Sedang Membaca
Jejak Kiai Dahlan Cholil: Ulama’ Qira’at dari Jombang dan Kiprahnya di Makkah
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Alumnus Fakultas Syari'ah UIN KH. Achmad Shiddiq Jember dan Ponpes Darul Ulum Jombang, kini nyantri di Ponpes Darul Amien Banyuwangi. Bisa disapa di @akmalkh_313

Jejak Kiai Dahlan Cholil: Ulama’ Qira’at dari Jombang dan Kiprahnya di Makkah

Nisan makam Kiai Dahlan Cholil

Dalam berbagai riwayat pendirian Madrasah Darul Ulum ad-Diniyyah di Makkah al-Mukarramah, nama Syaikh Dahlan atau Kiai Dahlan sebagai salah satu pengajar di bidang qira’at pada madrasah yang pertama kali dikepalai oleh Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawwa al-Falimbani jarang sekali disebutkan.

Padahal di masa kepemimpinan Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi, para santri dan pengajar di madrasah ini menghasilkan satu produk bahtsul masa’il mereka yang berjudul Tsamrah ar-Raudhah asy-Syahiyyah li Thalabah al-‘Ilm min al-Indunīsiyā bi Makkah al-Mukarramah. Yang mana Syaikh Dahlan tercatat sebagai salah satu anggota perumus pada lajnah ini.

Oleh karena itu, kita akan sedikit mengulik biografi beliau yang telah membawa sanad qira’at sab’ah di bumi Nusantara yang mata rantai sanad emas tersebut salah satunya diturunkan kepada K.H. M. Yusuf Masyhar, pendiri Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng, K.H. Achmad Masdhuqi, pendiri Pondok Pesantren Roudhotul Tahfidzil Qur’an, Perak, Jombang, dan K.H. Moch. Qosim Zubair, pengasuh kedua Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Fatchussalam Ampel, Surabaya.

Syaikh Dahlan Cholil merupakan putra pertama dari pasangan al-Mursyid K.H. Cholil Juraimi Ad Dimmaki (Demak) dan Ny. Hj. Fatimah Tamim bin K.H. Tamim Irsyad (perintis Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang) yang lahir pada hari Ahad Wage tanggal 12 Sya’ban 1319 H / 1899 M.[1] Masa kecilnya, dididik langsung oleh abahnya yang kala itu merupakan seorang ulama’ tarekat  Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah.

Ketika usianya menginjak 12 tahun, Dahlan kecil diikutkan serta oleh abahnya menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di tanah suci pada tahun 1331 H/1911 M. Sepuluh tahun sudah beliau menimba ilmu di Mekkah dan pada tahun 1341 H/1921 M, Syaikh Dahlan kembali ke kampung halaman guna menyempurnakan sanad keilmuannya kepada Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Di tahun yang sama, kira–kira bertepatan dengan akhir bulan Jumadil Ats–Tsani atau awal bulan Rajab. Kiai Dahlan berangkat kembali ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji dan meneruskan studinya bersama dengan adiknya yang bernama Ma’shoem. Dalam catatan autobiografi beliau, Kiai Dahlan menuliskan bahwa beliau bersama adiknya masuk ke kota Mekkah pada tanggal 27 Rajab 1341 H bertepatan dengan malam peringatan Isra’ Mi’raj.

Baca juga:  Ulama Banjar (114): Prof. Dr. H. Alfani Daud

Di tahun 1922 M/1342 H pada bulan Sya’ban, kedua orang tua Syaikh Dahlan (Kiai Cholil Juraimi dan Ny. Fatimah Tamim) datang ke tanah suci guna menjenguknya serta akan menunaikan ibadah haji.[2] Namun di bulan Syawwal, ibunda Kiai Dahlan berpulang keharibaan Ilahi pasca melahirkan putri terakhirnya ketika dalam perjalanan menuju kota Madinah Al Munawwarah.[3]

