Sedang Membaca
Di Pesantren Bumi Cendekia Belajar Isu Gender Bersama Kalis Mardiasih

Santri SMA Bumi Cendekia dan bergabung dalam Pers SMA dan pesantren Bumi cendekia. Bisa disapa di akun Instagram: @muhafzaalali

Di Pesantren Bumi Cendekia Belajar Isu Gender Bersama Kalis Mardiasih

Kalis

Ketika saya membuka sosial media, banyak sekali postingan-postingan  yang berseliweran, salah satunya postingan perempuan joget-joget dengan outfit croptop dan bawahan celana pendek. Sekilas postingan tersebut nampak biasa saja, namun saat buka kolom komentar ternyata isinya  sangat mengejutkan, seperti ada yang bertanya “kakak open ngga?”,  kemudian komentar vulgar juga muncul “spek-spek tobrut nih”, serta parahnya lagi perkataan “pasti dah pernah dicoba sama om-om”.

Kejadian tersebut seolah menjadi sebuah cerminan nyata dari isu kekerasan berbasis gender online yang diangkat dalam acara bedah buku Luka-Luka Linimasa yang dinarasumberi oleh Kalis Mardiasih.

Kalis Mardiasih adalah seorang perempuan yang lahir di Blora pada 16 Februari 1992. Ia  merupakan aktivis perempuan,  aktif dalam organisasi Gusdurian, serta banyak bergelut dalam penelitian isu-isu kekerasan, salah satunya yaitu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Tak hanya itu, Kalis, juga cakap dalam menulis buku, salah satunya yang baru ia selesaikan adalah Luka-luka Linimasa.

Buku yang baru ia selesaikan langsung didiskusikan dalam bedah buku yang  dikemas dalam dialog antara Kalis dan para santri di pesantren Bumi Cendekia. Acara ini dipandu oleh dua moderator santriwati yang bernama Dinara dan Zida.

Begal Seksual

Kalis mengatakan, sebelum adanya jaringan internet, bentuk-bentuk kekerasan sudah ada, mulai dari begal p4yud4r4,  orang ‘sange’ dalam bus, dan catcalling.

“Pertama kali saya dilecehkan secara seksual adalah saat saya masih duduk di bangku SMP. Saat itu, saya pulang dari pesantren dan sedang mengendarai sepeda sekitar jam 10 malam,  tiba-tiba  pelaku memegang dada saya. Saya menangis tak berdaya. Meskipun korban, pada saat itu saya anggap kejadian itu sebagai aib” cerita Kalis.

Baca juga:  Jelang Muktamar, Kolaborasi PCINU Siap Jadi Tulang Punggung Transformasi Digital Pesantren dan Nahdliyyin

“Pengalaman tadi terjadi ketika saya tidak tahu apa-apa tentang kekerasan seksual. Namun, setelah bergabung dengan komunitas aktivis perempuan, saya belajar bagaimana melindungi diri dari pelecehan seksual” sambung Kalis.

Sayyed, seorang santri SMA ikut sharing mengenai teman perempuan sekelasnya yang merasa dipegang p4yud4r4nya oleh teman laki-laki. Setelah dicek, ternyata teman laki-lakinya sedang tiduran di asrama. Hal ini membuat Sayyed bingung, siapa yang bersalah, pelaku yang bersalah tanpa bukti? Atau korban yang memfitnah pelaku?

Kalis mengidentifikasi cerita dari Sayyed ini menggunakan dua dugaan. Pertama memang itu fitnah atau tidak ada bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa teman laki-lakinya itu bersalah. Jika dugaan pertama jelas yang perempuan salah, karena melakukan fitnah. Namun jika dugaan kedua ini memang terjadi maka harus jelas itu kesenggol p4yud4r4nya atau benar-benar dipegang, itu sengaja atau tak sengaja.

