Kearifan lokal merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Ciri khas keberagaman, hidup dalam cinta damai. Di era disrupsi, perlu pemahaman dan pengamalan pada kearifan lokal. Hampir pada setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan lokal yang mengajarkan gotong royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya.
Pewarisan kearifan lokal ini terjadi dari generasi ke generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang semakin pragmatis dan konsumtif. Lalu bagaimana kearifan lokal mewujud sebagai ideologi dan identitas bangsa sehingga terus kukuh dan kuat sebagai benteng pertahanan paling akhir kaum muda?
Pada diskusi yang digelar oleh Indonesian Youth Transformation Summit (ITYS) 2021 bertajuk penguatan kearifan lokal di era disrupsi membahas secara dalam perihal tersebut. Lambertus Berto Tukan sebagai pembicara membuka pembahasan dengan orientasi pada pengertian Ideologi secara etimologis.
“Secara etimologis, ideologi berasal dari kata idea yang berarti pikiran, dan logos yang memiliki makna Ilmu. Jadi, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual,” ungkap budayawan yang juga menulis beberapa buku tersebut.
Berto, sapaan akrabnya menjelaskan jika secara umum ideologi merupakan sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat untuk menata dirinya sendiri. Ideologi memiliki unsur berupa keyakinan, mitos, dan loyalitas. Keyakinan menunjuk adanya gagasan-gagasan vital yang sudah diyakini kebenarannya untuk dijadikan dasar dan arah strategik bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan.
“Mitos, dalam arti bahwa setiap konsep ideologi selalu memitoskan suatu ajaran yang secara optimik dan deterministik pasti akan menjamin tercapainya tujuan melalui cara-cara yang telah ditentukan pula. Loyalitas mengindikasikan setiap ideologi selalu menuntut keterlibatan optimal atas dasar loyalitas dari para subjek pendukungnya,” tuturnya saat diskusi (12/07/2021).
Perlu dipahami bahwa ideologi Indonesia adalah Pancasila. Pancasila merupakan ideologi dan falsafah negara. Jika mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya makan bisa dikategorikan sebagai tindakan makar. Ideologi Pancasila ini merepresentasikan masyarakat Indonesia yang multi-etnis, multikultural dan multi-agama.
“Saya akan mengutip Soekarno saat diwawancarai seorang wartawan dari Amerika Cindy Adams tentang akar dari Pancasila: Di Pulau Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya, dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah,” lanjut Berto Tukan seolah menirukan Soekarno.
Berto menerangkan jika bung Karno atau Soekarno bukan menciptakan Pancasila, tapi menggali tradisi yang ada di nusantara jauh di dasar. Pancasila adalah hasil dari penggalian Soekarno dari tradisi, budaya, dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Ideologi bangsa kita adalah Pancasila, asalnya pancasila dari tradisi kearifan lokal kita. Kebudayaan yang ada di daerah Indonesia. Menghidupi Pancasila dengan demikian juga adalah menghidupi kearifan lokal.
“Sebagai warga negara Indonesia maka identitas kita adalah Pancasila. Kearifan lokal, juga sebagai identitas. Dengan menggali kearifan lokal, pertama berarti telah mengamalkan pancasila. Kedua, berarti kita telah memperteguh pancasila sebagai identitas kita. Keberagaman kearifan-kearifan lokal kita adalah sesuatu yang hidup dan berdenyut, siap berinteraksi satu dengan yang lain. Kearifan lokal kita bersifat Inklusif dan tidak eksklusif. Karena setiap apapun yang masuk ke Indonesia, pada akhirnya selalu berakulturasi dengan kearifan lokal.”
Berto menekankan jika menghidupi kearifan lokal di dalam konteks identitas Bhineka adalah mencari titik tengah dari kekhasan pada keberagaman. Untuk mewujudkan itu perlu kiranya diupayakan dialog antar budaya, berdialog dengan terbuka tanpa posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah, posisi setara.
“Keberagaman yang indah ini bisa diibaratkan orkestra. Orkestra indah karena paduan dari berbagai alat musik, menjadi satu kesatuan padu dengan beragam bunyinya. Kerjasama dalam keberagaman, ibarat bermain sepak bola gol indah tercipta berkat sinergi kuat antar posisi,” terang Berto.
Kearifan lokal yang mewujud dalam identitas bangsa menjadi penting untuk terus diperkuat dan diamalkan. Apalagi dalam menghadapi tantang globalisasi, sehingga nanti menjadi filtrasi dari budaya asing yang masuk, juga berusaha mendisrupsi budaya Indonesia.