Bertepatan dengan itu, pada bulan haji tahun ini beberapa thalabah (santri) asal Nusantara banyak yang meneruskan studinya di tanah suci Makkah, diantaranya ialah Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawwa al-Falimbani, Kiai Zubair Dahlan dan Kiai Imam Cholil As Sarani, serta HM. Sudja’ (Aktivis Muhammadiyyah dan adik ipar K.H. Ahmad Dahlan) yang kala itu datang ke tanah suci Makkah guna membawa amanat dari Kiai Ahmad Dahlan kepada keponakannya Syaikh Baqir al-Jugjawi yang memohon agar ia berkenan meneruskan estafet kepemimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah.[4]

Pasca musim haji, atau lebih tepatnya di tahun 1923 M/1342 H. Paham Wahabisme mulai masuk di kota Makkah bersamaan dengan gejolak politik Syarif Hussein, Amir Makkah pada masa itu dengan klan Bani Su’ud. Pada tahun 1924 Ibnu Saud berhasil menguasai daerah Hijaz. Pada tahun 1932 dalam catatan harian Syaikh Dahlan, dituliskan bahwa beliau sempat pulang ke tanah air guna menjenguk abahnya, K.H. Cholil Juraimi dan sanak familinya di Pondok Pesantren Rejoso. Pasca di tahun 1931 beliau telah menyempurnakan hafalan al-Qur’an nya dengan sanad qira’at sab’ah yang beliau terima dari guru beliau Syaikh Ahmad bin Abdul Hamid at-Tiji al-Makki.

Entah di tahun berapa karena tidak ada catatan pasti, Syaikh Dahlan kembali lagi ke Makkah disebabkan tugasnya sebagai guru besar Majelis Syafi’iyah dan Tilawatil Qur’an di pelataran Masjidil Haram belum usai, yang mana dahulu beliau ditunjuk sebagai guru besar di Masjidil Haram karena memperoleh lisensi dan rekomendasi dari gurunya, Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari.[5]

Baca juga:  Prie GS dan Kepergian yang Berkesan

Untuk posisi tempat halaqah beliau sendiri, penulis belum menemukan catatan yang pasti. Tatkala di madrasah Shaulatiyah timbul polemik yang dilatarbelakangi para thalabah dari Jawi (Asia Tenggara) sering kali mendapat bullying dari thalabah negeri lain, maka pada tanggal 16 Syawwal 1353/22 Januari 1935 kumpulan para Thalabah asal Jawi tersebut mendirikan madrasah sendiri yang diberi nama Madrasah Darul Ulum ad-Diniyyah dengan Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawwa al-Falimbani ditunjuk sebagai mudir (kepala sekolah) pertamanya.[6]

Syaikh Dahlan Cholil dalam hal ini ditunjuk sebagai Kepala Bidang Manajemen Kurikulum.[7] Adapun adik beliau, Kiai Masho’em Cholil yang semula di Shaulatiyyah ditempatkan oleh kakaknya di madrasah tersebut sebagai salah satu tenaga pengajar.[8] Kejayaan madrasah Darul Ulum Makkah kala itu mulai nampak pada masa kepemimpinan Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi Al Makki. Dalam masa kepemimpinannya, Madrasah Darul Ulum telah sukses menyelenggarakan forum Bahtsul Masail yang dinamai dengan Raudhatul Munadzirin. Di lembaga ini, Syaikh Dahlan Cholil tercatat sebagai salah satu anggotanya. Hasil dari bahtsul masail tersebut dikumpulkan menjadi satu kitab berjudul “Tsamrah ar-Raudhah asy-Syahiyyah li Thalabah al-‘Ilm min al-Indunīsiyā bi Makkah al-Mukarramah.”. Kitab ini menjawab seputara masa’il–masa’il (problem) fikih yang berlaku di tanah suci Makkah kala itu dan sekiranya hasil bahtsul masail tersebut masih relevan digunakan hingga kini.

