Transmisi besar-besaran naskah Arab ke Nusantara baru terjadi pada kira-kira abad ke-16 M. Mulai dari penerjemahan, menyalin naskah dan proses penyerapan kata perkata dari bahasa Arab-Islam ke dalam bahasa Melayu. Semua itu dilakukan bersamaan dengan proses Islamisasi dan dakwah kultural yang dilakukan para ulama dalam membumikan ajaran Islam di Nusantara.
Kita bisa menelusuri banyak bentuk penerjemahan dan kata-kata yang diserap di masa itu, yakni dari bahasa Arab-Islam ke bahasa Melayu adalah bersumber dari karya-karya sastra. Kata-kata serapan itu juga tersebar luas ke berbagai bidang, seperti peribadatan, fikih, pendidikan, tasawuf, ilmu pengetahuan, filsafat, sistem penanggalan, perdagangan dan lain sebagainya.
Seribu tahun yang lalu, proses arabisasi ini jelas belum terlihat. Bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah yang serumpun di kawasan semenanjung Nusantara ditulis dengan aksara yang berasal dari bahasa India. Pada tahun 1600, sebagaimana dicatat oleh A.H. Johns, keadaan ini telah berubah secara total. Di seluruh kawasan Nusantara, bahasa Melayu boleh dikata hanya ditulis oleh suatu jenis tulisan Arab.
Dengan kata lain, telah terjadi penerjemahan sistem tulis-menulis secara besar-besaran dari satu jenis huruf ke jenis huruf lainnya. Sejak pertengahan abad ke-16, ada sejumlah bukti tentang adanya kesustraaan dalam bahasa Melayu dan dalam huruf Arab ini, yang umumnya karya-karya itu bersifat keagamaan. Dari seluruh karya itu, kesusatraan Arab agaknya yang paling dominan.
Pangkal dari seluruh karya-karya kesustraan Islam yang tumbuh dan berkembang di waktu itu, berasal dari Aceh, Samudra Pasai dan Malaka. Meskipun, ada pula yang juga berkembang di sepanjang pesisir Jawa, Borneo, Sulawesi dan kepulauan Maluku, betapapun hanya sedikit dan kurang menampakkan taringnya.
Satu di antara sekian banyak ulama yang melakukan proses Islamisasi di Nusantara dan karya-karyanya paling mencolok di bidang sastra esoterik adalah Hamzah Fansuri. Ia berasal dari Barus (sekarang berada di Provinsi Sumatera Utara). Meski tanggal lahir tokoh ini hampir tidak diketahui dan tahun meninggalnya pun masih menjadi perdebatan, tetapi jelas bahwa beliau hidup dan meninggal pada abad ke-16.
Nama ‘al-Fansuri’ sendiri berasal dari bentuk arabisasi dari kata Pancur, sebuah kota yang relatif kecil di pesisir Barat Tapanuli Tengah, dekat kota bersejarah Barus. Dalam sejarah kerajaan Aceh Darussalam, daerah Fansur dikenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Di lingkungan inilah, Hamzah Fansuri lahir dan timbuh sebagai pribadi religius dan sangat mumpuni di bidang keilmuan agama.
Beliau banyak dilukiskan sebagai seorang tokoh yang sangat jenius, seorang sastrawan ulung dan pengkaji sejati karya-karya esoterik atau mistik serta beliau adalah seorang pengikut setia aliran tasawuf Ibn ‘Arabi, yang amat sangat terkenal dengan gagasan Wahdatul Wujud-nya. Bahkan, dalam tradisi sastra Melayu, Fansuri dikenal sebagai pencipta genre syair, di mana A. Teeuw menyebutnya sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia.
Hamzah Fansuri adalah ikon sebuah kesuksesan dalam proses arabisasi bahasa Melayu serta pemakaian sebagai bahasa perantara. Secara bertahap, Fansuri mampu melakukan elaborasi antara bahasa Arab dan bahasa Melayu yang karya-karyanya mengisi khazanah pengkajian tasawuf di Nusantara sejak abad ke-16 hingga sekarang.
Beberapa karya itu dapat disebutkan di sini, berupa prosa antara lain; Asrarul Arifin, Sharabul Asyikin, dan Kitab al-Muntahi atau Zinatul Muwahidin. Selain itu, ada beberapa puisi yang juga dapat disebut, seperti Syair Burung Unggas, Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Si Burung Pipit, Syair Si Burung Pungguk dan Syair Sidang Fakir.
Karya Fansuri ini merupakan salah satu bukti kejayaan dari sebuah perpaduan bahasa Arab dan bahasa Melayu yang kemudian dapat hidup berdampingan di bawah atap yang sama, seperti di sekolah-sekolah dan pengajian.
Sebagaimana telah dikatakan, Fansuri adalah tokoh mistik dalam tradisi Ibn ‘Arabi, beliau juga penyair yang religius dan menulis berbagai pembahasan dalam bentuk prosa untuk kategori syair-syairnya. Dia memiliki semangat dan vilatitas yang tinggi, dan dalam puisi-puisinya, dia banyak memasukkan frasa-frasa dari berbagai ayat Alquran yang diterjemahkannya dengan sangat indah dalam bahasa Melayu.
Bersama dengan ayat-ayat Alquran yang dia kutip, Fansuri juga menyisipkan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw., dikolaborasikan dengan berbagai frasa, kata mutiara dan simbol dari tokoh-tokoh sufi besar dunia. Dapat dikatakan, unsur-unsur sufisme ini makin banyak terlihat dalam karya-karya prosanya. Dia pun tidak merasa dikekang oleh seperangkat aturan dalam kepenulisan sastra.
Dengan kata lain, Fansuri berhasil mengutarakan berbagai tema besar dari teosofi (tasawuf-filsafat) ke dalam bahasa Melayu, yang kala itu menjadi bahasa paling dominan di Nusantara, jauh sebelum kemerdekaan dan pemakaian bahasa Indonesia secara resmi sebagaimana sekarang ini.
Dalam menggali bahan dari kesustraan Arab, Fansuri berhasil menuangkan berbagai ide pemikiran religius dan filosofis yang paling esensial ke dalam bahasa Melayu. Ini merupakan sebuah prestasi dan Fansuri mampu menyelaraskan sebuah ide pemikiran pada tingkat paling abstrak pada zamannya.
Padahal, pada abad ke-16, tidak semua orang tertarik pada tema esoterik atau mistik. Sebab, berbagai tingkat pengajaran agama Islam dilakukan oleh para ulama. Apa yang dianut dan diikuti oleh mayoritas masyarakat Islam kala itu, tergantung ulama dan guru yang mengajarkan agama kepada mereka.
Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa kesusatraan esoterik telah lama berkembang sejak era awal perkembangan Islam di Nusantara. Gagasan mistik yang dikembangkan dalam tradisi sastra itu, adalah bentuk negosiasi dan perpaduan antara alam pikiran Arab-Islam dan Melayu. Sehingga antara ajaran-ajaran esoterik Islam yang tumbuh di Nusantara tak dapat dipisahkan dari alam pikiran masyarakatnya, yang pada gilirannya membentuk karya sastra esoterik yang unik dan menjadi kekayaan khazanah Islam Nusantara.