Sedang Membaca
Imam Asy-Sya’rani dan Seni Menyikapi Perbedaan Fikih
Avatar
Penulis Kolom

Rohmah Mutiati menimba ilmu di beberapa pondok pesantren, di antaranya Pondok Darul Huda Ponorogo, al-Munawir Krapyak Yogyakarta, Murattilil Qur’an Qadran Kediri, dll. Saat ini sedang tabarukan di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran al-Muqorrabin Ponorogo.

Imam Asy-Sya’rani dan Seni Menyikapi Perbedaan Fikih

Foto Mizanul Kubra

Adanya perbedaan dalam kehidupan ini adalah suatu keniscayaan. Artinya, mau atau tidak, senang atau tidak perbedaan akan tetap kita temui. Hal senada juga terjadi dalam fikih. Sebagaimana dipahami oleh para ulama, fikih merupakan ilmu yang bersentuhan secara langsung dengan kehidupan praktis umat muslim.

Perbedaan Pendapat dalam Fikih, wajarkah?

Bila kita melihat sejarah umat muslim, sejatinya perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan alami dalam Islam selama hal tersebut dapat dibenarkan dalam pandangan syariat. Sebut misalnya perbedaan antara para sahabat dalam memahami larangan Nabi “Jangan kalian salat Asar kecuali di Bani Quraidhah.”

Satu golongan memahami secara literal. Artinya mereka tidak melakukan salat Asar kecuali memang mereka telah sampai di perkampungan Bani Quraidhah meski waktu Asar telah lewat. Golongan yang lain memahami larangan tersebut secara maqashidi. Artinya, tujuan dari larangan tersebut adalah perintah Nabi untuk bersegera sampai di Bani Quraidhah. Hingga saat waktu Asar akan habis dan mereka belum sampai, mereka menunaikan salat Asar meski tidak di perkampungan Bani Quraidhah.

Dr. Abdus Sami’ al-Maliky dalam kitabnya Minhāj at-Ṭālib fī Muqāranah bain al-Madzāhib menjelaskan lima hal yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Pertama, persoalan lafal. Tidak jarang perbedaan pendapat muncul akibat dari lafadz yang mengandung makna lebih dari satu. Misalnya quru’ dalam surah Al-baqarah ayat 228 yang mempunyai arti suci dan haid. Kedua, persoalan riwayat. Perbedaan penerimaan suatu riwayat juga menjadi sebab munculnya perbedaan pendapat.

Baca juga:  Berpoligami Seperti Kiai Hafidin atau Memilih Setia Seperti BJ Habibie?

Ketiga, persoalan pertentangan antar dalil (at-ta’arudh baina al-adillah). Misalnya kata washiyah yang diperintahkan dalam ayat 180 al-Baqarah untuk kedua orangtua dan kerabat, sedang pada suatu hadis dikatakan “sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada yang seharusnya, maka tidak ada washiyah bagi orang yang mewarisi.

Keempat, persoalan ‘urf (adat kebiasaan). Adat kebiasaan dalam Islam dapat dipandang sebagai hukum selagi tidak menyelisihi syariat. Dalam konteks ini, tidak dapat dipungkiri bila tradisi atau adat istiadat antar satu komunitas masyarakat berbeda dengan masyrakat lainnya. Hal ini pada akhirnya juga menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama. Kelima, persoalan dalil hukum yang berbeda. Misalnya qiyas, mafhum mukholafah, dan lainnya.

Mizanul Kubra: seni menyikapi perbedaan  

Adalah Imam Asy-Sya’rani penulis kitab mīzānul kubrā. Ia merupakan salah seorang ulama yang menawarkan sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fikih. Beliau dilahirkan di desa Qalsyafandah, Mesir pada 27 Ramadhan 898 H. Ulama yang meninggal tahun 973 H ini telah menulis kurang lebih 50 karya dalam beragam cabang keilmuan Islam, mulai dari hadis, fikih, tasawuf dan lainnya.

Mīzānul kubrā secara bahasa dapat diartikan sebagai timbangan yang besar. Dalam kitab ini, Imam Sya’rani meletakkan perbedaan pendapat ulama dalam persoalan fikih bukan pada suatu yang saling bertentangan. Justru keragaman pendapat ulama tersebut dipahami Imam Sy’rani sebagai manifestasi dari keragamaan sasaran pelaku yang dikenai beban hukum.

Baca juga:  Ulama Banjar (193): H. Muhammad Husni Nurin

Dua timbangan utama, yakni lemah (dho’if) dan kuat (qawiy), baik itu jasmani maupun iman. Bagi orang yang kuat (qawiy) maka dibebani dengan pendapat hukum yang berat, begitu sebaliknya bagi orang yang lemah (dho’if) dikenai beban hukum yang ringan (rukhshoh). Artinya berbagai pendapat ulama dapat ditujukkan dalam dua timbangan tersebut.

Misalnya tentang beban hukum puasa ramadhan bagi murtad (orang yang keluar Islam). Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Maliki ketiganya sepakat atas beban puasa bagi orang murtad. Artinya, seorang murtad kemudian kembali memeluk Islam wajib qadha puasa yang ditinggalkannya. Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Hanafi yang menyatakan tidak adanya beban hukum bagi murtad.

Bagi Imam Sya’rani, semua para Imam Madzhab tidak mengeluarkan suatu pendapat kecuali setelah melakukan analisis dengan dalil dan burhan. Dengan kata lain, para Imam madzhab dalam pancaran sinar syariat. Sehingga, tidak selayaknya pendapatnya ditolak dengan dasar kebodohan (al-jahl) dan permusuhan (al-‘udwān). Perbedaan pendapat yang muncul dapat dipahami sebagai perbedaan sasaran yang dituju. Pada poin ini Imam Sya’rani mengajarkan kepada kita untuk bersatu dalam perbedaan (unity in diversity).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top