Seusai masa tugasnya di Makkah berakhir, Syaikh Dahlan pulang kembali ke Rejoso-Jombang pada tahun 1938. Sekembalinya ke pesantren leluhurnya, beliau menamai Pesantren Rejoso dengan nama Pondok Pesantren Darul Ulum sebagai wujud tafa’ulan (mengharap keberkahan) Madrasah Darul Ulum Makkah yang dahulu pernah ia rintis. Dalam mengakhiri masa lajang, Syaikh Dahlan menikah dengan Ny. Siti Fatimah binti Kiai Ahmad Carogo-Jombang dan memiliki 5 keturunan yang bernama, Muhammad Dahlan, Siti Aisyah, Mahmud Dahlan, Hafsah, dan Abdul Hamid.

Pada tahun 1950, istri beliau berpulang keharibaan Ilahi. Lalu pada tahun 1951 Syaikh Dahlan menikahi Ny. Hj. Sholihah yang memiliki nama asli Zubaidah dan masih terhitung cucu gurunya, Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Dari pernikahan kedua ini, Syaikh Dahlan dikarunia tiga keturunan yang bernama, Muhammad Cholil/Drs. K.H. Cholil Dahlan (kini menjabat Ketua MPPDU dan pernah menjabat Ketua MUI Kab. Jombang), Muhammad Chozin/Drs. K.H. Chozin Dahlan, dan Cholisoh / Dra. Ny. Hj. Cholisoh Dahlan.

Baca juga:  Ulama Banjar (57): KH. Nashrun Thahir

Semasa menggembleng para santri di Darul Ulum Jombang, Syaikh Dahlan Cholil terkenal sebagai sosok yang tegas dan tidak plin-plan. Di usia senjanya, Syaikh Dahlan Cholil sempat menduduki jabatan di Lajnah Tashihul Mushaf Qur’an Indonesia dan pada akhirnya pada tanggal 25 Sya’ban 1377 H/16 Maret 1958 beliau berpulang keharibaan Ilahi Robbi serta dikebumikan di makam keluarga Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang bersebelahan dengan makam ayahandanya, K.H. Cholil Juraimi. Wallahu a’lam.

[1] Berdasarkan catatan yang ditemukan oleh putranya KH. Muhammad Dahlan Cholil pada lembaran awal kitab I’anah Thalibin Juz : 1 milik Syaikh Dahlan Cholil.

[2] Dalam biografi KH. Cholil Juraimi yang ditulis oleh KH. Chozin Dahlan, tertulis bahwa Kiai Cholil tidak hanya fokus sebagai tenaga pengajar dan mursyid tarekat di Pesantren Rejoso, namun juga berprofesi sebagai syekh haji (muthowif).

[3] Autobiografi Syaikh Dahlan Cholil, Makhtutat (Manuskrip), TT, halaman 2

[4] Amirul Ulum, “Al – Jawi Al – Makki : Kiprah Ulama’ Nusantara di Haramain”, (Yogyakarta : Global Press, 2019), halaman 132.  Ada hipotesa jika antara Syaikh Dahlan Cholil Al Jumbangi dan Syaikh Baqir Al Jugjawi pernah berjumpa (muwajjahah) langsung, namun belum ada catatan tertulis yang penulis dapati.

[5] Drs. KH. Cholil Dahlan, Interview Via Whatsapp, (02 Juli 2025, Jam : 09.15 WIB)

[6] Amirul Ulum, “Al – Jawi Al – Makki : Kiprah Ulama’ Nusantara di Haramain”, (Yogyakarta : Global Press, 2019), halaman 138.

[7] Tim Penyusun, Buku Sejarah Pondok Pesantren Darul Ulum, 2013, halaman 26.

[8] Abdussalam bin Ahmad Mughni An Naqari, Fadhilatus Syaikh Muhammad Husni Tamrin Al Makki : Alumnus Sekaligus Pengajar Madrasah Darul Ulum Makkah, (Kuaro Pasir : Pondok Pesantren Datuk Ismail, 2013), h. 28.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top