Satu konsekuensi dari erat/kuatnya hubungan antara prinsip spiritual/metafisika Islam dan seni Islam dalam seluruh aspeknya, juga akibat dari pengaruh metafisika keesaan (tauhid), adalah makna spiritual tentang kehampaan. Peran kehampaan dalam seni Islam merupakan satu di antara sekian akibat langsung dari prinsip metafisika keesaan, karena hampir setiap segi dalam seni Islam selalu berhubungan dengan prinsip itu.
Doktrin keesaan terkandung secara langsung di dalam pernyataan iman Islam atau syahādah, Lā ilāha illallāh, ‘Tidak ada Tuhan kecuali Allah‘. Formulasi metafisika yang paling mendalam ini mempunyai berbagai aspek dan tingkat pengertian, yang dua di antaranya secara langsung sangat penting bagi kita.
Pertama adalah penekanan pada karakter kesementaraan dan ketaksubstansialan segala sesuatu selain Allah (mā siwallāh) dan oleh karenanya juga meliputi seluruh urutan ciptaan: yang material adalah yang paling tidak permanen. Kedua adalah penekanan pada ‘sesuatu yang lain’, sehingga benar bahwa Allah sepenuhnya berada di atas seluruh pemikiran/pengertian awam tentang makna ‘ilāh’.
Menurut interpretasi pertama, apabila kita menganggap Allah sebagai Substansi Terakhir atau Wujud Murni –mengingat dalam terminologi metafisika Islam, wujud dapat dianggap sebagai ‘sesuatu’ (al-syay’)– maka ada aspek ketiadaan atau kehampaan dalam sifat dasar semua urutan penciptaan. Hal itu merupakan akibat langsung dari kenyataan, bahwa menurut pengertian yang mutlak, hanya Tuhan-lah yang nyata.
Menurut interpretasi kedua, apabila kita memandang objek sebagai sesuatu dalam pengertian awam, maka kehampaan juga merupakan jejak dan gema Tuhan dalam dunia penciptaan. Oleh karena itu, kehampaan adalah simbol transendensi Tuhan dan sekaligus kehadiran-Nya dalam segala sesuatu.
Prinsip dasar metafisika yang ditemukan dalam syahādah ini, dan juga penolakan Islam terhadap dasar perspektif konsep manusia-Tuhan – penolakan yang terkait dengan penekanan Islam atas keesaan – merupakan alasan yang sangat kuat akan pentingnya peranan kehampaan dalam seni Islam. Prinsip itu juga menjelaskan makna spiritual yang menjadi simbol kekuatan dalam seni dan arsitektur.
Seni Islam selalu berusaha menciptakan ambiensi yang menekankan karakter kesementaraan dan keduniawian benda material dan menonjolkan kekosongannya. Namun, jika obyek benar-benar tidak nyata dan tidak ada secara absolut, maka tidak akan ada obyek dan seni untuk dibicarakan.
Bagaimanapun juga, situasi realitas dalam seluruh kesempurnaannya meliputi aspek kenisbian sesuatu dan refleksi wujud maupun simbol positif dari tingkat realitas yang lebih tinggi dan akhirnya adalah realitas terakhir itu sendiri. Kedua aspek tersebut harus ditekankan. Yang pertama dapat disamakan dengan kehampaan, dan yang lainnya dengan aspek ‘positif’ materi, bentuk, warna, dan sebagainya, yang digunakan dalam suatu karya seni.
Semua bersama-sama melukiskan sepenuhnya realitas suatu objek, memantulkan ketaknyataanya dan memperjelas realitas esensialnya sebagai suatu simbol positif dan keselarasan menyeluruh. Kombinasi kedua unsur tersebut terlihat secara jelas dalam arabeska, sehingga mencirikan seni Islam, di mana ruang negatif dan bentuk ‘positif’ sama-sama memainkan peranan utama.
