Di Jawa, macapat belum tamat. Masalah macapat masih terdapat dalam buku-buku pelajaran bahasa Jawa. Di sekolah, murid-murid diajak mengetahui macapat. Pengetahuan mungkin terbatas saat di keseharian mereka tak lagi terakrabkan dengan macapat. Lomba-lomba macapat masih diselenggarakan di pelbagai tempat meski jumlah peserta sedikit.
Macapat tetap pikat. Di pelbagai acara-acara selera Jawa di keraton atau tempat-tempat istimewa, macapat mengajak orang-orang menikmati keindahan dan merenung. Macapat menebar pesan-pesan berbarengan telinga mendengar kelembutan dan kemerduan. Pada abad XXI, macapat terdengar sebagai acuan mengenal Jawa. Orang-orang pun mengaku menjadi Jawa dengan macapat.
Pada 1964, terbit buku kecil berjudul Pengantar Puisi Djawa susunan Soesatyo Darnawi. Kita menemukan penjelasan pendek mengenai tembang. Darnawi menjelaskan: “Tembang atau sekar merupakan puisi Djawa utama. Artinja, buku-buku jang ditulis baik mengenai kesusastraan, sedjarah, filsafat pendidikan kebanjakan ditulis dalam bentuk tembang.”
Sekian tembang dibawakan menurut kaidah-kaidah khusus. Tembang-tembang bisa diiringi gamelan atau tanpa gamelan. Kita mengerti puisi itu terdengar merdu. Puisi tak selalu terbaca. Puisi berseni suara. Di situ, Darnawi menganggap penjenisan tembang macapat itu “tembang cilik”: kinanti, pocung, asmaradana, mijil, maskumambang, pangkur, sinom, dandanggula, dan durma.
Kini, kita mengenang masa lalu saat macapat mendapat perhatian, tak selalu dalam intitusi pendidikan-pengajaran. Tokoh di Taman Siswa bernama Hadisoekatno atau Pak Katno memberi persembahan kecil berjudul Buku Tembang Matjapat (1952). Di hadapan kita, buku kecil itu terbitan Prapancha, Jogjakarta, cetakan kedua.
“Sekar matjapat ingkang kawrat ing buku punika namung minangka tuntunan sawatawis tumrap lare-lare ingkang dereng nate sinau sekar matjapat,” penjelasan Pak Katno. Pengantar sederhana agar bocah-bocah mengerti dan menggandrungi macapat. Pada tahap lanjutan, bocah-bocah bisa melakukan pendalaman dan menentukan kesesuaian cengkok. Hal penting dimengerti: “sekar matjapat makaten mila anggadahi watak mardika.”
Buku tak cuma mengajarkan tembang macapat. Tujuh puluh tahun dari penerbitan dan edaran buku kecil, kita justru membaca sebagai rekaman zaman. Kita tergoda mengetahui hal-hal disampaikan melalui tembang macapat berlatar masa 1950-an dan acuan sejarah terdahulu.
Tembang macapat untuk menggugah kesadaran kaum muda dan bocah-bocah bersekolah atau rajin belajar. Kita mengutip kata-kata terkandung dalam kinanti, mengacu ke profesi Pak Katno sebagai pendidik-pengajar: Para muda wadjibipun/ sinau matja lan nulis/ srana ngudi kapinteran. Etung babad ngelmu bumi/ basa Djawa, Indonesia/ minangka pangolah pikir// Tuntunanira pak guru/ amrih betjiking pakarti/ wruh lenggahing tata krama/ rasa mardika ngudi/ tresna nusa lawan bangsa/ sumungkem anggering nagri.
Ajakan agar kaum muda belajar, menekuni sekian ilmu diajarkan di sekolah. Mereka menjadi kaum berpikir. Pelajaran dan tuntunan dari guru menjadikan murid-murid mengetahui ilmu dan tata krama. Mereka bisa menggunakan pengetahuan dan amalan untuk mengabdi kepada negara. Pesan-pesan lugas mengungkap situasi pendidikan-pengajaran berlatar masa 1950-an. Indonesia sedang membuat dan membuktikan janji-janji perubahan melalui kebimbangan berdemokrasi dan menentukan corak revolusi.
Pengajaran sejarah pun disampaikan Pak Katno melalui dandanggula dengan pengisahan tokoh dan usaha-usaha pemuliaan Indonesia. Kita menuju babak-babak masa lalu. Pak Katno seperti sedang memberi risalah sejarah meski ringkas: Lelabetaning para pemimpin/ kang murwani ngudi kamardikan/ wiwit djaman Matarame/ Untung Surapatiku/ nuli Pangeran Mangkubumi/ Pangeran Diponegara/ aprang limang taun/ wekasan kendang Makassar/ ing Sumatra, Imam Bondjol perang padri/ nduwa maring djadjahan// Dumadine gerakan pulitik/ wiwite parte Budi Utama/ Dokter Wahidin djenggule/ SI lan SR timbul/ Tjokroaminoto kang mimpin/ Semaun mbrontak Landa/ keh kang kendang Digul/ NIP pemimpinira/ Suwardi lan Dokter Tjipto, Setyobudi/ PNI ne Bung Karna.
Kita menduga pengisahan sejarah melalui macapat itu tak semua tepat. Sekian nama memang tercatat sejarah. Kita tak mudah menandai tahun-tahun dan jenis-jenis peristiwa. Sekian pengajaran sejarah itu disesuaikan dengan kaidah membuat tembang macapat. Kita menebak ada hal-hal tak mudah dicantumkan atau dianggap kurang cocok untuk mencipta keselarasan dan kemerduan.
Penerbitan buku kecil juga mengenalkan sosok Pak Katno. Dulu, para pembaca diajak mengenali tokoh. Kini, kita menghormati tokoh dan menjadikan buku (tua) terus berfaedah.
Kita mendapat perkenalan diri: Paksanen pakartinira/ katata manut wirama/ nala tulus tanpa djeda/ gulangen jwa kongsi kemba/ rubedane tandingana/ takat kanti sabar drana/ mandjing dadya wadjibira/ siswa jang ngudi utama. Pembaca diminta memperhatiakan susunan berdasar suku kata di depan menghasilkan nama: “Pak Katna, guru Taman Siswa”.
Buku telah dibuat dan dipersembahkan. Pada abad XXI, kita masih menemukan dan menikmati buku kecil mengenai macapat sekalian mengenali sosok bernama Pak Katno. Tokoh wajib tercatat dalam perbukuan (seni) Jawa. Begitu.