletakkan wabah korona seperti yang terjadi di hari ini sebagai pagebluk, yang secara historis sudah beberapa kali terjadi sejak zaman purba.
Saya menemukan catatan historis yang berupa pasemon tentang berbagai peristiwa besar yang terselip di antara pertunjukan wayang kulit (Mahapralaya: Seputar Wayang, Gempa, dan Tsunami, https://filsafatwayang.filsafat.ugm.ac.id). Terkait dengan peristiwa historis pagebluk para dalang kerap pula mengungkapkannya sebagai sebuah peristiwa di mana para manusia “esuk lara sore mati.”
Untuk menyimpulkan bahwa peradaban telah sampai pada titik-baliknya tampaknya bukanlah suatu hal yang berlebihan. Kisah klasik Aji Saka dan Prabu Dewata Cengkar saya kira sekedar pasemon tentang sebuah peristiwa besar ketika nusantara dilanda berbagai goncangan kosmologis dan dekadensi kebudayaan di masa lampau.
Kisah perang besar Bharatayuda yang melibatkan Pandawa dan Kurawa serta perang saudara dan tenggelamnya kerajaan Dwarawati yang dipimpin oleh seorang raja yang terkenal bijaksana, Kresna, adalah pasemon tentang lenyapnya peradaban nusantara ribuan tahun yang lalu oleh letusan gunung-gunung berapi (gunung jugrug), gempa bumi (lindhu ping pitu sedina), dan gelombang tsunami (samudra kadya kinocak).
Beranjak dari penelitian tentang misteri waktu dalam karya-karya Ronggawarsita (“Zaman Kalabendu” Ronggawarsita, https://www.berdikarionline.com, Berlalu di Zaman (yang Tak Benar-Benar) Baru https://jurnalfaktual.id), saya menemukan bahwa bencana, alam maupun kemanusiaan, ternyata terangkai dalam satu siklus. Konsep tanggap ing sasmita dalam kebudayaan Jawa pada akhirnya adalah satu kearifan lokal tentang sikap waspada pada peristiwa yang berulang dengan varian yang berbeda.
Adakalanya, seturut dengan kearifan lokal Jawa, bencana tak serta merta dapat ditanggulangi oleh manusia. Itulah kenapa dalam beberapa peristiwa besar Ronggawarsita hanya berpesan sebagaimana dalam Serat Kalatidha: “Beja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lawan waspada.”
Pada bidang ekonomi, satu tulisan dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2020 menyebutkan, Bank Dunia telah merilis prediksi perekonomian Indonesia selama wabah korona dengan nilai pertumbuhan nol persen. Saya kira, dengan mempertimbangkan pernyataan WHO bahwa virus Covid-19 tak akan cepat lenyap, juga prediksi ekonomi dunia yang terkesan suram, satu terobosan paradigma ekonomi perlu dirumuskan sebagai sebuah alternatif. Paradigma ekonomi alternatif itu, saya tekankan, bersumber dari berbagai kearifan lokal.
Paradigma-Paradigma Ekonomi Modern
Michel Foucault, dalam The Order of The Things: An Archaeology of The Human Sciences (1970), mencatat bahwa dalam setiap epos sejarah terdapat apa yang ia istilahkan sebagai “episteme” atau secara sederhana tatanan pengetahuan yang mengubah pula tatanan sosial, dan sebaliknya. Pada bidang ekonomi, misalnya, Adam Smith berpandangan bahwa ketika manusia diberi kebebasan penuh tanpa regulasi untuk berkompetisi, maka diandaikan kesejahteraan manusia akan tercapai.
Inilah yang mendasari prinsip survival of the fittest, bahwa siapa yang kuat ialah yang bertahan, karena ekonomi sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Hal ini kentara dalam perkara modal, bahwa pemodal besar pasti akan menelan pemodal kecil. Akibatnya muncullah eksploitasi ekonomi. Adam Smith, tak pelak lagi, adalah peletak dasar ekonomi kapitalisme, bahwa modal adalah “Sang Tuhan.”