Arabeska memungkinkan kehampaan memasuki inti materi yang sejati, menghalau bayangannya dan membuatnya transparan di hadapan cahaya Tuhan. Melalui penggunaan arabeska dalam berbagai bentuknya, kehampaan memasuki berbagai permukaan seni Islam, memancarkan keindahan benda-benda material dan memungkinkan ruh untuk bernafas dan berkembang.
Arabeska, melalui perluasan dan pengulangan bentuk-bentuknya yang dijalin dengan kehampaan, juga menghilangkan kemungkinan adanya keterpakuan pandangan di satu tempat saja dan menggerakkan pikiran dari keterikatan pada solidifikasi dan kristalisasi materi tertentu.
Penolakan untuk mengidentikkan bentuk konkret apa pun dengan ketuhanan berasal dari penekanan Islam pada keesaan Tuhan sehingga tidak ada satu ikon pun yang melambangkan manusia-Tuhan ataupun reinkarnasinya sebagaimana terdapat dalam agama-agama lain.
Karena dalam Islam tidak ada gambar sakral seperti dalam pengertian Kristen, maka manusia tidaklah memproyeksikan dirinya secara lahiriah dengan mengidentikkan dirinya dalam cara apa pun dengan gambar manusia-Tuhan. Pelukisan gambar “manusia universal” (al-insān al-kāmil), yakni konsep Islam yang paling mirip dengan konsep manusia-Tuhan dalam agama-agama lain, dilarang sebagaimana pelukisan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, manusia harus memusatkan pikiran dalam dirinya dan tetap tenang di dalam batinnya, karena hanya melalui ketenangan dan kontemplasi batiniah dia dapat memperoleh kesadaran akan ketuhanan.
Anikonisme Islam, yang menghilangkan kemungkinan untuk konkretasi Kehadiran Tuhan (hudhūr) dalam ikon atau gambar, merupakan faktor penting dalam memperkuat makna spiritual kehampaan dalam pikiran seorang muslim. Melalui hal itu, sebagaimana prinsip metafisikal keesaan, kehampaan menjadi unsur sakral dalam seni Islam.
Tuhan dan penyingkapan-Nya tidak diidentikkan dengan suatu tempat, waktu, atau obyek tertentu. Oleh karena itu, kehadiran-Nya ada di mana-mana. Dia ada di mana-mana, ke mana pun seseorang menghadap, sebagaimana ayat Al-Quran menegaskan, ‘Ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Tuhan’ (QS 2:115).
Karenanya kekosongan dalam seni menjadi sinonim dengan manifestasi kesakralan. Masjid, apakah berupa bangunan sederhana seperti pada periode awal Islam misalnya masjid Damghan atau masjid Damavand yang baru-baru ini telah hancur, ataukah yang penuh hiasan seperti masjid-masjid di Fez, Isfahan, Masyhad, atau Lahore, mengesankan kehadiran Tuhan melalui kekosonganya.
Sebagaimana telah disebutkan, hal tersebut dicapai oleh masjid tipe pertama melalui hakikat ketiadaan berbagai bentuk dan warna, sedangkan masjid tipe kedua dengan desain-desain geometrik dan tetumbuhan, melalui penggunaan warna, seluruh variasi arabeska, dan juga kaligrafi.
Dalam hal kaligrafi, pola-pola negatif mempunyai arti yang penting sebagaimana pola-pola positifnya, terutama dalam gaya kufi dan, dalam ekstrem lainnya, syikastih. Banyak desain kaligrafis yang terkenal karena polanya diciptakan dari ruang kosong sebagaimana garis yang ditelusuri oleh tulisan itu sendiri. Contoh-contoh dari manfaat positif kekosongan dalam gaya kaligrafi ini banyak sekali, mulai dari desain menara Bani Seljuq di Persia sampai kaca-kaca jendela di istana-istana Maghribi.
Dapat dikatakan bahwa kesadaran terhadap adanya hubungan antara kehampaan dengan kehadiran Tuhan dalam seni Islam dicapai melalui kaligrafi, pola-pola arabeska, dan geometris, sebuah kesadaran yang erat dihubungkan dengan sikap kemiskinan spiritual (faqr). Semua seni Islam, yang diwakili oleh seni Persia melalui beberapa contoh yang sangat baik, mengandung sebuah penegasan, sekalipun melalui objek-objek material, bahwa ayat Al-Quran menyatakan ‘Allah Mahakaya dan kamu semua miskin (fuqarā’)’ (QS 47:38).
