Sejarah Nusantara pasca Perang Diponegoro menyimpan banyak bab misteri yang belum sepenuhnya terungkap ke permukaan. Salah satu bab penting ini adalah kedatangan imigran Yaman, khususnya dari marga Baalawi, ke Zamrud Khatulistiwa pada abad ke-18. Mereka bukan hanya datang sebagai pekerja, tetapi sebagian di antaranya, terutama yang memiliki latar belakang agama, dipekerjakan sebagai mufti. Peran mereka dalam membentuk dinamika sosial dan politik Indonesia tak bisa diabaikan. Namun, peran ini seringkali dilihat dari sudut pandang yang berbeda, tergantung pada siapa yang menarasikan.
Kehadiran marga Baalawi ini menjadi salah satu peristiwa penting yang membentuk sejarah Islam di Indonesia. Mereka membawa tidak hanya keahlian dan pengetahuan agama, tetapi juga pengaruh sosial yang kuat. Penempatan mereka sebagai mufti dan ulama di wilayah-wilayah strategis, menunjukkan bahwa kedatangan mereka bukan sekadar migrasi biasa. Ini adalah bagian dari upaya yang lebih besar untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik kolonial dengan memanfaatkan otoritas agama sebagai alat kontrol sosial. Oleh karena itu, peran mereka perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, termasuk bagaimana mereka digunakan oleh kekuatan kolonial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pada abad ke-19 M, setelah Perang Diponegoro, Belanda mendatangkan imigran Yaman ke Indonesia. Di antara mereka, beberapa diangkat menjadi kapiten Arab, sementara yang lainnya, dari marga Baalawi, dipekerjakan sebagai mufti, seperti Usman bin Yahya, yang diberi label “cucu Nabi.” Namun, hal yang menarik adalah bahwa marga Baalawi ini sebenarnya telah dilarang oleh mufti Mekah untuk memakai gelar Sayid atau Syarif. Namun, di Indonesia, gelar ulama mereka kemudian dikenal sebagai Habib, sebuah istilah yang semakin melekat hingga seluruh keturunan Baalawi dikenal sebagai Habib—hingga kini.
Transformasi dari gelar ulama menjadi Habib ini menunjukkan bagaimana identitas dan gelar keagamaan bisa berubah makna dan peran dalam konteks sosial berbeda. Penggunaan gelar Habib tidak hanya memperkuat legitimasi mereka sebagai pemimpin agama, tetapi juga mengukuhkan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat Muslim di Indonesia. Di sisi lain, penolakan dari Mufti Mekah terhadap penggunaan gelar Sayid atau Syarif mencerminkan adanya ketegangan internal dalam komunitas Muslim internasional tentang bagaimana gelar-gelar ini harus digunakan. Namun, di Indonesia, gelar ini menjadi simbol kekuasaan dan otoritas yang diterima luas, mengaburkan asal-usul larangannya dan membangun fondasi pengaruh yang kuat bagi marga Baalawi di Nusantara.
Politik Pecah Belah dan Penaklukan
Kedatangan para ulama Baalawi ke Nusantara memiliki tujuan lebih besar dari sekadar dakwah. Mereka didatangkan pasca-penangkapan Diponegoro untuk memecah belah perlawanan pribumi yang banyak diinisiasi oleh para ulama, terutama ahli Tarekat dan pemimpin pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Perlawanan dari tokoh-tokoh seperti Syeikh Abdulkarim di Banten, serta berbagai tarekat seperti Samaniyah di Sumatera, Qodiriyah Naqsabandiyah di Kalimantan dan Jawa Timur, hingga Lombok, menjadi ancaman serius bagi kolonial Belanda. Fatwa Mufti Batavia, Usman bin Yahya, yang menyatakan perlawanan pribumi sebagai pemberontakan dan onar, memperlihatkan bagaimana agama digunakan sebagai alat politik untuk menundukkan rakyat. Sebagai imbalan atas jasanya, Usman bin Yahya dianugerahi Bintang Salib Singa oleh Ratu Wilhelmina, yang kemudian ia balas dengan pujian dan doa untuk sang Ratu.
Strategi pecah belah ini tidak hanya berhasil melalui manipulasi agama, tetapi juga dengan memanfaatkan struktur sosial yang sudah ada. Para ulama Baalawi, yang datang dengan status sosial tinggi karena dianggap sebagai keturunan Nabi, dengan mudah memeroleh pengaruh di kalangan masyarakat Muslim Nusantara. Status ini memberikan mereka otoritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ulama-ulama pribumi, yang pada akhirnya menggeser posisi kepemimpinan spiritual dan politik di banyak wilayah. Dalam situasi ini, Belanda secara cerdik memanfaatkan ketidaksetaraan sosial ini untuk mengurangi ancaman dari gerakan perlawanan yang berbasis agama, sementara secara simultan memperkuat dominasi kolonial mereka di Nusantara.