Sementara Thomas More, lewat Utopia-nya, yang kemudian dijadikan sumber inspirasi kalangan sosialis, mengetengahkan satu angan tentang masyarakat, ketika tak akan ada lagi tuan dan budak, yang dalam penafsiran kalangan sosialis, sebagai konsekuensi dari sistem kapitalisme. Semua orang dalam masyarakat yang diangankan itu saling hidup berbagi. Tak ada lagi kelas, tak ada lagi orang kaya dan orang melarat. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari sosialisme dengan masyarakat tanpa kelasnya.
Karl Marx datang di kemudian hari dengan menyatakan bahwa, sebagaimana kalangan sosialis, kapitalisme hanya akan menyuburkan setan penindasan, yang sederhananya si kaya akan semakin kaya dan si melarat akan semakin melarat. Tapi berbeda dengan sosialisme yang ia nyatakan sekadar angan pelipur lara, Marx berpandangan bahwa masyarakat tanpa kelas tersebut haruslah diciptakan dengan cara merebut alat-alat produksi yang dikuasai oleh para kapitalis.
Marx memilih kalangan buruh (proletar) sebagai agen perubahan, sebab merekalah yang selama ini paling merasakan penindasan. Karena itu perserikatan buruh menjadi hal yang utama untuk mendidik dan menyadarkan mereka untuk kembali merebut apa yang menurutnya sudah menjadi haknya. Perubahan radikal dengan cara merebut alat-alat produksi itulah yang lazim disebut sebagai revolusi yang acap melazimkan kekerasan dan teror—bahkan Lenin, satu di antara penerus Marx, pernah mengatakan bahwa kekerasan itu ibarat bidan bagi lahirnya satu perubahan.
Dari ketiga cara pandang ekonomi itu Foucault menemukan bahwa sebenarnya mereka sama saja atau berjalan pada episteme yang sama: modal. Baik kapitalisme, sosialisme, dan komunisme, sama-sama mendongeng tentang modal dan kemudian mengembangkan pemikiran mereka atas dongeng tersebut.
Pada titik ini sebenarnya mereka memiliki status dan validitas yang sama: tak ada yang lebih baik atau lebih buruk di antara ketiganya pada masa kini (pasca modernisme). Sebab konsep manusia (humanisme) yang menjadi sentrum ketiga sistem yang merupakan anak kandung modernisme tersebut ternyata hanyalah sebuah penemuan baru yang akan berubah atau bahkan hilang seiring set pengetahuan (arrangement) yang berubah laksana, untuk meminjam metafora Foucault, seraut wajah yang tergurat di tepi pantai.
Untuk mengelaborasikan tilikan Foucault lebih lanjut, saya kira pada tataran proyeksi baik kapitalisme dengan welfare state-nya dan sosialisme-komunisme dengan classless society-nya, hanyalah serupa pengoleksi foto-foto bugil untuk diedarkan pada orang-orang kesepian. Dalam hal ini, meminjam Deleuze-Guattari, sesungguhnya hasratlah (desire) yang menentukan modal, bukan pasar, sebagaimana diyakini oleh kapitalisme (prinsip bekerja semampunya dengan hasil yang sesuai).
Juga bukan regulasi pasar sebagaimana diyakini oleh sosialisme (dengan prinsip bekerja dan mendapatkan hasil sesuai dengan regulasi [kesepakatan] yang ada). Pun bukan negara sebagaimana yang diimani oleh komunisme (prinsip bekerja semampunya dengan hasil yang sama rata).
Dalam dunia pasca modern sesungguhnya sudah tak ada lagi tuan dan budak, pemodal dan proletar. Sebab pasar (sebagai representasi kapitalisme) telah mengkooptasi pola pikir, kebiasaan, ikon-ikon, dan jargon-jargon yang dahulu anti atau menyatakan perang terhadapnya dan mengubahnya menjadi komoditas untuk disuapkan kembali pada orang-orang yang melawannya.
Di sinilah kemudian konsep hegemoni Gramsci mendapatkan kegamblangannya: merangsang dan memanfaatkan daya perlawanan untuk memapankan atau melembagakan sekaligus mengembangbiakkan (proliferasi) penghisapan. Pada titik ini terbukti bukanlah modal yang menentukan segalanya, tapi adalah hasrat yang sifatnya seringkali tak tersadari (fluiding atau tak dapat dilokalisir) dan menggandakan (prinsip multiplisitas).