Bahkan seni yang mewah dan banyak hiasan dari Bani Safawi Persia atau Bani Umayyah Andalusia sekalipun mampu memahami ‘kemiskinan’ ini dan memelihara prinsip bahwa kehampaan membawa kesakralan dan menjadi pintu gerbang Kehadiran Tuhan di dunia material yang melingkupi manusia dalam perjalanan duniawinya.
Dengan demikian, kehampaan menghilangkan pengaruh penyempitan lingkungan kosmos atas manusia, karena kapan pun dan dimana pun selubung materi terangkat, bersinarlah cahaya Ilahi melaluinya. Berada di ruang dengan mebel yang teratur, duduk di atas karpet berdesain tradisional dengan pola arabeska mode mutakhir, juga berdiri di dalam masjid yang kosong dan melukiskan keesaan melalui kesederhanaan dan ornamen-ornamennya.
Sesungguhnya ornamentasi memang berdasarkan pada pentingnya kekosongan dan kehampaan serta melukiskan keserbaragaman dalam keesaan, yang tak lain untuk memperoleh pengalaman spiritual tentang kehampaan melalui seni. Pengalaman ini menuntun ke suatu keleluasaan (insyirāh) yang menghentikan pengaruh penyempitan kosmik atas jiwa dan menempatkan manusia di hadapan Tuhan, membuatnya sadar akan kehadiran Tuhan di mana-mana.
Makna positif tentang kehampaan juga terlihat dalam peranan yang dimainkan ruang pada arsitektur serta tata kota Islam. Dalam arsitektur Barat baik abad klasik, pertengahan, maupun abad modern, ruang ditentukan oleh suatu bentuk yang pasti seperti bangunan atau patung. Inilah obyek yang menentukan ruang di sekelilingnya dan memberi makna serta determinasi pada ruang tersebut.
Dalam arsitektur Islam, ruang memiliki pengertian negatif. Ruang bukan ditentukan oleh suatu obyek positif, melainkan ditegaskan oleh ketiadaan korporealitas. Sekali lagi ini merupakan suatu aspek kehampaan dan jika menginginkan istilah yang lebih baik, seseorang dapat menyebutnya sebagai ‘ruang negatif’. Hubungan yang erat antara seni tradisional dan kosmologi memungkinkan kita untuk memahami konsep ruang dalam seni dan arsitektur Islam dengan membandingkan definisi ruang yang terdapat dalam karya-karya kosmologi Islam.
Menurut sebagian besar aliran kosmologi Islam, langit tertinggi menentukan ruang di bawahnya dan oleh karenanya ditegaskan sebagai ‘yang membatasi dan menentukan (muhaddid) ruang’. Ruang kosmik yang ditentukan oleh permukaan inti bulatan yang paling jauh adalah lebih baik daripada ditentukan oleh obyek positif apa pun seperti bumi atau planet.
Ruang, sebagaimana adanya, terpahat dari kepadatan benda kosmik dan tersusun sesuai dengan permukaan yang mengelilinginya bukan berdasarkan obyek yang dikelilinginya. Tentu saja, ada definisi-definisi kosmologis tentang ruang yang mungkin berbeda dan para penulis muslim memang tidak sependapat dalam cara pendefinisian ruang. Namun, pendapat yang telah disebutkan di atas yang paling menonjol dan justru dari pendapat inilah terlihat persesuaian dan penerapannya dalam seni.
Dalam arsitektur dan tata kota Islam, ruang ditentukan menurut cara yang persis sama yakni oleh permukaan inti bentuk-bentuk yang mengelilinginya, bukan oleh objek yang positif dan konkret. Ia ada di dalam aspek negatifnya sendiri dan secara langsung dihubungkan dengan simbol spiritual kehampaan.