Lebih dari itu, kehadiran Baalawi juga secara tidak langsung memunculkan konflik di antara komunitas Muslim lokal. Masyarakat pribumi yang telah lama mengikuti ajaran dan tradisi lokal mulai terpecah, ada yang beralih mengikuti ajaran ulama Baalawi, sementara yang lain tetap bertahan dengan tradisi dan ajaran ulama lokal. Kondisi ini memperlemah solidaritas internal komunitas Muslim di Nusantara, yang sebelumnya solid dalam perlawanan terhadap penjajah. Dengan demikian, pecah belah ini bukan hanya melemahkan kekuatan perlawanan fisik, tetapi juga merusak struktur sosial dan kohesi komunitas Muslim, menjadikan upaya perlawanan terhadap Belanda semakin sulit dan terfragmentasi.
Ketika Rabithah Alawiyah didirikan pada 1928, dua tahun setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), organisasi ini muncul sebagai tandingan. Hal ini memicu perpecahan di kalangan imigran Yaman, terutama antara klan Baalawi dan non-Baalawi, yang kemudian mendirikan Al-Irsyad. Ketegangan ini semakin memperlihatkan bagaimana agama dan politik seringkali berkelindan untuk membentuk identitas dan kekuasaan.
Perpecahan ini tidak hanya mencerminkan perbedaan teologis, tetapi juga perbedaan dalam visi sosial dan politik di antara komunitas Yaman di Indonesia. Rabithah Alawiyah, dengan dukungan dari marga Baalawi, lebih fokus pada konservatisme dan pemeliharaan tradisi, sementara al-Irsyad yang dipimpin oleh non-Baalawi, cenderung mendorong reformasi dan modernisasi. Konflik ini menunjukkan betapa dinamisnya interaksi sosial di antara imigran Yaman, dan bagaimana identitas etnis dan keagamaan dapat menjadi sumber perpecahan maupun kekuatan. Peran organisasi-organisasi ini dalam lanskap sosial Indonesia menjadi bagian integral dari sejarah politik dan sosial Islam di Nusantara.
Pasca Kemerdekaan: Asimilasi yang Canggung
Setelah Indonesia merdeka, muncul desakan untuk menggolongkan keturunan Baalawi sebagai non-pribumi. Namun, NU tampil sebagai pembela mereka, dengan harapan mereka bisa berasimilasi. Meskipun demikian, kenyataannya, asimilasi tersebut tidak sepenuhnya terwujud, karena ironisnya, komunitas ini tetap menjaga jarak dari pribumi. Kegagalan asimilasi ini menunjukkan adanya kesenjangan sosial dan budaya yang mendalam antara komunitas Baalawi dan masyarakat pribumi. Meskipun secara formal mereka dilindungi dan diakui oleh NU, dalam praktiknya, jarak sosial dan budaya tetap menganga. Komunitas Baalawi cenderung mempertahankan identitas mereka sebagai kelompok terpisah, dengan adat istiadat, bahasa, praktik keagamaan yang khas, dan menikah endogami. Hal ini memperlihatkan bagaimana proses asimilasi tidak selalu berjalan mulus dan kerapkali terhambat oleh faktor-faktor kultural yang laten—sulit diubah.
Gerakan Baalawi yang sebelumnya terbatas pada lingkup organisasi seperti Rabithah Alawiyah dan al-Irsyad, mengalami metamorfosis signifikan pada era Reformasi. Pam Swakarsa yang kemudian berkembang menjadi Front Pembela Islam (FPI) menjadi panggung baru bagi mereka. Melalui organisasi ini, mereka berhasil menggeser peran ulama pribumi, mengubah amalan-amalan Walisongo, dan mengangkat gelar Habib sebagai simbol spiritualitas dan kekuasaan yang tinggi. Pada titik ini, baik yang mengaku Sunni maupun Syiah, mereka bersatu dalam agenda bersama.
Dalam konteks ini, era Reformasi memberikan ruang baru bagi gerakan-gerakan yang sebelumnya terpinggirkan untuk bangkit dan memainkan peran yang lebih besar dalam politik dan sosial. FPI, dengan dukungan dari kelompok Baalawi, berhasil memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi mereka di tengah masyarakat. Mereka tidak hanya mempromosikan agenda-agenda keagamaannya, tetapi juga berusaha membentuk ulang narasi sejarah dan identitas keagamaan di Indonesia. Gelar Habib yang semula hanya terbatas pada ulama tertentu, kini menjadi simbol yang lebih luas, mencerminkan kekuasaan dan otoritas yang harus diakui oleh banyak kalangan Muslim di Indonesia.
Bersambung…