“Terdapat banyak karya tafsir Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Jawa, namun sayangnya luput dari perhatian para peneliti, terlebih peneliti Barat. Padahal karya-karya itu memiliki kedalaman dan kekhasan. Bagaimana Al-Qur’an dipahami pesan-pesannya, bagaimana pergumulan yang terjadi, sejauh mana nilai dan tradisi Jawa berperan dalam membangun dan menghasilkan suatu tafsir serta bagaimana nilai-nilai Jawa dibawa dan Al-Qur’an diresapi, menjadi hal-hal yang menarik dikaji,” tutur Islah dalam pidato pengukuhan guru besar di Graha UIN Raden Mas Said Surakarta (16/5).
Pidato yang disampaikan Islah bertajuk “Tafsir Al-Qur’an dan Lanskap Kejawaan: Resepsi, Transmisi dan Strategi Budaya”. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta itu dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Tafsir. Islah menjadi guru besar ke-16 UIN Raden Mas Said Surakarta.
Islah mengisahkan perhatiannya pada karya-karya mufasir yang mempublikasikan tafsir Al-Qur’an dengan sejumlah perangkat kebudayaan (bahasa) Jawa. Ia menyebut sejumlah nama: Kiai Salih bin Umar al-Samarani (1820-1903), Kiai Imam Ghozali Solo (1887-1969), ST. Cahyati, Raden Muhammad Qamar/Tafsir Anom V (1854-1927), Raden Muhammad Adnan (1889-1969), Bagus Ngarpah, Munawar Chalil (1908-1961), Kiai Bisri Mustafa (1916-1994), Kiai Mujab Mahalli (1958-2003), Bakri Syahid (1918-1994) hingga Kiai Shodiq Hamzah.
Dalam pidatonya, Islah menceritakan minat dan ketertarikannya akan naskah-naskah tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa sejak ia menjadi dosen di UIN Surakarta. Hubungan antara Al-Qur’an dan tafsir dengan ruang batin Jawa yang terabaikan di tradisi akademik menjadi kegelisahan Islah. Ia pun mendirikan Pusat Kajian Naskah dan Khazanah Islam Nusantara di kampusnya. Islah lantas mengumpulkan satu persatu naskah keagamaan hingga mencapai ribuan untuk ia dokumentasi, digitalisasi dan teliti.
Salah satu hasil dari ketekunannya adalah karya disertasi pada tahun 2014 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang dialektika tafsir Al-Qur’an dan praktik politik rezim Orde Baru (1968-1998). “Dalam riset itu saya menunjukkan bahwa sebagai produk ilmu pengetahuan, penafsiran Al-Qur’an dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah faktor genealogi pengetahun penafsir, audiens, konteks sosial politik ketika tafsir ditulis dan dipublikasikan. Ada pengaruh latar belakang, peran sosial, budaya, dan politik penafsir,” ucap Islah.
Dalam kajian tafsir Al-Qur’an yang menjadi pusat kajian tidak hanya pada teks (Al-Qur’an). Sejak era klasik, selain memahami dan mengacu teks Al-Qur’an dengan segala sistem kebahasaan di dalamnya, dalam penafsiran diperlukan juga pemahaman atas konteks di luar teks, baik konteks mikro (audien dan objek yang diajak berbicara saat teks Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad) maupun konteks makro (kondisi sosial, budaya dan politik masyarakat Arab), serta konteks sejarah sosial-budaya ketika penafsiran dilakukan.
Di Jawa, penafsiran ayat Al-Qur’an telah lama dilakukan oleh para ulama. Dapat kita tengok misalnya naskah koleksi Syaikh Akhmad Mutamakkin (1645-1740) yang disebut Naskah Kajen. Naskah tersebut ditulis dengan aksara Pegon dan teknik makna gandul. Kita catat pula kontribusi Kiai Bagus Ngarpah yang mengelola madrasah Manbaul Ulum Surakarta, yang menerjemahkan tafsir Al-Jalalain dan menerjemahkan Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa aksara Carakan berjudul Quran Jawen. Usaha Kiai Bagus Ngarpah disponsori Perkumpulan Sastrawan Waradama dan dibiayai Keraton Surakarta.
Pada perkembangan berikutnya, kita dapat cermati Tafsir Soerat Wal ‘Asri karya St Chayati di Tulungagung yang dicetak oleh Penerbit Worosoesilo Surakarta pada 1925. Juga Tafsir Al-Qur’an Lengkap karya Moh Amin bin Ngabdul Muslim yang dicetak Penerbit Siti Sjamsijah Solo tahun 1932-1935. Kedua karya tersebut ditulis dalam aksara Carakan. Penerbit Siti Sjamsijah Solo juga menerbitkan Quran Jawen dan Tafsir Qur’an Pandam lan Pandoming Dumadi tahun 1928-1930.
Masih di Solo, Imam Ghozali bin Chasan Oestadz (guru di madrasah Manbaul Ulum Surakarta) menerbitkan Tafsir Al-Balagh (1938) dengan aksara Pegon dan latin. Tafsir tersebut dipublikasikan dalam bentuk booklet secara serial serta dicetak dan diterbitkan Toko Kitab Al-Ma’moerijah Sorosejan Solo.
Penulisan tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa berjalan dinamis dari masa ke masa. Pada kahir 1970-an, Dja’far Amir, guru di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), sekarang MAN 2 Surakarta, menerbitkan Al-Huda: Tafsir Al-Qur’an Basa Jawi. Cetakan pertama tafsir ini bertahun 1972. Terbaru, pada 2019, Kiai Shodiq Hamzah Usman menulis tafsir Al-Bayan fi Ma’rifati Ma’ani al-Qur’an dan terbit tahun 2020 di Yogyakarta.
“Al-Qur’an dan Islam diresepsi, diadopsi, diadaptasi dan ditransformasikan para ulama di Jawa secara dinamis dan kreatif dalam ruang batin dan kesadaran masyarakat. Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat mencerminkan praktik tersebut. Jowo digowo mengandung pesan jangan pernah meninggalkan nilai dan tradisi baik yang telah hidup dalam kesadaran mayarakat Jawa. Arab digarap artinya segala yang datang dari Arab sebaiknya dipelajari, dimengerti dan dipahami terlebih dahulu dengan baik. Sedangkan Barat diruwat artinya segala hal yang mengalir dari Barat selaiknya dipilah dan dipilih yang sesuai nilai kehidupan masyarakat. Dan para penulis tafsir Al-Qur’an Jawa telah membuktikannya secara elegan dalam beragam tafsir Al-Qur’an yang mereka tulis,” terang Islah.
Islah Gusmian menempuh pendidikan di MI Tarbiyatul Athfal Bulumanis Lor, MTs Salafiyah Kajen Pati, dan MA Salafiyah Kajen Pati. Adapun pendidikan S1 hingga S3 ia selesaikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semasa mahasiswa, Islah dikenal sebagai editor buku dan kolumnis di sejumlah media massa lokal dan nasional. Ia juga menulis sejumlah buku, di antaranya: Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi (2013), Dinamika Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa (2014), Living Quran (2014), Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi dan Pertarungan Wacana (2019), Khazanah Tafsir Al-Qur’an Indonesia (2021).