Wasathiyah tidak hanya berarti tengah, ia juga mengandung makna adil. Maka dari itu, seorang “wasith”, yang memiliki akar kata yang sama dengan wasathiyah, harus adil dan bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan tidak semua kebaikan itu berada di pertengahan karena beberapa kebaikan malah tidak ada pertengahannya.
Hal ini disampaikan Prof. Quraish Shihab di acara Lailatul Quran dalam rangka Multaqa Ulama Al-Quran Nusantara 2022 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, pada rabu (16/10).
“Jangan selalu beranggapan bahwa wasathiyah harus berbentuk pertengahan,” ungkap Prof. Quraish yang hadir secara daring.
Menurutnya wasathiyah adalah sesuatu yang menarik dan indah, namun berat dalam pelaksanaannya. Karena itu beliau berpesan tiga hal dalam menerapakan wasathiyah.
Pertama, adanya pengetahuan yang memadai tentang wasathiyah dengan segala perangkatnya. Tanpanya wasathiyah tidak mungkin terlaksana dengan baik. Ibaratnya kita perlu mengetahui ada berapa orang yang di kiri dan berapa yang di kanan. Juga mengetahui di mana tempatnya dan apa yang dihadapinya. Menurut Prof. Quraish, mana bisa kita mengaku mencintai wasathiyah tetapi tidak mengenalnya dan mengetahuinya.
Kedua, kehati-hatian dalam menerapkan. Wasathiyah tidak serupa dalam bentuk yang sama. Cara beragama yang berbeda bukan berarti tidak wasathiyah. Lalu poin ketiga, terkait dengan poin kedua, adalah mengendalikan emosi. Sehingga kita tidak berlebih-lebihan dalam menerapkannya. Bisa jadi apa yang baik pada masa dahulu perlu diperbarui dengan ijtihad untuk masa sekarang.
Gambaran Prof. Quraish, wasathiyah bukanlah semacam pakaian jadi. Karena itu ia bisa berbeda sesuai waktu dan tempat. Maka di sini ada sifat lain yang melengkapinya: As-Sadad, yang berarti ketepatan dalam cara, tempat, dan waktu. Dalam penerapannya, As-Sadad dan wasathiyah adalah perangkat yang saling mengisi.
Senada dengan itu, Prof. Said Agil Husin Al-Munawwar mengungkapkan perlunya pengetahuan agar dapat menerapkan wasathiyah dengan tepat. Pada masa dulu, saat ia lebih muda, wasathiyah lebih dikenal dengan term rahmatan lil alamin. Keduanya memiliki kandungan yang sama. Dan untuk menerapkannya kita perlu belajar terus menerus. Karena pengetahuan sangat luas dan dalam.
“Kamu kalau tidak ikut saya, tidak masuk surga, tapi masuk neraka. Ini menunjukkan kedangkalan ilmu pengetahuan. Dikira cuma dia yang punya surga?” kata guru besar UIN Jakarta tersebut.
Pengetahuan tentang Al-Quran saja, misalnya. Para ulama tidak menyebutnya sebagai “Ilmu Al-Quran”, tapi disebut dengan “Ulum Al-Quran”, menggunakan kata jamak, untuk menunjukkan betapa banyak pengetahuan terkait Al-Quran. Imam Zarkasy menyebut ulumul quran ada 47 fan. Sementara sekitar 100 tahun kemudian, Imam Suyuthi berpendapat ada 80 fan ulumul quran.
“Tadi disinggung Pak Quraish. Ada yang baru belajar satu kitab saja sudah hebatnya luar biasa, (belajar) satu penafsiran saja jalannya sudah miring-miring,” tuturnya.
Sementara itu, KH. Bahauddin Nursalim, atau yang populer disebut Gus Baha, menyinggung ijtihad yang membuat pengetahuan dan perspektif semakin beragam. Ijtihad adalah logika yang tidak konsisten. Antar ulama bisa berbeda-beda hasilnya. Tidak bisa selalu seragam. Dalam kaitannya dengan Al-Quran, hal ini melahirkan tafsir para ulama yang begitu banyak.
“Kita tidak bisa mengartikan Al-Quran tanpa (membaca) tafsir yang banyak,” ungkap Gus Baha’.
Gus Baha juga mengingatkan pentingnya mempelajari ilmu secara komprehensif, terutama ketika hendak memaknai dan memahami Al-Quran. Banyak ayat yang menjadi berbeda pemahamannya jika hanya dibaca dari teksnya.
“Jadi saya minta Al-Quran ini kita bawa dengan semua perangkat ilmunya,” pungkas Gus Baha’.
Multaqa Ulama Al-Quran Nusantara merupakan kegiatan yang diinisiasi Kementerian Agama RI, diselenggarakan pada 15-17 November 2022. Hadir pula malam itu Ali Ramdani selaku Direktur Jendral Pendidikan Islam, Waryono Abdul Ghofur sebagai Direktur Pendidikan Diniyah dan Ponpes, juga KH. R. Abdul Hamid Abdul Qodir selaku pengasuh pesantren Al-Munawwir Krapyak, serta para kiai dan santri-santri.