Kata Kalis “untuk menghindari kejadian-kejadian semacam ini diperlukan kesepakatan bersama mengenai batasan dalam bercanda, ketidaksengajaan, dan benar-benar sengaja.”

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Setelah masa offline, kekerasan mulai bergerak ke ranah online. Buku Luka-Luka Linimasa ini secara garis besar adalah buku yang membahas luka-luka masyarakat akibat KBGO di Linimasa, khususnya linimasa sosial media.

Menurutnya, seringkali ketika kita bermain internet banyak sekali luka-luka yang kita dapatkan karena ada banyak serangan dari akun-akun tak dikenal seperti komentar, kiriman gambar yang tak kita inginkan, atau video yang tidak kita inginkan. Tak hanya itu, jebakan dari pelaku seperti paksaan foto telanjang, atau VCS (video call sex) juga harus diwaspadai.

Baca juga:  Haul Gus Dur Satu Dekade: Beragama dan Berkebudayaan, Memanusiakan Manusia

Kalis mencontohkan, “Bayangkan, ada seorang gadis kelas lima SD dipaksa oleh orang dewasa untuk mengambil foto telanjang dan akhirnya disebarkan oleh pelaku. Bertahun-tahun kemudian,  saat sudah SMP foto tersebut viral secara tak diduga-duga yang membuat anak gadis tadi dikeluarkan dari sekolahnya.”

“Kak Kalis , aku dulu ada temen, pacaran saat zaman-zaman covid pas SD, saling sukanya tuh awalnya lewat chat Whatsaap, tapi lama kelamaan cowonya bilang ‘pap tete dong’. Seketika cewenya bingung dong harus gimana, masa ya harus foto beneran” salah satu santriwati mulai berpendapat.

“Akhirnya ia cari di google foto cewe pakai tanktop. Cowonya malah ngechat lagi ‘jangan yang pakai daleman dong.’ Chat tersebut diketahui orang tua cewe dan akhirnya diselesaikan baik-baik dari kedua belah pihak kak kalis” sambung santriwati.

“ya untuk mencari foto di google itu udah reflek sih, kan cewenya udah bingung mau gimana lagi. Kalau udah seperti itu, semisal temen-temen besok mengalami kejadian yang sama langsung aja berhenti interaksi sama pelakunya. Semisal dibiarin terus nanti pelakunya akan ketagihan dan akan minta-minta terus meminta foto-foto bug1l seperti itu.” Tanggap Kalis.

Jejak Digital

Kasus-kasus KBGO menurut Kalis sulit untuk ditangani. Mengapa demikian? Karena polisi di Indonesia masih bekerja secara tradisional dalam artian jika kita ingin lapor sebuah kasus tindak kriminal ke polisi pasti ditanya pelakunya mana, siapa nama pelakunya, bisa ditangkap di mana pelakunya? Sedangkan kasus-kasus di atas terkadang akun yang digunakan fake seperti dalam kasus VCS Facebook, bahkan bisa sudah lenyap akunnya. Jadi kasus-kasus seperti ini sulit untuk ditangani oleh polisi sekalipun.

Baca juga:  Perempuan dan Narasi Perdamaian: JISRA Gelar Workshop Penulisan

“Sebenernya kak Kalis di sini itu menyampaikan fakta-fakta tadi tujuannya hanya dua, supaya temen-temen semua tuh ngga hanya mengantisipasi  menjadi korban, melainkan juga menjadi pelaku. Jadi berkomentar tentang tubuh orang lain di internet tuh tidak baik, ngirimin foto, video ke internet itu jangan sampai” pesan Kalis pada seluruh santri.

“Di Indonesia sudah ada Undang-Undangnya mengenai KBGO. Intinya teman-teman harus berhati-hati terhadap KBGO, saat bekerja kalian besok yang dilihat tak hanya ijazah dan prestasi, melainkan jejak digital di internet, jika temen-temen sudah bermasalah, maka akan susah untuk mendapatkan pekerjaan” jelasnya. Tabik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top