Jumat, 15 Januari 2021 menjadi hari nahas bagi warga Kampung Kandang Doro, kampung yang berdempetan dengan kali Pepe dan Stasiun Balapan, karena berkonflik soal tanah dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Kampung itu persisnya berada di Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.
Rumah-rumah di kampung tersebut tidak memiliki sertifikat tanah. Mereka diperbolehkan tinggal di sana dengan berbekal surat perjanjian dengan KAI. Isinya berupa kontrak tanah yang harus dibayar secara berkala.
Seiring waktu, urusannya bukan sekadar rumah untuk tempat bernaung. Di balik rumah-rumah magersari di kampung tersebut, terekam sejarah masa lalu yang selalu diingat oleh warga kampung Kandang Doro. Kenangan itu tidak akan lenyap setelah nanti digusur atau direlokasi.
Satu contoh menarik, misalnya penamaan Kandang Doro. Menurut warga, nama itu muncul karena banyaknya kandang burung merpati di daerah tersebut. Doro adalah bahasa Jawa dari merpati.
“Dahulu sewaktu saya lahir, memang kampung tersebut sudah dinamai Kandang Doro, karena banyaknya kandang burung dara yang tersebar didaerah ini.” kata Eny (55), warga kampung, pada Rabu (27/1/2021).
Kampung Doro terbagi menjadi dua Rukun Tetangga (RT) yakni RT 02 RW 06 dan RT 03 RW 06. Warga Kandang Doro lebih mengenal pembagian daerah tersebut dengan sebutan wong wetan atau orang timur untuk warga RT 02 dan wong kulon atau orang barat untuk warga RT 03. Dua RT tersebut selalu rukun.
Pembagian kampung tersebut juga ada sejarahnya. “Pada tahun 1970-an, kampung kulon masih menjadi pekarangan atau kebon, batasnya hanya sampai rumah Ibu Handayani. Bagian wetan yang berdampingan persis dengan parkiran Stasiun Balapan sekarang adalah kuburan wong Londo (Belanda) namun sudah diratakan.” kata Eny.
Sebelum parkiran Stasiun Balapan diperluas, daerah tersebut merupakan daerah yang multifungsi. Pada tahun 2009 tempat tersebut masih berupa pekarangan yang hanya memiliki pohon-pohon besar. Namun pada tahun 2015 beralih menjadi lapangan bola voli yang digunakan anak-anak kampung Kandang Doro untuk berolahraga atau sekadar dolan (bermain).
“Di sebelahnya ada kandang-kandang burung dara dan ayam yang menjadi ingon-ingon (peliharaan) warga, dan disebelahnya lagi masih menjadi kebon atau pekarangan. Namun karenanya semakin banyaknya pengunjung stasiun, maka tempat tersebut diubah secara damai menjadi tempat parkir untuk pengunjung stasiun.” kata Agung Nugroho, warga lain.
Langsiran Sepur
Ketika usai menjalankan tugasnya untuk mengantar penumpang, kereta akan kembali ke arah depo untuk perawatan. Warga Kandang Doro khususnya anak-anak remaja lantas memanfaatkannya untuk bermain.
Para remaja tersebut menaiki kereta tanpa seizin KAI. Ketika kereta berjalan sangat pelan, mereka mulai melompat ke pintu kereta. Rasanya seru dan menyenangkan.
“Dahulu alasan adanya kegiatan ini untuk mengisi waktu-waktu luang, membersihkan kereta dan mencari bahan bekas seperti botol dan gelas plastik untuk dijual,” kata Agung, mengenang kejadian masa lalu.
Biasanya kegiatan saat langsiran sepur itu dilakukan di sore hari sekitar pukul 16.00 WIB dengan beberapa teman. Namun jika bertemu dengan tukang bersih-bersih kereta, malahan beberapa dari mereka sering memberi botol-botol bekas untuk dibawa turun.
Permasalahan mulai muncul apabila kegiatan ini diketahui oleh Polsus (Polisi Khusus). “Awalnya hanya ditegur, namun jika diulangi akan dibawa ke kantor Polsus untuk diminta mendatangkan orangtua,” ujar Agung.
Berdampingan dengan Kali Pepe
Kali merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat karena memiliki air yang dapat bermanfaat. “Dahulu waktu saya masih kecil sekitar tahun 70-an, kali tersebut difungsikan untuk tempat buang air besar dan memancing ikan. Lantas jika mandi dan mencuci pakaian saya pergi ke sumur umum.” kata Eny.
Pada tahun 2016, Kampung Kandang Doro dipilih oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk penerapan Program Kampung Iklim (PROKLIM). Program itu merupakan usulan dari walikota, agar Kampung Iklim Kandang Doro dapat tertata rapi dan menjadi penunjang bagi program Pemerintah Kota Surakart yaitu wisata air sungai Pepe.
Jika dilihat sekarang, kampung yang berdempetan dengan sungai tersebut sudah mulai rapi. Ada pembatas pagar besi, agar tidak ada anak yang jatuh ke sungai.
Banyaknya pemukiman di kampung tersebut diikuti dengan munculnya kos-kosan maupun kontrakan untuk umum. Bahkan para Polsus yang merantau pun mendiami rumah kontrakan di kampung Kandang Doro. Tidak sedikit pendatang yang lebih menyukai ngekos atau ngontrak dengan alasan dekat dengan tempat kerja.