Sedang Membaca
Belajar dari Gus Dur dan Ibu Gedong
Anas Farkhani
Penulis Kolom

Menulis sebagai hiburan di tengah rutinas sebagai auditor di BPK RI dan membantu dinamika di Pesantren Putri AL Manshur Popongan, Klaten. Mengambil jurusan Doctoral Programme in Finance, Management & Accounting di Universitas Gadjah Mada

Belajar dari Gus Dur dan Ibu Gedong

93189912 10159073707110559 1259638879133106176 O

Ketika bebenah album foto, saya menemukan foto lawas. Sebuah acara di Ashram Gandhi, milik ibu Gedong Bagus Oka di Candidasa, pinggir pantai kota Karangasem Bali sekitar awal Oktober 2001. Di acara ini hadir, sahabat ibu Gedong yaitu Gus Dur bersama rombongan yaitu Bu Nyai Sinta Nuriyah, mas Franky Sahilatua dan tentu saja mbak Yenny Wahid yang mendampingi.

Saya agak lupa tajuk acara tersebut. Saya hadir bersama kawan-kawan PMII Universitas Udayana, motoran dari Denpasar ke Karangasem sekira dua jam.

Waktu Ashar kami sudah berada di Ashram, sudah disediakan tempat semacam pondok, tempat kami rehat dan salat. Tempatnya bersih. Sekira jam 6, acara dimulai, dari Ashram kami berjalan kaki menuju bibir pantai untuk menggelar tradisi dari ashram. Setelah selesai, kami istirahat salat Maghrib dan makan.

Kami, mahasiswa muslim, awalnya agak kikuk. Lalu panitia menghampiri kami seolah sudah membaca kebingungan kami. “Mas, silakan makan. Semuanya halal kok. Bahkan tidak ada daging karena kami memang tak makan daging merah.” kata panitia.

Seingat saya begitu. Segera, naluri anak kos muncul (meski waktu itu saya sudah jadi PNS tapi masih ngekos dan kuliah malam). Mengambil makanan dan menyantap dengan seksama.

Tibalah acara kedua, setelah hiburan genjrengan mas Franky, Gus Dur berbicara di forum. Kami, berharap Gus Dur bakal sedikit bicara tentang lengsernya (dilengserkannya) beliau tiga bulan sebelumnya. Bahkan, sangkaan ini pun diwujudkan dengan banner yang dibuat sahabat-sahabat PMII dengan tulisan

Baca juga:  Mengenang Dokter Soetomo: Tokoh Nasionalis Pembela Kaum Santri

Gus Dur Presiden Kami !

Ternyata, salah prasangka kami. Tak sedikitpun ada pembicaraan tentang Istana dan Kepresidenan. Sepanjang acara, Gus Dur bicara tentang kemanusiaan dan hubungan antar manusia beragama. Pun demikian dengan Ibu Gedong yang dengan sedikit bicara menambahkan yang sudah disampaikan Gus Dur.

Kedua manusia beragama Islam dan Hindu ini, bicara tentang Nilai kemanusiaan, memanusiaakan manusia yang beragam agama dengan konteks di Bali, Muslim adalah minoritas.

Bagi saya, yang kala itu sebagai ketua Ikatan Mahasiswa Muslim Fakultas Ekonomi Universitas Udayana dan penggembira PMII, tema ini maha penting. Kala itu kami sedang berjuang berusaha minta tempat salat yang wajar di kampus Universitas Udayana Denpasar (tak perlu berupa musala atau masjid). Gus Dur dan Ibu Gedong kembali menyadarkan kami pentingnya dialog dengan teman-teman (termasuk dengan pemuka agama) Hindu.

Setelah acara resmi, maka berlanjut diskusi dan dialog bebas di ruangan semacam pondok sambil menikmati teh dan snack godhogan (jajan pasar). Di sini, Gus Dur dan Ibu Gedong cerita bagaimana beliau-beliau sudah lama bergandengan tangan, membangun jembatan dialog dan aksi nyata. Membangun peradaban yang manusiawi di Indonesia.

Sungguh, kesempatan yang langka bagi kami kala itu sebab kami bisa bertanya, diskusi langsung dengan Gus Dur dan Ibu Gedong dalam majlis yang intim nan santai tentang ilmu yang langka. Memanusiakan manusia. Bahkan, kami bisa berdialog empat mata. Meski beliau-beliau adalah orang besar. (RM)

Baca juga:  Memahami Pemikiran Al-Ghazali (1): Kita adalah Bola Lampu yang Menyala, dan Al-Ghazali Adalah Pijarnya

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top