Suatu ketika terdengar kabar tentang perkataan Abu Yasid al-Bustami, “Siapa yang berziarah ke kuburku, dia masuk surga.” Perkataan itu pun menjadi kontroversial danramai dibicarakan.
Seorang penguasa kala itu lalu mendatangi makam Syekh Abu Yazid, untuk menkonfirmasi apakah pekataan tersebut benar-benar bersumber dari Abu Yasid al-Busthomi.
Penguasa itu menemui juru kuncinya dan bertanya “Apa benar Syekh Abu Yasid al-Busthomi mengatakan seperti itu? ‘Siapa yang menziarahi kuburku, insyaallah akan masuk surga.”‘
Sang juru kunci menjawab, “Benar, Tuan.”
“Loh bagaimana bisa?” timpal penguasa tadi. “Abu Jahal yang sering bertemu dengan Rasulullah saja dia nggak berimana. Bagaimana ini orang menziarahi kubur Syekh Abu Yasid masuk surga?Bagaimana ini logikanya?”
Juru kunci itu pun menjawab, “Betul Tuan, Abu Jahal setiap hari bertemu dengan Muhammad, tetapi yang dipandang pertemuan itu dia tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dia hanya bertemu dengan seorang Muhammad yang menjadi keponakan Abu Thalib; seorang anak yatim yang besar di tangan Abu Thalib. Hanya itu yang di pandang oleh Abu Jahal, sehingga ia tidak beriman. Kenapa? Karena dia tidak memandang, dia tidak bertemu dengan Rasulullah.”
Juru kunci lalu meneruskan, “Begitu juga jika orang berziarah ke makam Abu Yasid, hanya sekadar ziarah yang diingat adalah kuburan. Dia tidak memandang yang di balik alam kubur itu dengan segala akhlak, adat, kemuliaan ruhaniah, nurnya, ya dia tidak akan pernah muncul mahabah kepada aulia.”
“Karena ini kalau orang berziarah kepada beliau dengan hatinya, yang dipandang adalah esensi dari Syekh Abu Yasid al-Busthomi sebagai auliaillah, ya tentu dia akan mengikuti jejak Abu Yasid dan dia pasti masuk surga. Nah itu maksudnya,” lanjut sang juru kunci.
Cerita itu disampaikan kembali oleh pakar tasawuf KH Luqman Hakim pada Kajian Motivasi Spiritual Al-Hikam DR KHM Luqman Hakim bertema Kebangkitan dan Pendidikan Jiwa yang diadakan Majelis Telkomsel Taqwa diunggah 5 Oktober 2021.
Dari kisah itu, kata Kiai Luqman Hakim, jika seseorang dengan memandang ciptaan Allah kemudian berzikir, mengingat kepada Allah, lalu menangkap nur yang membimbing menuju kepada Allah, maka sudah terwujud tujuan dari memandang suatu ciptaan Allah, termasuk aktivitas berziarah.
Sebaliknya, “Kalau memandangnya hanya oh dia si A anaknya si B hanya begitu saja, dia riwatnya, hidupnya cuma begini itu saja, anda tidak akan mendapat apa-apa,” ujar Kiai Luqman Hakim.
Sebelumnya, Kiai Luqman Hakim mengawali pembahasan tersebut dengan mengutip Kitab Al-Hikam.
“Janganlah engkau bersahabat, berguru, bergabung, berlingkungan ini soal untuk wilayah ruhaniah. Kalau wilayah jasmani, orang bergaul dengan siapa saja silahkan, bahkan kepada non-Muslim silakan,” ujar Pengasuh Pesantren Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat.
Menjadi standar umum ketika seseorang ingin mengolah, mendidik, membangkitkan ruhaniah, adalah apakah wilayah batiniah sesorang itu tadi bisa membangkitkan batin menuju kepada Allah?
“Wilayah dzahirnya yang diwakili oleh ucapannya mengarahkan dirimu untuk menuju kepada Allah apa tidak? Nah ini standar umumnya. Jadi kenapa demikian, banyak yang ucapannya sangat religius, wacana-wacananya berhubungan dengan ketuhanan tetapi ujungnya adalah dunia, kepentingan-kepentingan duniawi. Nah ini harus disetop jangan bergabung. Karena apa, ya itu tadi kita diajak menimbang akhirat dengan dunia-dunia yang sangat hina ini ditimbang dengan akhirat tiba-tiba. Ya njomplang,” kata Kiai Luqman Hakim.
Dari tiu pula, seorang Muslim diingatkan setiap hari memang harus mencari yang menurut hati bisa membangkitkan diri menuju kepada Allah. Walaupun barangkali penghantarnya hal-hal yang bersifat dunia, tetapi ujungnya yang penting, membangkitkan diri menuju kepada Allah.
Maka Ibnu Ajiba al-Hasani bersyarah Al-Hikam mengatakan ‘Jadi dia adalah orang yang apabila Anda memandangnya, memandang dengan hatimu, Anda tiba-tiba langsung mengingat Allah.
“Jadi ini salah satu ciri-ciri misalnya para mursyid, itu kita memandang dengan hati kita, dengan kesadaran kita, tiba-tiba ingat Allah. Bukan memandang sekedar dengan mata kepala kita, kala mata kepala kita yang kita pandang adalah (sekadar) sosok. Kalau sosok, fisik, mungkin kita nggak dapat apa-apa,” imbuh penulis berbagai buku tasawuf ini.
***