Sedang Membaca
Jusuf Kalla, Martti Ahtisaari, dan 20 Tahun Perdamaian Aceh
Wella Sherlita
Penulis Kolom

Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.

Jusuf Kalla, Martti Ahtisaari, dan 20 Tahun Perdamaian Aceh

Img 20250701 Wa0018

Seluruh rakyat Aceh menyaksikan dengan penuh haru proses perdamaian GAM dan pemerintah RI di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Konflik bersenjata selama hampir 30 tahun, akhirnya berujung dengan perundingan damai.

Di tengah dua kelompok yang sama-sama bersenjata, yakni pasukan GAM dan TNI, terdapat dua sosok sipil yang berperan sangat penting dalam negosiasi: Jusuf Kalla dan Martti Ahtisaari.

Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, ternyata memiliki formula tersendiri dalam menyusun sebuah proses perdamaian. Hal yang paling awal ia lakukan adalah mempelajari karakter pihak-pihak yang sedang bertikai.

“Saya dulu sama sekali tidak mengenal Malik Mahmud (Wali Nanggroe Aceh), Nur Djuli (mantan kepala perwakilan GAM di Malaysia), dan anggota tim perunding lainnya dari GAM. Maka yang pertama saya lakukan adalah mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang mereka, siapa kah Malik Mahmud, tinggal di mana dia dan apa saja kesibukannya, apa hobinya, dan lain-lain,“ ungkap Kalla, dalam seminar bertopik “Martti Ahtisaary Legacy Seminar: The Future of Peace Mediation” di Jakarta, Senin (30/6/2025).

Cara-cara semacam ini, ujar Kalla, telah ia terapkan sejak terlibat dalam berbagai perundingan damai di dalam negeri, diantaranya di Poso dan Maluku. Kalla memang bukan diplomat; ia seorang sipil berlatar pengusaha.

Baca juga:  Ketika Santri Mengkaji Nano-Teknologi

Namun istilah ‘juru perdamaian’ kini lekat dengan dirinya sejak sukses menggulirkan negosiasi GAM dan pemerintah RI, serta didukung oleh rakyat Aceh yang berbesar hati menerima hasil perundingan damai tersebut.

Adapun Martti Ahtisaari adalah mantan Presiden Finlandia yang pada 2000 mendirikan Crisis Management Initiative – Martti Ahtisaari Peace Foundation. Lembaga ini berperan besar sebagai penengah dalam perundingan GAM-RI.

Sebagai mantan Presiden dan diplomat kawakan, Ahtisaari mampu meredam kemarahan pihak GAM terhadap Jakarta, dengan menerjemahkan definisi ‘damai’ dan tuntutan otonomi versi GAM secara cermat kepada tim pemerintah RI.

Sepatu yang Tidak Pas

Mantan Menteri Hukum dan HAM RI, Hamid Awaluddin berkisah mengenai obrolannya dengan Martti Ahtisaari ketika ia mencoba untuk memakai sepatu Ahtisaari.

“Sepatu itu menurut saya bagus dan dia izinkan saya untuk mencoba, tapi kebesaran,” tutur Hamid, yang mewakili pemerintah Indonesia saat penandatanganan perjanjian perdamaian Helsinki.

Seterusnya, Hamid mendapatkan jawaban yang tidak bisa ia lupakan. Ahtisaari menukas, “Sekarang Anda bayangkan sepatu yang besar ini adalah Indonesia, dan yang mencoba untuk memakainya adalah GAM, tentu tidak nyaman kan? Bagaimana kita bisa berjalan dengan sepatu yang kebesaran? Bayangkan jika anda berada dalam posisi mereka,” kata Ahtisaari waktu itu.

Baca juga:  Kemenag Matangkan Peta Jalan Kemandirian Pesantren

Cerita ini dibagikan Hamid saat pemutaran film ‘The Last Accord’ yang mengisahkan perjalanan perundingan damai Helsinki.

Img 20250701 Wa0017
Martti Ahtisaari (tengah) bersama Hamid Awaludin (kiri) dan Malik Mahmud Al Haytar (kanan) dari GAM (Foto: Wikipedia)

Sisanya adalah sejarah. Nota Kesepahaman Helsinki kelak dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ribuan pucuk senjata yang dimiliki TNI dan GAM di bawa ke lapangan dan dipotong menggunakan mesin khusus.

Peristiwa itu ikut disaksikan warga Aceh, media massa, Panglima TNI, Kapolri, serta Aceh Monitoring Mission; sebuah misi pemantau yang diisi oleh perwakilan ASEAN dan Uni Eropa.

Martti Ahtisaari memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian pada 2008. Ia meninggal dunia pada 16 Oktober 2023. Sedangkan Jusuf Kalla kini aktif dalam berbagai aktivitas kemanusiaan.

Pro dan kontra sempat merebak di tingkat daerah dan pusat, termasuk dari sejumlah tokoh dan partai politik.

Namun seiring berjalannya waktu, perdamaian Aceh tetap mampu bertahan hingga sekarang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top