Namanya Muhammad tapi lebih dikenal dengan Abdurrauf. Boleh jadi namanya memang murakkab/tersusun dari dua kata: Muhammad Abdurrauf. Kalau iya, tentu itu tidak biasa bagi orang Arab. Apapun itu nama aslinya ia justru dikenal dengan Al-Munawi. Bukan Muhammad, bukan juga Abdurrauf. Tapi kelak setelahnya banyak al-Munawi al-Munawi lahir, untuk menelisik Al-Munawi yang mana yang dimaksud maka harus melihat nama aslinya.
Ulama kenamaan Abad 11 itu sebagaimana lazimnya santri sejak era kodifikasi dikenal di dunia Islam di akhir abad keempat yaitu dimulai menghafal alquran lalu kitab-kitab pokok dasar di setiap fan. Ia menghafal alquran bahkan sebelum akil baligh!
Muhammad Abdurrauf yang lahir tahun 952 H itu kemudian tumbuh menjadi pribadi yg diperhitungkan di jagad intelektual Cairo. Pantas saja ia begitu faqih, sebab ia murid Ar-Ramli ash-Shaghir di mana ia menjadi ulama otoritatif Syafiiyah era mutaakhirin selain Ibn Hajar al-Haitami di Haramain. Bahkan, menurut banyak ulama, setelah duo Azhari Ar-Ramli dan Al-Haitami itu mangkat fikih Syafii tidak beranjak dari apa yang dii’timad oleh Asy-Syafii Ash-Shaghir atau Al-Haitami itu.
Tentu saja ia tidak hanya belajar pada Syamsuddin Ar-Ramli, sang ayah adalah madrasah pertamanya untuk belajar mengeja, membaca dan tentu belajar cara membaca dan menulis sesaui kaedah pakem bahasa Arab. Kemudian melanjutkan perjalanan intelektualnya kepada Nuruddin Ali al-Maqdisi, Najmuddin al-Ghaithi, Muhammad Bakri, Thablawi dan lain-lain.
Di Cairo selain banyak masjid dan madrasah juga banyak khanqawat atau zawiyah tempat para sufi beribadah dan berizikir. Jarang ditemukan ada ulama yg tidak sufi secara makna ‘urf. Termasuk Al-Munawi. Ia baiat pada banyak tarekat, salah satu guru spiritualnya adalah Sidi Abdul Wahhab Asy-Sya’rani.
Menjadi santri di Cairo pada waktu itu tidak sempurnya jika nanti tidak sampai menjadi guru di salah satu madrasah keren di Cairo. Salah satu madrasah bonafit di Old Cairo adalah madrasah Shalihiyah. Madrasah yang didirikan oleh Sultan ketujuh Dinasti Ayyubiyah Sultan Ash-Shalih Najmuddin Ayuub pada abad 7 H. Sebuah madrasah pertama di Mesir yg menghimpun empat mazhab sekaligus dalam satu atap. Biasanya madrasah di Mesir sejak era Shalahuddin Ayub didirikan dan dikhususkan pada satu atau dua mazhab saja.
Tentu ini sebuah jabatan prestise yang tidak semua orang alim mendapatkannya. Apalagi mengajar di masjid, madrasah dan khanqah Cairo harus mendapat lisensi dari para ulama senior dan kerajaan.
Ibn Khaldun meskipun namanya sudah terkenal di seantero jagad, saat tiba di Cairo tidak bisa lalu dia masuk Al-Azhar, Qamhawiyah, atau Masjid Amr bin Ash kemudian mengajar tanpa permintaan dari para ulama dan izin dari kerajaan.
Semakin tinggi pohon semakin kencang angin menerpanya. Meski banyak ulama yg memuji kelimuan pemilik syarah atas Al-Jami’ ash-Shaghir karya Imam Suyuti itu, bahkan Sulaiman al-Babili dan Ali al-Ajhuri mengaji padanya, tetap saja banyak yg hasud padanya. Sampai-sampai, menurut riwayat al-Muhibbi dalam Khulashatul Atsar, ia diracun oleh mereka yang hasud. Lambat laun kekebalan tubuhnya melemah sehingga ia harus banyak mengonsumsi obat. Karena banyaknya obat yang masuk ke tubuhnya sampai-sampai beberapa anggota tubuhnya tidak lagi bergungsi.
Di saat kondisi kesehatannya menurun drastis, semangatnya dalam menyebarkan ilmu masih tetap menyala-nyala. Ia mendikte putra kinasihnya, Muhammad, untuk menuliskan beberapa kitabnya.
Dari sistem pinjam tangan dalam menulis inilah kemudian banyak orang yg keliru menisbatkan beberapa kitab ke Muhammad, anaknya, bukan ke al-Munawi. Mengingat nama bapak dan anak sama-sana Muhammad. Kalau Syekh Al-Munawi ada lanjutan Abdurrauf-entah itu julukan atau nama asli, sedang anaknya punya julukan Tajuddin.
Kesehatan Syekh Al-Munawi terus menurun, hingga pagi pada Kamis 23 Safar 1031 H beliau melepaskan nafas terakhirnya. jenazahnya dishalatkan di Al-Azhar pada hari Jum’at kemudian dimakamkan di zawiyah beliau di bilangan Bab Sya’riyah dekat makam guru spiritualnya, Sidi Syekh Sya’rani, Kairo.
Kendati kondisinya kian kritis, pikirannya tidak berhenti, beliau masih terus menulis kitab serius, sehingga meninggalkan banyak karya, dari fikih, hadis, tasawuf, sejarah dan genre lain. Mayoritas kitab beliau sudah diterbitkan, yang paling populer adalah Faudhul Qadir syarah atas Al-Jami’ ash-Shaghir-nya Imam Suyuti. (RM)