Suatu pagi yang cerah pada tahun kedua dari hijrah di kota Madinah, Rasulullah sedang mempersiapkan pasukan menuju Badar, lokasi perang pertama kaum muslimin setelah mereka terusir dari tanah airnya. Sebagai seorang pimpinan pasukan, beliau memeriksa kesiapan pasukan sedetail mungkin. Tak ada satu titik yang terlewatkan. Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ia berdiri melihat dengan seksama seorang anak yang belum berusia 13 tahun ikut menenteng pedang yang lebih tinggi dari badannya.
Ia memecah suasana hening dengan pernyataan yang lantang, “Wahai Rasulullah, Jiwaku menjadi tebusan. Izinkan aku berperang melawan musuh-musuh Allah Swt. di bawah komando benderamu.” Rasulullah takjub dengan tekadnya. Dengan tersenyum, nabi menepuk pundak anak kecil itu seraya melarang ia ikut serta dalam peperangan.
Raut kekecewaan tak bisa diseumbunyikan dari wajahnya. Ia pulang sembari menyeretkan pedangnya ke tanah. Tujuan utamanya untuk membersamai nabi di peperangan perdana umat Islam terhalang usia. Di belakang, ibunya juga sedih. Ia sedari awal memang anaknya berdiri gagah bersama para pejuang yang lain.
Terhalang bersama nabi dalam konteks peperangan, ia tak kehabisan akal. Ia kemudian mendekati nabi melalui jalur ilmu. Jalur ini tak ada persyaratan usia seperti jalur pengabdian di medan perang. Ia memang tipikal anak cerdas. Ia hafal 17 surat dalam al-Qur’an dan mampu membacanya dengan fasih. Kelebihannya juga mampu menulis dengan baik.
Anak kecil itu bernama Zaid bin Tsabit. Sejak peristiwa pelarangan perang tersebut ia dekat dengan nabi. Melalui jalur ilmu, ia punya alasan untuk membersamai nabi. Sosoknya yang cerdas dan cekatan membuat nabi juga senang terhadapnya.
Dalam sebuah kesempatan, Rasul memerintahkan Zaid belajar Ibrani, bahasa yang lumrahnya dipakai orang Yahudi. ia kemudian belajar dan dalam waktu sebentar ia sudah menguasai bahasa Ibrani. Tidak berhenti di sana, lain kesempatan, nabi meminta Zaid belajar bahasa Suryani. Tak menunggu lama, ia kemudian ahli juga dalam bahasa ini. Jadilah Zaid sebagai penerjemah nabi dalam urusan-urusan lintas negara dan bahasa.
Setelah memperhatikan kesungguhan, kecerdasan dan integritas pribadinya, nabi kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pribadinya. Tiap ada wahyu yang turun, orang pertama yang dicari oleh nabi adalah Zaid. Zaid menulis dan mengarsip dengan baik dokumen wahyu tersebut.
Di tangan Zaid, lembaran dan catatan al-Qur’an terkumpul. Sepeninggal nabi, ia adalah rujukan utama (marja’) para sahabat kaitannya dengan al-Qur’an. Ia juga ditunjuk sebagai ketua panitia pengumpulan al-Qur’an di era Abu Bakar al-Siddiq dan editor tunggal ketika al-Qur’an hendak dijadikan satu mushaf di era Usman bin Affan.
Kelebihan Zaid bin Tsabit juga dalam hal melerai perselisihan. Ketika persitiwa Tsaqifah Bani Saidah tepatnya ketika pertentangan ihwal siapa yang hendak mengganti posisi nabi, Zaid bin Tsabit yang memberi win-win solution. Perdebatan yang awalnya panas bahkan bisa disebut awal-awal fitnah bagi umat Islam selesai di tangan Zaid. Ia memegang tangan Abu Bakar dan meyeru kaum muslimin untuk membaiatnya.
Nilai keulamaan Zaid bin Tsabit juga diakui oleh Abdullah bin Abbas, seorang kerabat nabi yang dikenal dengan ilmunya. Suatu ketika keduanya berpapasan di tengah jalan. Binu Abbas segera turun dari kudanya dan menghampiri Zaid. Begitupula Zaid, ia turun dan menghampiri Binu Abbas.
Keduanya saling berebutan memberi penghormatan. Ketika ditanta kenapa Binu Abbas begitu memuliakan Zaid bin Tsabit, ia menjawab: “Beginilah kita diperintahkan untuk memuliakan ahli ilmu.”
Sementara ketika Zaid ditanya kenapa ia begitu menghormati Binu Abbas padahal ia lebih senior, Zaid menjawab, “Beginilah kita diajari untuk menghormati keluarga nabi.”
Di hari kematian Zaid, umat Islam sangat berduka dan merasa kehilangan. Abu Huraiah berkomentar, “Hari ini, sumber dan lautan ilmu pergi semoga Allah Swt menjadikan Binu Abbas sebagai penggantinya.”[]