Hadis Kedua
عَنْ يَحْيَى الْمَازِنِىِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ». رواه مالك.
Terjemahan:
Dari Yahya al-Mazini ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan mencederai diri sendiri maupun mencederai orang lain”. (Muwaththa’ Malik).
Sumber Hadis:
Hadis ini diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Muwaththa’nya (no. hadis: 1435), Ibn Majah dalam Sunannya (no. hadis: 2430 dan 2431), dan Imam Ahmad dalam musnadnya (no. hadis: 2912 dan 23223).
Penjelasan singkat:
Hadis Yahya al-Mazini ra ini merupakan kalimat yang singkat dan padat. Kalimat ini, laa dharara wa la dhiraar, telah menjadi aksioma hukum di kalangan ulama fikih, atau yang dikenal dengan Kaidah Fikih. “Bahwa menyakiti dan merusak adalah terlarang, baik kepada diri maupun orang lain”, demikian terjemahan lain dari kalimat laa dharara wa la dhiraar.
Dus, dengan inspirasi kalimat ini, setiap orang, lelaki maupun perempuan harus terbebas dari segala tindakan buruk yang menyakiti dan merusak, baik dalam bentuk perilaku sehari hari, misalnya dalam relasi keluarga antara suami-istri dan orang tua-anak, maupun dalam bentuk kebijakan negara.
Setiap tindakan seseorang harus diupayakan semaksimal mungkin agar dapat menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan bagi sebanyak mungkin orang. Juga untuk menghindarkan segala bahaya, keburukan, dan kekerasan. Baik untuk diri, keluarga, maupuan orang lain.
Begitu pun kebijakan negara harus dipastikan dapat menghadirkan kemaslahatan bagi warga, perempuan maupun pria, dan menghentikan segala bentuk kekerasan dan kesewenang-wenangan. Atau dalam bahasa kaidah fikih, tasharruf ar raa’i ‘ala ar ra’iyyah manuthun bil mashlahah (Kebijakan negara atas rakyatnya harus terkait dengan kemaslahatan warga). Sehingga jika ada kebijakan yang merusak atau menghadirkan kekerasan dan kemudaratan, harus dibatalkan demi prinsip kaidah ini.
Sesungguhnya prinsip kemaslahatan dan anti kemudaratan ini sudah menjadi kaidah umum yang diterima ulama fikih sepanjang zaman, baik dalam perilaku individual maupun dalam relasi sosial secara umum. Di antara ulama besar yang mempromosikan prinsip ini adalah Abū al-Ḥusayn al-Baṣrī (w. 478/1085), Abū Hāmid al-Ghazalī (w. 505/1111), Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606/1209), al-Qarāfī (w. 646/1249), ‘Izz al-Dīn b. Abd al-Salām (w. 660/1261), al-Ṭūfī (w. 716/1316), Ibn Taymiyah (w. 728/1327), Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350), dan Ibrahim al-Shāṭibī (w. 790/1388).
Para ulama mengumandangkan bahwa Islam adalah agama untuk kemaslahatan manusia, yang harus diwujudkan di dunia ini dan juga akan diperoleh di akhirat nanti. Islam adalah agama kemaslahatan dan kemaslahatan adalah prinsip dari Islam.