Ruang taman Persia ditentukan oleh dinding-dinding bagian dalamnya dan bukan oleh bangunan atau pun kolam yang ada di tengahnya. Demikian pula di kota tradisional, dinding yang mengelilingi bangunan-bangunan menentukan terbentuknya ruang pasar.
Jalan-jalan sempit membentuk ruang, karena ketiadaan korporealitas sehingga identik dengan kehampaan, tampak seperti sebuah lorong yang memotong kepadatan bentuk-bentuk material untuk memungkinkan ruh bernafas di suatu dunia jika terjadi sebaliknya maka akan menyebabkan ruh mati lemas.
Inilah makna khusus keleluasaan ruang negatif tersebut yang paling banyak terdapat di halaman masjid, ruang pasar yang lebih sempit atau jalan terbuka dan juga di halaman rumah pribadi menuju ruang jalan dan gang yang sempit.
Bagi siapa pun yang telah memahami sepenuhnya makna ruang di lorong-lorong kota Fez atau pasar di Isfahan, yang tiba-tiba berujung di halaman luas sebuah masjid, rumah pribadi atau alun-alun tradisional, maka segera akan merasakan kelapangan dan kegembiraan. Bagi seorang muslim, perasaan tersebut selalu dikaitkan dengan intensifikasi kesadaran akan kehadiran Tuhan yang senantiasa diiringi berbagai kegembiraan.
Bukanlah kebetulan bahwa istilah inbisāth dalam bahasa Arab dan Persia berarti kelapangan dan kegembiraan, atau bahwa intensifikasi iman dan pengalaman spiritual itu dalam Islam berhubungan dengan kelapangan dada (insyirāh al-shadr). Keahlian penggunaan ruang negatif oleh para arsitek dan perencana kota muslim, yang mendasarkan dirinya pada makna positif kehampaan dalam kesadaran religius Islam, telah mampu menciptakan suatu ruang dengan ketiadaan korporealitas.
Ketiadaan korporealitas itu menuntun menuju kesadaran batin dan kontemplasi, sebagaimana dalam taman. Juga menuju kelapangan serta kegembiraan spiritual, seperti di dalam ruang-ruang masjid yang luas yang dibatasi oleh ruang yang tertutup dan negatif dari pasar dan lorong-lorong kota Islam tradisional.
Maka kehampaan memainkan peran positif dalam seni maupun dalam arsitektur Islam dengan mentransparankan materi, menyingkapkan sifat kesementaraannya, dan bahkan pada saat yang sama juga menyusupkan kehadiran Tuhan dalam bentuk-bentuk material. Karena Tuhan tidak pernah diidentikkan dengan manifestasi yang konkret atau dijelmakan dalam bentuk khusus apa pun, maka Dia senantiasa mutlak lagi tak terhingga.
Dengan kesempurnaan dan kekayaan diri yang utuh, Dia –di mata manusia yang hidup di dunia korporeal– semata-mata tampak sebagai suatu realitas transenden dan di atas pemerian bentuk material. Kehadiran-Nya hanya dapat dirasakan di dunia korporeal dengan bantuan kehampaan.
Maka penggunaan kehampaan dalam seni Islam, bersama dengan bentuk geometris atau bentuk lain simbolisme abstrak, hanya menjadi sarana seni dan arsitektur untuk mengindikasikan keesaan yang ada di mana-mana sekaligus berada di atas segalanya. Melalui penggunaannya dalam seni plastis, yang pasti dihubungkan dengan penggunaan kesunyian dalam musik dan syair, seni Islam menjadi sarana untuk mengekspresikan spiritualitas yang terdapat dalam inti ajaran Islam, bahwa keesaan merupakan alpha dan omega iman itu sendiri, sesuai dengan ungkapan tokoh sufi Mahmūd Syabistari:
يكى ين و يكى گوى و يكى دان بدين ختم آمد اصل و فرع ايما ن
Lihatlah keesaan, ucapkanlah keesaan, ketahuilah keesaan, di dalamnya terangkum batang dan cabang-cabang imān (Gulshan-i Rāz). (SI)