Paradigma ekonomi modern—kapitalisme, sosialisme, dan komunisme—pada akhirnya beranjak dari suatu ideal tertentu: kesejahteraan. Dari ketiga corak ekonomi tersebut sudah jelas bahwa kesejahteraan berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya dapat diukur, yang otomatis ketika hal-hal yang sifatnya dapat diukur itu tercapai, kebahagiaan pun diandaikan tercapai pula.
Padahal paradigma semacam ini jelas keliru, karena kebahagiaan adalah sebuah kualitas yang tak dapat diukur. Menempatkan sesuatu yang dapat diukur pada sesuatu yang tak dapat diukur adalah sebentuk kesalahan cara berpikir. Itulah kenapa dalam disiplin ilmu polemologi, atau acap dikenal sebagai kajian konflik dan perdamaian, dalil pertama yang mesti diketahui adalah bahwa konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari, karena menjadi bagian inheren dari konsep masyarakat (society) itu sendiri.
Konflik hanya bisa diolah/diatur karena ketika konflik itu dilenyapkan, maka dengan sendirinya masyarakat itu pun lenyap. Dengan demikian seandainya orientasi seluruh paradigma ekonomi modern—mulai dari kapitalisme, sosialisme dan komunisme—adalah kebahagiaan manusia, maka tak dengan sendirinya negara yang terkategorikan sejahtera akan bahagia (damai).
Wabah korona yang masih ada hingga kini, pada tataran ekonomis justru menyingkapkan kelemahan paradigma-paradigma ekonomi modern. Terbukti, meski nilai pertumbuhan ekonomi tercatat sampai nol persen, ternyata tak cukup memengaruhi kebahagiaan ataupun kesusahan orang. Orang yang berkecimpung dalam perekonomian perlu tahu tentang kebahagiaan dan kesusahan yang tak sebangun dengan kesejahteraan ekonomi, sebagaimana diidealkan oleh paradigma-paradigma ekonomi modern.
Seorang yang lekat dengan paradigma modern tentu tak habis pikir bagaimana mungkin seorang buruh tani misalnya, dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-harinya dan mengantarkan anak-anaknya memperoleh jenjang pendidikan tinggi, bahkan sampai menjadikan mereka orang berpangkat.
Kawruh Beja Sebagai Salah Satu Kearifan Lokal Nusantara
Adalah seorang G.B.R Soekatmaji, atau yang lebih terkenal dengan gelar Ki Ageng Suryomentaram (KAS), yang dalam khazanah budaya Jawa pertama kali membahas perihal kebahagiaan dalam renungan-renungan eksperientalnya yang terkenal dengan istilah “Kawruh Beja” (Suryomentaram di Tengah Temaram Zaman, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
KAS sama sekali tak meletakkan kebahagiaan dan kesusahan secara materialistis atau mengaitkannya dengan tercapai atau tak tercapainya segala hasrat yang setelah ia teliti ternyata selalu mengacu pada hal-hal yang dapat diukur. Saya mengartikan istilah KAS “karep” sebagai hasrat karena lebih mengena pada konteks perekonomian.
Menurut salah seorang putra dari HB VII ini hasrat itu tak ada batasnya. Karakteristik utamanya adalah senantiasa mulur-mungkret atau mengembang dan mengempis. Seumpamanya berhasrat memiliki sepeda pancal, setelah terpenuhi, hasratnya tersebut akan mengembang kembali untuk mendapatkan sepeda motor, mobil, pesawat, atau bahkan pesawat ulang-alik dan entah apalagi. Seandainya dituruti, hasrat itu tak akan pernah berakhir.
Maka, terkait dengan hasrat, mekanismenya seperti halnya angan atau waham yang dalam khazanah budaya Jawa sering diperumpamakan sebagai “wong lumpuh mideri jagat” (orang pincang mengelilingi jagat). Seandainya ukuran kebahagiaan itu adalah terpenuhinya segala hasrat, maka sudah pasti ketika seumpamanya orang sudah memiliki sepeda pancal ia akan bahagia. Padahal tak demikian adanya, orang itu masih merasakan kesusahan, karena dengan berangan kembali memiliki sepeda motor tentunya segala aktifitasnya akan semakin mudah daripada bersepedapancal.
