Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan asli dan tertua di Indonesia. Dahulu pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat dari segala tingkatan sosial, mulai anak petani, bangsawan bahkan putra sultan, semua dididik di pesantren.[1]
Pesantren mengajarkan pendidikan islam secara kaffah (sempurna). Disiplin ilmu yang diajarkan di pesantren mencangkup seluruh cabang keilmuan islam. Mulai dati tauhid (teologi), fikih dan ushul fikih, tafsir beserta ilmunya, hadits beserta musthalahnya, serta ilmu sastra arab secara lengkap.
Akhlaq dan tasawuf yang basisnya adalah perbaikan perilaku dan kebersihan hati, juga terus digemblengkan kepada para santri. Hal ini bertujuan menjadikan santri memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, selain juga memiliki kecerdasan intelektual.
Materi-materi tersebut diajarkan di pesantren secara berjenjang mulai yang paling mudah hingga yang paling jlimet. Dan dalam waktu yang lama, tidak instan! Maka tidak heran, jebolan pesantren mayoritas memiliki kualitas keilmuan agama dan sosial yang dalam dan luas.
Pendidikan pesantren dengan model asramanya terbukti telah sukses mencetak manusia yang mempunyai keunggulan secara lahiriyah dan batiniyah. Hal ini bisa tercapai karena selain dijejali segudang keilmuan, para santri juga senantiasa dididik langsung untuk berusaha mengamalkan ilmu yang telah ia terima, plus selalu didampingi oleh para guru dan kiai.
KH. M. Anwar Manshur, salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo menjelaskan;
“Paling enak belajar itu di pondok pesantren, sebab setiap waktu, para guru selalu memberi contoh. Perintah jamaah, kiainya juga jamaah. Perintah ngaji, juga ikut mengajar. Jadi semua perintah tidak hanya dengan lisan, namun juga dibarengi contoh dengan perbuatan”
Selain itu, masih ada keilmuan lain di pesantren yang tidak tertulis dalam kurikulumnya. Kemandirian, kekeluargaan, kesederhanaan dan pendidikan perilaku lainya. Mendahulukan kewajiban serta hak orang lain, dari pada menuntut hak pribadi juga merupakan gemblengan harian para santri.
Pesantren dan Lingkungan
Krisis lingkungan yang semakin parah menuntut manusia untuk lebih memperhatikan keberadaan lingkungan. Ia adalah yang paling bertanggung jawab, karena bertugas sebagai khalifah di bumi. Jika masih menginginkan kestabilan kehidupan dunia, manusia harus benar-benar melestarikan lingkungan serta memperbaiki lingkungan yang telah rusak.
Melihat fakta lapangan, tidak bisa dipungkiri bahwa kerusakan lingkungan di perkotaan lebih parah ketimbang pedesaan. Mulai dari masalah polusi, pencemaran tanah, sampah dan segudang masalah lainnya.
Berbalik dengan keadaan di kota, keadaan sebagian besar pedesaan masih asri dengan terjaganya kondisi lingkungan. Pencemaran udara bukan menjadi masalah yang berarti di desa, sumber air masih melimpah juga kondisi alam lainnya. Maka menjaga keasrian wilayah pedesaan adalah suatu keharusan. Karena menjadi salah satu tameng kelestarian lingkungan yang bersinggungan erat dengan pemukiman manusia.
Namun, laju informasi dan globalisasi yang semakin banter, nampaknya juga membuat kondisi kehidupan masyarakat pedesaan sedikit demi sedikit akan menyusul budaya masyarakat kota. Efek yang dikhawatirkan adalah sikap mereka yang nantinya akan mulai egois, dan meninggalkan perhatiannya pada kelestarian alam.
Perubahan sosial seperti ini tak bisa dihindari, namun usaha untuk tetap menjaga sikap khas pedesaan harus diupayakan. Oleh karena itu, pesantren mempunyai tanggung jawab besar dalam hal ini. Mengapa? Karena secara historis pesantren memang bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan saja. Namun lebih dari itu, ia adalah lembaga dakwah, lembaga sosial yang merupakan rujukan serta panutan masyarakat pedesaan. Masyarakat telah mengenal pesantren, kyai dan santri. Bahkan sebagian besar masyarakat percaya atas kesakralan pesantren. Juga Mayoritas pesantren apalagi pesantren salaf, banyak yang terletak di wilayah pedesaan.
Apalagi jika melihat bahwa menjaga lingkungan merupakan salah satu ajaran syariat islam. Maka sudah selayaknya, pesantren menjadi contoh upaya pelestarian lingkungan serta ikut mendakwahkan / mensosialisasikan ajaran tersebut.
Dengan potensi yang sedemikian besar, pesantren bisa menjadi penggerak masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan untuk senantiasa menjaga lingkungan. Al magfurlah KH. MA. Sahal Mahfudz menyebut ada dua pokok pendekatan yang bisa menjadi peran pesantren bagi lingkungan hidup bagi masyarakat, pertama pendekatan motivasi, kedua pendekatan proyek.[2]
Pendekatan motivasi dapat diwujudkan dengan upaya edukasi pada masyarakat tentang pentingnya merawat lingkungan serta menjaga kestabilannya, larangan syariat tentang perusakan alam, serta efek yang akan di timbulkan dari ketidak stabilan lingkungan.
Upaya pendekatan pertama ini, sejak dulu sebenarnya sudah menjadi kegiatan pesantren sebagai lembaga dakwah. Hanya saja mungkin akhir-akhir ini fokus dakwah pesantren lebih banyak menyampaikan sisi-sisi peribadatan dan hubungan sosial, belum begitu banyak terlihat dakwah pesantren dalam mengampanyekan pelestarian lingkungan.
Mbah Kyai Sahal menyebut, meski pendekatan model ini memerlukan waktu yang relative lama, namun dampak yang ditimbulkan akan lebih besar dan massif, karena masyarakat dengan sendirinya akan mengubah sikap dan perilaku menjadi peduli terhadap lingkungan.
Untuk pendekatan yang kedua, yakni pendekatan proyek. Pesantren bisa menggalakkan program-program lingkungan seperti penghijauan, pengurangan sampah atau kegiatan lain, dalam model pendekatan ini, pesantren secara langsung menjadi aktor gerakan peduli lingkungan. Dampaknya juga double, selain dampak positif bagi alam, masyarakat luas juga mendapat pengajaran pelestarian lingkungan, karena melihat langsung kegiatan pesantren. Bukankah hal ini senada dengan maqolah :
لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ
“pesan yang disampaikan melalui perilaku lebih mengena dari pada pesan melalui kata-kata”
[1] Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, islam sumber Inspirasi Budaya Nusantara, Hal. 3-4 ( Jakarta : LTN NU 2015)
[2] KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa fiqh Sosial. LKIS 2004