Kepustakaan Islam kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Terutama aspek-aspek ajaran tasawuf dan budi luhur yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab tasawuf. Ciri kepustakaan Islam kejawen adalah mempergunakan bahasa Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek syariat, bahkan sebagian ada yang kurang menghargai syariat.
Syariat dalam arti di sini berupa hukum atau aturan-aturan lahir dari agama Islam. Bentuk kepustakaan ini termasuk dalam lingkungan kepustakaan Islam, karena ditulis oleh dan untuk orang-orang yang telah menerima Islam sebagai agama mereka.
Nama yang sering dipergunakan untuk menyebut kepustakaan Islam kejawen adalah primbon, wirid dan suluk. Suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf, yang juga sering disebut sebagai ajaran mistik dalam Islam, karena kedua nama itu memang bersumber dari ajaran tasawuf. Adapun primbon isinya merangkum berbagai macam ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu-petung, ramalan, guna-guna, dan lain-lainnya. Di samping itu primbon umumnya juga membuat aspek-aspek ajaran Islam.
Terkait dengan suluk, dalam tradisi tasawuf, suluk berarti menjalani jalan tasawuf (dari kata salaka thariqa, termasuk tasawuf), dalam bahasa Jawa berarti ajaran mistik yang diungkapkan dalam bentuk sekar (puisi Jawa), yakni sekar macapat. Adapun ajaran mistik yang diungkapkan dalam bahasa prosa (jarwa) dinamakan wirid. Sekar macapat itu adalah bentuk baru yang muncul dalam bahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa percakapan pada zaman Majapahit.
Jadi suluk yang umumnya diungkapkan dalam sekar macapat baik bentuk wadah maupun isi filsafatnya menunjukkan interaksi antara mistik Islam dengan tradisi bahasa kejawen warisan lama. Karena macapatan bukanlah dari tradisi pesantren maupun santri.
Yang menarik dalam perkembangan karya-karya kepustakaan Islam kejawen semacam suluk dan primbon ini, ternyata tampak jelas bahwa pihak penulis kejawen (para pujangga) lebih aktif dan menonjol dalam menentukan corak dan paham filsafat Islam-kejawennya. Hal ini terjadi lantaran para pelaku kejawen lebih berminat dan yang berkepentingan memang pihak para sastrawan Jawa.
Selain itu, para agamawan pesantren dan santri lebih tertarik pada kepustakaan agama yang asli dari bahasa Arab. Mereka agaknya kurang menghargai karya-karya kejawen semacam primbon dan suluk lantaran dianggap isinya kacau dan tidak murni, serta terkesan menampilkan sejenis ajaran Islam yang tidak lurus dan kurang benar.
Sebaliknya, para pujangga kejawen justru amat bergairah menyadap unsur-unsur dari karya kepustakaan Islam santri baik yang bersumber dari bahasa Arab asli maupun bahasa Melayu. Unsur-unsur keislaman dan terutama ajaran sufisme amat mereka gemari lantaran mudah diolah untuk memperkaya dan mengembangkan ajaran kejawen warisan budaya lama.
Hal ini wajar lantaran semenjak perkembangan kerjaan Majapahit, yakni masa perkembangan pemakaian bahasa Jawa Tengahan menunjukkan telah terputusnya hubungan langsung dengan India. Orang tidak banyak mengenal bahasa Sanskrit lagi, apalagi sesudah zaman penyebaran agama Islam.
Maka pada saat itu sumber ilmu untuk menyusun sebuah karya sastra Islam kejawen adalah dari kepustakaan Islam santri dan Islam Melayu, di samping sastra dan tradisi Jawa Kuno. Oleh karena itu, bisa dimengerti bahwa salah satu sumber baru untuk kreasi menyusun karya-karya baru adalah dari tradisi budaya santri atau pesantren.
Jadi, boleh dibilang terciptanya berbagai karya dalam kepustakaan Islam kejawen adalah berasal dari kepustakaan Islam santri. Para pujangga Jawa banyak mengelaborasi antara ajaran mistik Islam (tasawuf) yang murni dengan ajaran kejawen.
Di samping itu, menurut Simuh (2019), pada zaman Jawa-Islam atau yang dalam serat babad disebut sebagai zaman Kewalen, bukan hanya orangnya yang harus diislamkan tetapi warisan karya-karya budaya Jawa lama juga harus diislamkan, agar bisa dipertahankan dan diterima oleh masyarakat secara luas. Inilah mungkin yang menjadi salah satu latar belakang penting berkembangnya karya-karya kepustakaan Islam kejawen seperti suluk, wirid, dan primbon, di samping hikayat dan novel-novel yang bersifat Islam-kejawen.
Di sini dapat disebut beberapa karya yang masuk dalam kategori kepustakaan Islam kejawen, misalnya karya-karya seperti Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa, Serat Cebolek karya Yasadipura, Serat Sasanasunu karya Yasadipura, Serat Wulang Reh karya Pakubuwana VI, Serat Centini karya Pakubuwana V, Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV dan sebagainya, adalah karya-karya besar yang memuat pengetahuan tentang mistik Islam kejawen.
Lebih jelas dan tajam lagi tentang karya-karya mistik Islam kejawen juga digambarkan dalam karya-karya berbentuk suluk, seperti suluk Darmagandhul, Gatholoco, Sujinah, Syekh Malaya, Malang Sumi-rang, Resi Driya, Topang, dan sebagainya. Bahkan pada zaman para wali (Walisongo) pun banyak lagu-lagu (syair) Jawa yang melukiskan konsep mistik Islam kejawen, seperti Ilir-ilir, Sluku-sluku Bathok, Cublak-cublak Suwek, Dhayohe Teka, dan sebagainya.
Munculnya berbagai karya tersebut, kiranya telah mewarnai kehidupan mistik Islam kejawen. Begitu pula kehadiran Walisongo yang dianggap sakti mandraguna dan berilmu, telah menumbuhkan sinkretisme Islam dan kejawen. Keduanya bergabung secara manis menjadi Islam Jawa.
Maksudnya, mereka menjalankan Islam tetapi masih melakukan tradisi kejawen. Bahkan menurut Djamil (2002), dengan kehadiran berbagai karya mistik Islam kejawen seperti Serat Cebolek, Serat Hidayat Jati, Babad Tanah Jawa, Serat Centhini, dan lain-lain telah memoles sinkretisme mistik Islam kejawen menjadi semakin subur dan semakin memperkaya khazanah kepustakaan dalam Islam kejawen.