Musyawarah Nasional Alim Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret 2019 menyoroti sejumlah persoalan krusial. Satu di antaranya adalah Rancangan Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha.
Muhammad Syamsudin, anggota komisi dan tim perumus draf keputusan mengatakan, RUU itu dirancang untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena UU ini dirasakan masih belum dapat menampung dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 ini dikatakan bahwa tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, serta mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut, dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diberikan wewenang untuk menerima laporan, melakukan penelitian, penyelidikan dan atau pemeriksaan, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat, serta memberikakn sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU.
Namun demikian, kata Syamsudin, praktik-praktik usaha yang tidak sehat masih saja merajalela, seperti melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran (monopoli), menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal (monopsoni), penguasaan pasar baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, serta persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender.
“Banyak faktor yang melatar belakanginya, mulai dari kongkalikong antara pengusaha dengan pejabat, masih maraknya praktik suap, dan tipu daya antar pengusaha,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam revisi UU No. 5 Tahun 1999 ini terdapat beberapa masalah pokok yang menjadi perdebatan, antara lain soal pengertian “praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”; kelembagaan dan kewenangan KPPU, Persoalan denda dan hukuman; serta kode etik dan dewan Pengawas.
Pihaknya mendorong rencana perbaikan perangkat hukum yang mengatur persaingan usaha, mengingat pada waktu penerbitan UU No. 5/1999 di waktu sebelumnya diperoleh kesan penyusunan yang tergesa-gesa. Forum juga cenderung menyetujui draft revisi UU yang memperluas kewenangan KPPU untuk bertindak sebagai penyidik, penuntut, dan sekaligus pemutus perkara dalam kewenangan KPPU.
“Hanya saja, perlu perbaikan mengenai substansi, struktur pasal-pasal, dan redaksi muatanmuatan baru yang diperlukan agar kepentingan umum dapat dikedepankan guna mencapai efisiensi dan kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Terkait dengan kemungkinan adanya peleburan (merger) dua atau lebih perusahaan/badan usaha, forum Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah mengusulkan adanya antisipasi melalui aturan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang berlaku, khususnya untuk jenis usaha yang melibatkan penanam modal asing (PMA) guna melindungi produk dan pengusaha dalam negeri dalam berkiprah di negeri sendiri.
Proses diskusi berlangsung dinamis oleh peserta yang terdiri dari para kiai pesantren dan utusan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama dari berbagai daerah di Indonesia. Selain soal RUU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, komisi tersebut juga membahas soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Keputusan final dari diskusi tiap komisi pada Munas Alim Ulama ini akan digulirkan kembali pada sidang pleno, Jumat (29/2) besok, untuk ditinjau lalu diresmikan sebagai keputusan Munas-Konbes NU 2019. (*)