Sejak kecil kita sesungguhnya sudah sangat akrab dengan berbagai peristiwa pembiasan cahaya yang terjadi dalam keseharian. Beberapa contoh sederhana pemanfaatan konsep pembiasan antara lain berupa kacamata baca dan berbagai macam lensa kamera.
Sebagian pelajar SMA di Indonesia, khususnya yang berada di kelas 12, biasanya mengenal dengan baik teori hukum pemantulan dan pembiasan cahaya dalam pelajaran Fisika. Teori pembiasan cahaya ini juga seringkali disebut dengan hukum pembiasan Snellius.
Hukum ini termasuk salah satu hukum penting yang berhubungan dengan bagaimana perilaku perambatan cahaya antara dua media yang memiliki indeks bias berbeda [1]. Indeks bias tidak lain ialah perbandingan antara kecepatan cahaya dalam ruang hampa dan kecepatan cahaya dalam suatu medium lainnya. Hukum inilah yang memberikan pemahaman bagaimana sebuah berkas cahaya dapat berbelok saat melalui berbagai lensa atau berbagai medium lainnya.
Penemuan hukum pembiasan ini sering dikaitkan dengan Willebrord Snell (1580-1626), seorang astronom dan matematikawan dari Belanda yang dianggap telah menemukannya pada tahun 1621 dengan menggunakan metode trigonometri.
Penemu Pertama Hukum Pembiasan
Beberapa penelitian baru-baru ini mengungkapkan bila hukum pembiasan ini ternyata telah diungkap terlebih dulu sekitar 637 tahun yang lalu oleh seorang ilmuwan muslim bernama Abu Sa’ad Al-‘Ala Ibnu Sahal (940-1000) [1]. Ibnu Sahal yang asli Persia ini banyak berkontribusi memajukan bidang matematika dan fisika pada masa keemasan Islam di Baghdad. Sayangnya tak banyak yang mengetahui di mana Ibnu Sahal dilahirkan.
Atribusi penemuan hukum pembiasan kepada Ibnu Sahal, ketimbang kepada Snell, dimulai sejak seorang sejarawan asal Prancis bernama Rashed Roshdi meneliti secara mendalam beberapa manuskrip Ibnu Sahal yang ditemukannya di Teheran, Iran pada tahun 1990. Manuskrip yang diperkirakan dibuat pada tahun 984 ini berjudul Kitāb al-Harrāqāt (Benda-Benda yang Membakar).
Sebuah halaman dalam manuskrip itu menunjukkan satu diagram ketika Ibnu Sahal menggunakan konstanta yang didapatkannya dari membandingkan indeks bias sebuah medium tertentu dengan indeks bias udara. Konstanta ini kemudian digunakannya untuk memproyeksikan arah pembiasan sebuah berkas sinar yang melalui sebuah lensa dengan akurat.
Hal Inilah yang kemudian dijadikan pijakan oleh banyak ilmuwan untuk mendukung argumen bahwa Ibnu Sahallah yang sesungguhnya pertama kali menemukan hukum pembiasan 637 tahun sebelum Snell menemukannya kembali [2-4].
Penemuan Kembali Hukum Pembiasan di Eropa
Pendapat yang mendukung Ibnu Sahal sebagai penemu pertama hukum pembiasan ini bukan kemudian diterima tanpa perdebatan, apalagi di Barat, tempat tradisi panjang keilmuannya telah dimulai sejak periode Renaissance. Sepanjang periode itu, bersemi nama-nama ilmuwan besar yang sedikit banyak berjalin kelindan dalam mengembangkan hukum pembiasan ini. Di antara mereka ialah Harriott (1560-1621), Keppler (1571-1630), Snell (1580-1626), dan Descartes (1596-1650).
Sebagian literatur optika modern [5], bahkan juga ensiklopedi Britannica [6], masih mencantumkan Snell sebagai penemu hukum pembiasan ini, bukan Ibnu Sahal. Salah satu yang dijadikan argumen ialah karena Ibnu Haytsam (lebih dikenal sebagai Alhazen di Barat), yang merupakan murid Ibnu Sahal, tidak memasukkan hukum pembiasan gurunya ini kedalam magnum opus-nya Kitāb al-Manāẓir (Buku Optika). Sedangkan karya Ibnu Haytsam ini menjadi basis banyak perkembangan bidang optika saat masa Renaissance berlangsung. Ini ditengarai sebagai alasan mengapa hukum pembiasan Ibnu Sahal tenggelam ditelan zaman.
Meski demikian, sebagian pihak telah menolak argumen ini sejak lama. Sebabnya, alasan gamblang penolakan Ibnu Haytsam itu tak diberikan [7]: ketimbang menerima pemahaman gurunya mengenai pembiasan yang jauh lebih akurat, Ibnu Haytsam ternyata justru menerima persamaan kuno yang diberikan oleh Ptolemy (100-170). Padahal oleh Ibnu Sahal, kesalahan Ptolemy dalam menggunakan persamaan kuadrat yang tak sesuai dengan fenomena pembiasan inilah yang memotivasinya untuk menemukan hukum pembiasan sebagaimana yang kita ketahui hari ini.
Kemungkinan lainnya, bisa saja Ibnu Haytsam tak sengaja melewatkan penjelasan Ibnu Sahal mengenai hukum ini. Hal ini dikarenakan Ibnu Sahal menempatkan hukum pembiasan bukan sebagai pembahasan utama dalam karyanya [1], melainkan menempatkannya sebagai argumen (proposisi) yang dapat membantu Ibnu Sahal menjelaskan cara kerja lensa.
Pada akhirnya, peristiwa tidak ditransmisikannya hukum pembiasan Ibnu Sahal oleh Ibnu Haytsam ini harus dibayar mahal selama 637 tahun kemudian, saat Snell maupun Descartes mesti secara mandiri menemukan kembali hukum pembiasan ini.
Referensi:
- MD Al-Amri, Optics in our time (Swiss, 2016)
- FR Chromey, To Measure the Sky: An Introduction to Observational Astronomy (Cambridge, 2010)
- JM Henshaw, An Equation for Every Occasion: Fifty-Two Formulas and Why They Matter (Amerika Serikat, 2016)
- CH Carman, Renaissance Theories of Vision (Amerika Serikat, 2016)
- K Klem-Musatov et al., Classical and Modern Diffraction Theory (Amerika Serikat, 2016)
- https://www.britannica.com/science/Snells-law
- A Kwan et al., Who really discovered Snell’s Law? (2002)