Sekian bulan lalu, 8 buku baru terbit untuk menandai usia 65 tahun. Buku-buku terbaca bagi orang-orang telah lama menekuni artikel dan buku Azyumardi Azra, sejak puluhan tahun lalu. Ia “dikutuk” sebagai penulis di koran dan majalah selain menetapi janji di misi akademik. Kita paling ingat buku terkeren Azra adalah Jaringan Ulama (1994). Buku penting banget untuk kita mengetahui sejarah sebaran atau dakwah Islam di Nusantara dan negara-negara lain. Sekian buku Azra membahas pendidikan, sejarah, surau, politik, dan lain-lain.
Azra menulis surau tapi tak memiliki pengalaman mendalam tinggal dan belajar di surau. Intelektual kelahiran Sumatra Barat itu mengisahkan: “Menurut tradisi, anak-anak Minang mendapatkan pendidikan agamanya di surau atau langgar. Khususnya anak lelaki, setiap hari mereka pasti pergi ke surau, menginap di sana untuk belajar mengaji dan salat. Sedangkan saya tidak. Pelajaran agama saya terima dari ibu saya sendiri, di rumah. Ibu lulusan madrasah Al-Manar, sekolah yang didirikan kalangan modernis Sumatra Barat, yang terang-terangan dipengaruhi gerakan pembaharuan Rasyid Ridha…” Pengakuan dimuat di Panji Masyarakat, 7 April 1999.
Ia mengaku selalu mendapat kenikmatan dalam studi. Di Indonesia, ia adalah intelektual ampuh dengan latar akademik memukau. Kita mendapat pengakuan tentang studi-studi itu ditunaikan dengan ketekunan, kebahagiaan, dan kejutan-kejutan. Azra tak pernah mengira bakal sampai ke jenjang tinggi dalam belajar sejarah, agama, politik, pendidikan, dan segala hal.
Azra mengatakan: “Tapi, alhamdulillah, begitu menyelesaikan program S1, saya berhasil mendapatkan beasiswa dari Fulbright Foundation untuk mengikuti program S2 di Amerika Serikat. Usai S2, seharusnya saya pulang ke Tanah Air karena tidak ada biaya untuk program selanjutnya. Tapi, lagi-lagi Allah memberikan kemudahan bagi saya, masih catur wulan kedua program S2, saya sudah berhasil lagi mendapatkan beasiswa dari Columbia University untuk melanjutkan ke jenjang S3. Semua, sepertinya sudah diatur Allah dengan rapi dan mulus.” Kita perhatikan bahwa biografi akademik dialami dan teringat dengan kepastian mendapat ketentuan dari Allah. Oh, kita mulai paham bahwa orang-orang mau menempuhi jalan ilmu meski panjang dan jauh tentu diberkati Allah.
Azra itu “bernafsu” membeli dan membaca buku. Ia seperti mendapat “kutukan” membahagiakan: “Hidup bergelimang buku.” Nah, kuliah sampai negeri jauh dan membaca buku mengakibatkan Azra “bernafsu” menulis artikel dan buku. Lumrah! Kita iri dan ingin meniru? Di Panji Masyarakat, Azra masih malu-malu bercerita tentang buku. Wartawan mungkin memang tak mengajukan tema buku atau lupa saat wawancara. Kita menuju Bukuku Kakiku (2004). “Dan tidak ragu, buku merupakan salah satu sumber terpenting dalam pembentukan pandangan dunia, cara berpikir, karakter, dan tingkah laku saya sehari-hari,” pengakuan Azra. Pada 2004, ia menginformasikan memiliki koleksi buku: 12.000 sampai 15.000 ribu judul. Wah, Azra berkelakar keterlaluan! Perhatikan, angka 12 dan 15 itu selisih sedikit, cuma 3. Nah, hitungan itu ribuan lho!
Ribuan buku menjadi santapan. Azra tahu diri memiliki “besantap buku” ketimbang sekian jenis makanan enak. Buku demi buku memicu nafsu menulis. Penjelasan: “… sepertiga koleksi buku saya berkenaan dengan sejarah mulai dari periwayatan sejarah, teori-teori dan filsafat sejarah sampai kepada historiografi berkaitan dengan sejarah Islam maupun sejarah universal.” Intelektual kondang itu melanjutkan: “… dua pertiga koleksi saya adalah buku-buku berbahasa Inggris.” Nah, ketahuan! Kita digoda bersantap buku setiap hari, terutama buku-buku berbahasa Inggris: meningkatkan iman-takwa dan keilmuan. Begitu.