Sedang Membaca
Haul ke-14 Edward Said: “Seseorang Telah Mengubah Susunan Mawar Itu”
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Haul ke-14 Edward Said: “Seseorang Telah Mengubah Susunan Mawar Itu”

Haul ke-14 Edward Said: "Seseorang Telah Mengubah Susunan Mawar Itu"

Seseorang Telah Mengubah Susunan Mawar Itu adalah judul cerita pendek Gabriel Garcia Marquez, peraih Nobel Sastra tahun 1982 dan penulis novel tenar One Hundred Years of Solitude (1967) atau Seribu Tahun Kesunyian. “Pengubah susunan mawar”, terasa tepat disematkan pada Edward Said.

Edward Said adalah intelektual Palestina-Amerika, yang haul meninggalnya jatuh pada Senin ini, 25 September 2017, empat belas tahun silam. Said (1935—2003) niscaya telah “mengubah susunan mawar” sastra Barat.

Sastra Inggris bolehlah diibaratkan sebuah taman dengan tata bunga dan pohon yang diatur sedemikian rupa, berdasarkan konsensus intelektual dalam rentang seabad lebih. “Orang Barat” telah terbiasa dengan taman yang tertata indah, dan cenderung membanggakan susunan atau tatanannya. Taman itu tidak saja memesona tetapi menyebarkan aura otoritas intelektual yang sangat percaya diri, bahkan cenderung sombong karena perasaan sebagai “kumpulan terbaik dari perjalanan hidup umat manusia”. Taman itu dipuja, dan orang-orang yang menyusunnya dianggap santo-santo yang bersih dari debu duniawi.

Hingga hadirlah Edward Said, orang asing atau liyan, kelahiran Yerusalam yang getol  belajar sastra perbandingan Inggris dan kemudian –pada saatnya– mendirikan kajian akademik poskolonial di Universitas Columbia AS.

Said yang tumbuh secara intelektual dalam tradisi Leo Spitzer serta Eric Aurubach, menegur para pemuja taman itu, bahwa taman itu memiliki susunan tanaman yang sangat buruk sehingga memerlukan penataan ulang. Tatanan taman itu tidak suci dan datang dari langit. Said pun merubah tatanan tanaman “sastra Inggris”.

Baca juga:  Mengenang Keteladanan Gus Sholah

Ia menunjukkan, bunga mawar seharusnya di sisi ini, sementara bunga melati di sisi lain, dan seterusnya.

Said juga mengabarkan kepada pemuja taman, bahwa taman itu disusun oleh orang-orang yang tidak sepenuhnya saleh di dunia, bahkan tangan mereka berlumur durjana dan penindasan. Taman itu tidak mungkin ada tanpa penindasan terhadap manusia di tempat-tempat yang jauh. Taman itu, dan para penyusunnya, tidak mungkin terwujud tanpa penjajahan di tempat yang jauh. Beberapa penyusun dari taman itu juga adalah manusia petualang yang menjijikkan.

Para pemuja dan pengunjung rutin taman itu terbelalak. Para penyusunnya marah-marah, misuh-misuh. Bagaimana mungkin taman yang telah menjadi kebanggan kolektif Barat itu ditata ulang oleh seorang asing yang tidak memiliki tanah air (out of place). Tatanan baru yang ditawarkannya juga sangat menghina dan merendahkan kehormatan para penyusun taman.

Said tidak saja menata-ulang susunan taman “sastra Inggris”, tetapi jagat ilmu sosial secara umum. Melalui buku Orientalism (1978), Said memberi kemungkinan cara pandang lain terhadap disiplin ilmu sosial. Said dengan tepat meletakkan sejarah kelam bernama penjajahan (colonialism)  dalam jagat pengetahuan dunia, baik penjajah maupun mereka yang dijajah.

Orientalism bukanlah buku soal Timur versus Barat. Buku ini lebih tepat dipandang sebagai kritik terhadap para raksasa pengetahuan Barat oleh seorang yang memiliki kualifikasi yang memadai untuk menata ulang jagat intelektual.

