Sedang Membaca
Andai Tanpa Mukjizat, Nabi Muhammad Tetaplah Manusia Prestisius

*Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. (2016) dan UIN Sunan Ampel (2021). Sekarang menjadi Dosen di STIT Raden Santri Gresik

Andai Tanpa Mukjizat, Nabi Muhammad Tetaplah Manusia Prestisius

Andai Tanpa Mukjizat, Nabi Muhammad Tetaplah Manusia Prestisius

Pada tahun 1935, penulis Mesir, Muhammad Husain Haekal mendapat perlawanan masif  dari tokoh muslim Mesir kala merilis buku ‘Hayatu Muhammad’. Buku ini memuat sejarah Nabi Muhammad dengan potret berbeda: menghapus sisi-sisi mukjizat dari Nabi Muhammad. Husain Haekal bermaksud mengangkat profil Nabi Muhammad sebagai manusia secara utuh, tanpa mencantumkan unsur I’jaz yang lekat dalam peristiwa yang melingkupi hari-harinya.

Buku ini, oleh sebagian kalangan muslim dianggap mencederai kesucian Nabi Muhammad sebagai seorang utusan Tuhan. Namun reaksi hebat dari muslim di seluruh dunia ini tak membuat Husain Haekal bergeming. Baginya, orang-orang Barat yang rasionalis dan menolak mistis mesti faham bahwa tanpa mukjizat pun, seorang Muhammad tetaplah figur istimewa dengan segudang prestasi yang mengagumkan.

Beberapa peristiwa yang dimodifikasi oleh Husain Haekal adalah semisal momen burung Ababil berduyun melemparkan batu-batu neraka yang kemudian membabat-habis pasukan Abrahah. Dalam bukunya, kisah ini ia gambarkan sebagai wabah penyakit yang menyerang pasukan bergajah. Selain itu, peristiwa Isra’ Mi’raj yang diyakini sebagai perjalanan spiritual ruh dan badan, oleh Husain Haekal digambarkan sebagai sebuah perjalanan alam bawah sadar (mimpi) yang dialami Nabi Muhammad. Selain dua peristiwa tersebut, banyak peristiwa lain yang ia setting berbeda, sebab sekali lagi, ia hendak menyasarkan buku ini pada bangsa barat yang mendewakan logika dan menolak unsur supranatural.

Husain Haekal hendak mewartakan pada dunia, bahwa Muhammad tetaplah manusia prestisius dan istimewa meski andai ia tak didukung oleh mukjizat dari Tuhan. Menyebut seseorang prestisius atas kemampuannya mengubah peradaban besar sebuah bangsa bukanlah hal yang berlebihan. Bangsa Arab kala itu, adalah bangsa yang tidak cukup menawan untuk dilirik. ia tidak menarik secara geografis karena lahannya gersang dan penuh bebatuan, serta kurang menjanjikan secara sumber daya manusia: kemampuan baca tulis yang buruk dilengkapi degradasi moral yang bobrok.

Baca juga:  Belajar Kembali tentang Orientalisme dan Oksidentalisme, Siapakah yang Superior?

Gambaran paling buruk terkait bangsa Arab adalah kegilaan dan fanatisme kesukuan yang selama ini melazimkan peperangan sehingga kehadiran perempuan tidak dianggap penting. Akhirnya, mengubur bayi perempuan menjadi hal lumrah. Al-Qur’an mengabadikan amarah mereka saat memiliki anak perempuan dengan sebuah kalimat :

Dan jika mereka diberi anak perempuan, wajah mereka menghitam penuh amarah. (An-Nahl ayat 58)

Masyarakat sehancur ini, dalam periode kurang dari seperempat abad, dapat diubah oleh Nabi Muhammad menjadi masyarakat madani: Matang secara intelektual, kuat dalam moralitas dan mapan secara ekonomi. Bahkan setelah kewafatannya, Nabi Muhammad mewariskan generasi yang mampu untuk melanjutkan mimpi-mimpinya. Negeri-negeri tersohor semacam Romawi dan Persia tunduk dalam dekapan orang-orang Arab yang dulu dianggap remeh. Bangsa besar tersebut takluk di tangan ‘murid-murid’ didikan Nabi Muhammad SAW. Hebatnya, Muhammad memiliki murid-murid yang membawa genetika pemikiran dan spiritnya selama belasan abad.

