Sedang Membaca
Islam dan Kepenyairan
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Islam dan Kepenyairan

Di masa pra-Islam hingga Mukhadram (periode antara Jahiliyah dan Islam), menjadi penyair adalah pekerjaan berat sekaligus ‘berbahaya’. Terutama di Arab, di masa itu, peran penyair nyaris serupa nabi: kata-katanya didengarkan dan mampu mengubah nasib seseorang, semacam—sekadar menyebut contoh—Jonru di medsoslah kalau di zaman sekarang.

Alquran datang mengecam penyair-yang-suka-obral-omongan, yang menyampaikan sesuatu tapi tidak mereka kerjakan. Ingat, Alquran tetap menyatakan perkecualian untuk penyair yang saleh, yang tidak munafik (periksa tiga ayat terakhir Surah As-Syu’ara’).

Dari saking bahayanya orang seperti ini, sampai-sampai ada surah As-Syu’ara’ (para penyair) di dalam Alquran, sebagaimana juga ada surah Al-Anbiya’ (para nabi) di sana. Jelaslah, bahwa penyair bukan status main-main. Yang menantang mereka bukan cuman ilmuwan, melainkan Alquran. Nah, lho!

Pada masa berikutnya, muncullah kekeliruan dalam membuat anggapan, tepatnya anggapan bahwa (pengetahuan terhadap) puisi, baik syair/nazam, itu tidak penting karena masyarakat melihat contoh, yaitu kelakuan para penyairnya banyak yang dugal. Kekeliruan ini serupa argumentum ad hominem.

Maka dari itu, mari kita ingat Kaab saat menulis madah, lalu Nabi gembira dan menghadiahi burdah. Ingatlah Al-Bushiri dan Ad-Dayba’i. Mereka berdua menyusun antologi puisi yang nyaris ada di setiap rumah Muslim.

Di masa Pertengahan, masa Salafus Saleh, ilmuwan dari disiplin apa pun, selain mereka polymath dan polyglot, mereka hampir pasti punya kemampuan menulis puisi di samping disiplin ilmu mayornya. Matematikus Al-Khayyam malah lebih dikenal sebagai penyair ketimbang ilmuwan. Nah, lho. Boleh jadi ada ulama di bidang tumbuhan, anatomi, musik, tapi pasti mereka mengerti dan menyukai puisi.

Baca juga:  Ketika Muslim Inggris Merayakan Maulid

Hingga di dalam kitab Taklimul Muta’allim (kitab panduan belajar) pun ada keterangan begitu. Di dalam fasal “Fi Waqt at-Tahshil”, Az-Zarnuji menyatakan bahwa Ibnu Abbas R.A sudah jenuh di saat belajar, beliau akan meminta untuk diambilkan buku-buku kumpulan puisi para penyair.

Jadi, puisi merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah ilmu pengetahuan di dalam Islam.

Pada 2018, menjadi penyair tetap menjadi tugas berat, tetapi tak lagi berbahaya (karena masih lebih berbahaya wartawan—kalau mereka mau—dalam hal kemampuan membuat opini massa). Perubahan peran dan marwah semacam ini berubah tidak serta-merta, melainkan melalui proses yang panjang. Nasib penyair di tahun politik ini malah lebih apes lagi. Ada beberapa indikator yang menunjukkan itu:

1 waktu menulis berdarah-darah, tapi karya kurang dihargai
2 mau diterbitkan ke media massa, rubriknya sudah ditutup, malah diganti rubrik gosip
3 mau dibukukan, eh, penerbitnya kadang minta dimodali sepenuhnya

4 setelah terbit, seret sekali saat dijual, kayak orang sembelit
5. ketika ditawarkan kepada teman-temannya, malah dimintai secara gratisan

Masih kurang apes? Sudah menyatakan “penyair adalah…”, eh, masih hadirin ada yang bertanya, “penyair itu jenis pekerjaan apa kok tidak ada di dalam KTP?”.

Kalau kita kembali pada sejarah, Islam punya hubungan intim dengan puisi. Imam-imam mazhab menulis puisi. Imam Malik dan Imam Syafii contohnya. Keduanya punya diwan (buku puisi).

Baca juga:  Zikir Batu dan Seribu Garis: Jalan Spiritual Seorang Seniman

Materi pelajaran morfologi dan gramatika pun bahkan disampaikan melalui “nazam” (puisi bermertum). Mana ada sejarah khazanah ilmu pengetahuan yang transformasi dan transmisinya menggunakan cara seperti ini?

Jadi, jika menjadi penyair adalah sikap berbahaya, adakah yang lebih berbahaya? Ada! Yaitu bersikap tidak menghargai, apalagi antipati terhadap puisi.

Golongan orang yang seperti ini akan membuat cara pandangnya hitam-puisi, eh, hitam-putih. Ia melihat segenap sarwa adalah produk liberal, eh, literal, padahal tanda-tanda kauniyah itu simbolis-metaforis. Maka dari itu, jika kita tidak memiliki kebiasaan puitis, kebiasaan melihat teks secara binari: hakiki-majazi; literal-metaforis, sulit bagi kita untuk memahami teks yang satu saat disandingkan dengan teks yang lain, apalagi dengan konteks berbeda. Memang betul Alquran itu bukan kitab puisi, tapi ingatlah bahwa ia disampaikan secara sangat puitis, yakni melalui i’jaz bayani.

Maka, sejak sekarang, berhentilah minta buku puisi secara cuma-cuma kepada temanmu yang mengaku sebagai penyair. Belilah ia sebagai salah satu bentuk penghargaanmu terhadap ilmu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top