Baca juga:  Omar Khayyam: Saintis Muslim, Sastrawan hingga Penikmat Wine Sejati

Cerita Najla

Putri bungsunya, Najla Said (sekarang aktor teater di AS), pernah menyampaikan satu kisah yang menggelitik, dalam transkrip pidatonya berjudul My Father (diterbitan American Cairo University). 

Suatu saat ia pulang membawa tugas rumah dari matakuliah pilihan “posmodernisme” saat masih di semester awal jurusan sastra, Universitas Princeton (satu almamater dengan ayahnya).

Ketika ayahnya bermaksud membantunya mengerjakan PR, ia spontan mengatakan, “Ayah tidak bakal mengerti. Ini matakuliah pilihan baru bernama posmodernisme.” Ayahnya menimpali, “Ingat lho, nak, ayahmu ini adalah salah seorang yang membikin matakuliah posmodernisme itu”.

Waktu itu, Najla belum mengenal ayahnya sebagai seorang raksasa intelektual dunia yang duduk sederet dengan nama-nama beken seperti Francis Loytard, Roland Barthes, Michel Foucault, dan Jean Satre.

Bisa jadi itu salah satu humor  terbaik Said dalam hidupnya. Bisa dibayangkan, sebagai ahli sastra perbandingan ia memiliki sedikit waktu untuk berkelakar. Hidupnya terpatri dalam ruang yang sangat serius. Menurut Daniel Baremboim, konduktor musik klasik dari Israel, sahabatnya ini memiliki sedikit hobi di luar kerja intelektual, yakni koleksi pena, jas, baju, dasi, dan kadang sepatu yang semuanya harus hand-made. Bisa dibayangkan mahalnya.

Orientalisme

Di Indonesia, Said baru dibicarakan tahun 1980-an karena kegaduhan dunia intelektual yang disebabkan badai perdebatan buku Orientalism  di Amerika. Amien Rais adalah orang pertama yang menulis soal Said (kebetulan Amien bersama Cak Nur dan Buya Syafi’ie sedang menempuh kuliah tingkat doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat).

Baca juga:  Gus Dur, Sastra, dan Kemanusiaan

Amien melaporkan kehebatan buku Orientalism sebagai serangan tepat ke jantung pengetahuan Barat. Nadanya sangat revivalis dan apologetic, seperti semangat penerbit Pustaka Bandung yang menerjemahkan Orientalism pada tahun yang sama, 1984.

Baru pada awal 1990-an, ketika diskursus posmodernisme menjadi perbincangan para intelektual Indonesia, arti penting Said, capaian intelektualnya, serta maksud dan relevansinya mulai tersibak. Sedikit orang yang membacanya secara serius. Menurut Saya, suara perlawanan intelektual sangat sulit tumbuh di Indonesia yang para terpelajarnya tidak pernah, enggan, dan tidak kapabel membicarakan pengalaman sebagai generasi paska kolonial. Sejak sebelum kemerdekaan, kebanyakan para sarjana Indonesia menganggap penjajahan sebagai berkah dalam perjalanan bangsanya.

Hari-hari ini di Amerika, tumbuh subur para sarjana dari dunia Arab yang mengkritik Said secara konstruktif. Mereka  memperluas dan menafsirkan ulang pemikiran Said. Sebut saja Hamid Dabashi, Joseph Massad, Vijay Prasad, dan Adel Iskandar.

Bagi mereka, para intelektual sekarang menemukan ‘akar/keterlibatan baru’ (new organicity). Mereka merasa tidak berada di luar ruang (out of space) seperti Said, tapi berada dalam sebuah ruang tanpa Barat dan Timur lagi. Mereka juga menyusun kosa kata pengetahuan yang determinan beserta peta pemikiran yang baru pula.

Sementara itu di Indonesia………. Perbincangan pemikiran masih muter-muter  soal  “kita” versus “mereka”, masih ribut soal komunisme versus agama, dan tema yang tidak mendasar lainnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top