Pada titik ini ketika ia berangan demikian, maka hasratnya mengempis (mungkret) yang pada akhirnya membuatnya gelisah, cuwa (kecewa), dan susah. Karena itu, untuk keluar dari kesusahan, hidupnya kemudian dipacu (ngangsa-angsa) untuk memenuhi hasratnya tersebut. Ketika hidup dalam suasana terpacu hasratnya yang semula ingin keluar dari kesusahan dengan mendapatkan sepeda motor justru semakin menyorongnya pada suasana penuh ketegangan.
Belum lagi seandainya hasratnya tersebut tak dapat terpenuhi, yang akhirnya membuat hasratnya kembali mungkret yang menyebabkannya susah. Ketika berhasil memenuhi hasratnya pun tak akan menjamin bahwa ia akan bahagia, sebab dengan mekanisme serupa hasratnya akan mengembang kembali (mulur) sampai tak terbatas. Dengan demikian, ukuran kebahagiaan dan kesusahan tak terletak pada terpenuhi atau tak terpenuhinya segala hasrat.
Adalagi karakteristik hasrat yang membuat orang lupa untuk berbahagia: getun-sumelang (sesal dan khawatir). Getun berkaitan dengan kesilaman yang tak dapat terpenuhi dan sumelang berkaitan dengan kemendatangan yang takut tak terpenuhi. Padahal seandainya diteliti keduanya sungguh tak ada gunanya yang justru akan semakin menyorongnya pada kesusahan. Bukan pada masalah pesimisme atau optimisme sebagaimana yang terkenal dalam ilmu motivasi modern yang terkesan sok bijak.
Dalam hal ini KAS dan kawruh beja-nya tak sedang memotivasi orang. Ia hanya meneliti keadaan manusia dan kehidupannya. Seperti halnya seorang sosiolog yang mencari jawaban atas proses terjadinya sebuah fenomena sosial. Atau dengan kata lain, kawruh beja KAS tak bersifat normatif laiknya agama ataupun psikologi konseling.
Dengan demikian, apa itu kebahagiaan pun bukan menjadi concern utama KAS dan kawruh beja-nya. Kebahagiaan bukanlah untuk diteliti dan diketahui. Yang dapat diteliti dan diketahui adalah hasrat yang senantiasa mulur-mungkret, datang dan pergi seenaknya sehingga membuahkan kesusahan. Dalam khazanah budaya Jawa terdapat sebait lagu dolanan yang melukiskan karakteristik hasrat tersebut.
E, dhayohe teka
E, gelarna klasa
E, klasane bedhah
E, tambalen jadah
E, jadahe mambu
E, pakana Asu
E, Asune mati
E, kelekna kali
E, kaline banjir
E, selehna pinggir
E, tamunya datang
E, gelarkan tikar
E, tikarnya koyak
E, tamballah jadah
E, jadah-nya basi
E, berikanlah pada Anjing
E, Anjingnya mati
E, larungkan ke kali
E, kalinya banjir
E, letakkan di pinggir
Ketika mengerti (wikan) dan selalu meneliti hasrat inilah menurut KAS seseorang itu dikatakan sebagai orang yang beruntung (beja). Dengan perspektif kawruh beja, dapat diketahui bahwa terdapat kesalahan mendasar pada paradigma-paradigma ekonomi modern. Sehingga, harapan yang terlalu muluk atau mengembang seperti welfare state dan classless society akan selalu berujung pada kekecewaan (cuwa).
Dengan demikian, dari perspektif kawruh beja, akan tampak bahwa para ekonom tak ubahnya “wong lumpuh mideri jagat.” Orientasi waktu mereka akan senantiasa berpusar pada kesilaman dan kemendatangan yang ketika kebijakan-kebijakannya ditempuh pada saat ini akan sama sekali tak berkaitan dengan kebahagiaan.