Michael H. Hart saat menulis buku ‘Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia’ (1978), menempatkan Muhammad di urutan nomor satu. Keputusan ini bukanlah tanpa alasan. Keputusan tersebut merupakan hasil riset yang serius untuk objektivitas dan nilai jual bukunya. Saat ditanya alasan ia memilih Muhammad, ia menjawab bahwa salah satu hal paling istimewa dari Muhammad yang tidak dimiliki tokoh lain adalah bahwa pengaruh Muhammad tetap dirasakan oleh umatnya berabad-berabad setelah kewafatannya. Spirit Muhammad masih kuat tertancap di hati generasi-generasi muslim dari masa sahabat hingga khilafah Ottoman.

Baca juga:  Sikap Santun Rasulullah Kepada Keluarga dan Sahabatnya

Spirit dan pengaruh Umar dirasakan oleh Umar saat membuka negeri-negeri besar dunia saat itu. Semangat Umar kala membuka negeri Romawi, Persia dan membebaskan al-Quds adalah buah dari kecintaan pada gurunya yang tertancap kuat. Dawuh-dawuh Nabi terkait kemuliaan mencari ilmu sangat berpengaruh pada lahirnya tokoh-tokoh intelektual bergengsi semacam Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi dan lain-lain. Pun gairah al-Fatih saat membuka Konstantinopel bersebab pada keyakinan dari Hadis sang Nabi bahwa pada waktunya, Konstantinopel akan menjadi milik muslimin. Jika kemajuan bangsa Barat abad ini berprototype pada kemajuan Islam abad pertengahan, maka maknanya seluruh kemajuan teknologi hari ini adalah berkat anak-anak didik Nabi Muhammad . Sungguh di dunia ini, tidak ada seorangpun yang memiliki pengaruh besar selama berabad-abad yang serupa dengan Muhammad.

Bangsa Barat mengagumi Muhammad bukan atas kemampuannya mengeluarkan air dari jemari, membelah bulan, dadanya dibersihkan dengan salju, peristiwa Isra’ Miraj dan mukjizat lain. Mereka kagum pada Muhammad sebagai manusia utuh dengan prestasi intelektual, spiritual dan moralitasnya. Di tangan Muhammad, kaum yang berabad-abad terpuruk dalam kebodohan, menjelma menjadi kaum yang intelek. Bangsa yang lama terpuruk dalam kehancuran moralitas, berbenah menjadi bangsa yang bahkan sebuah jarum yang terletak di jalan pun akan ia singkirkan.

Baca juga:  Jejak Kematangan Bahasa Arab

Maka melalui keterangan tersebut, dapat kita pahami bahwa andai saja tidak dikawal oleh mukjizat, Nabi Muhammad tetaplah manusia fenomenal dan kehadirannya sungguh krusial dalam perkembangan sejarah hidup umat manusia. Para pembesar muslim dari masa khulafaur rosyidin hingga dinasti Ottoman menisbatkan kesuksesan mereka sebagai manifestasi ajaran Nabi Muhammad SAW. Dan Nabi Muhammad  menata kebesaran Islam di dunia dari mulai perjuangan fantastis beliau saat mendidik bangsa Arab yang bobrok, menjadi bangsa yang madani. Sehingga terkait hal ini seorang orientalis pernah mengatakan :

Andai saja Muhammad tidak memiliki mukjizat. Sungguh kemampuannya dalam merubah bangsa Arab yang terbelakang menjadi bangsa besar adalah cukup menjadi mukjizat untuk menegaskan kenabiannya.

Kita tidak akan mungkin meneladani Nabi Muhammad dari aspek-aspek irasionalnya, kita hanya dapat mengikuti jejak langkah beliau dari aspek kemanusiaan yang beliau ajarkan. Dan segala aspek kemanusiaan yang terpancar dari-Nya, sudah cukup untuk menjadi mukjizat atas kenabiannya. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top