Banyak orang salah sangka, seperti biasa, mengenai kerewelan saya hari-hari ini. Karena saya sudah kadung dianggap NU, maka kerewelan saya dianggap terkait dengan posisi NU yang amsyong dalam komposisi kabinet Jokowi kali ini. Itu sungguh keliru. Kerewelan saya lahir dari ketidakjelasan arah kebijakan politik Islam Jokowi selama ini.
Saya mengerti Jokowi tidak suka Islam politik, tetapi dia paham bahwa Islam politik adalah kekuatan yang sangat besar. Oleh karena itu, dia dihadapkan pada dua pilihan ekstrem: menghajarnya atau merangkulnya sama sekali. Dia memilih yang kedua.
Langkah pertama, tentu saja, adalah meminta agar Kiai Ma’ruf Amin mau menjadi wakilnya. Bagaimanapun, selain merupakan Rais Aam PBNU, Ma’ruf Amin adalah Ketua Umum MUI. Suaranya diyakini akan didengarkan, termasuk oleh kalangan Muslim konservatif-radikal, baik di dalam NU dan terutama lagi di luar NU.
Tetapi kita tahu bahwa pengaruh Ma’ruf Amin di luar NU ternyata kurang kuat. Fakta ini dibingkai menjadi seolah-olah NU tidak berperan. Ma’ruf Amin sendiri memang harus diakui terlihat kurang tegas di depan Jokowi. Akhirnya, terkait kabinet, dia hanya berhasil meloloskan koleganya di MUI sebagai wakil menteri.
Langkah kedua, yang jauh lebih akrobatik, adalah meminta Prabowo menjadi bagian dari kabinet pemerintahannya. Jokowi tahu bahwa Islam politik dalam dua kali pemilu terakhir berada di belakang Prabowo. Namun lebih dari itu, Jokowi diyakinkan–mungkin oleh sejumlah penasehatnya–bahwa Islam politik pada dasarnya adalah persoalan kekuasaan. Jadi, kalau mau menjinakan mereka, rangkul saja Prabowo sekalian.
Mungkin langkah terakhir ini akan efektif. Para pendukung Prabowo garis keras sekarang tiarap, setidaknya di media sosial. Tetapi apakah hal ini akan bertahan lama?
Masalahnya, Jokowi mengabaikan sejarah bahwa Islam politik bukan sekadar persoalan kekuasan. Ia adalah sebuah ideologi. Oleh karena ideologi, ia tidak bisa dihadapi dengan pendekatan keamanan. Ideologi hanya bisa ditantang juga oleh ideologi.
Oleh karena itu, jauh sebelum pengumuman kabinet kemarin, saya telah bertanya: seberapa serius Jokowi mau menjadikan Badan Pembinaan Idologi Pancasila (BPIP) sebagai unit pemerintahan untuk menantang dan menghadang ideologi Islam politik? Terlebih setelah ditinggalkan oleh Yudi Latif, mohon maaf, saya kurang melihat greget lembaga tersebut. Beberapa waktu lalu saya menyampaikan saran kepada Gus Rozin, staf khusus presiden saat itu, agar BPIP harus menaruh perhatian serius terhadap masalah relasi Pancasila dan Islam politik.
Akan tetapi, pemahaman Jokowi mengenai Islam politik tampaknya berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Misalnya kenyataan bahwa Islam politik justru menguat dan semakin mengakar di lingkungan sekolah dan kampus umum, apakah hal ini menjadi bahan pertimbangan ketika dia memilih Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan? Saya tidak ragu dengan kemampuan inovatif Nadiem yang luar biasa, tetapi apakah kita pernah mendengar pandangan dia mengenai konservatisme-radikalisme di sekolah dan kampus umum yang sekarang berada di bawah wewenangnya?
Lalu, bagiamana dengan orang-orang NU yang sekarang ditunjuk menjadi menteri? Well, mereka mungkin adalah NU, bahkan termasuk Mahfud MD, tetapi masih banyak orang tidak mau tahu bahwa NU adalah organisasi. Cukup pasti seluruh orang NU yang ada di kabinet Jokowi periode kedua ini bukan merupakan wakil organisasi NU. Di sini, tentu saja, kita perlu meninjau ulang hubungan NU dan PKB. Siapa yang lebih diuntungkan dan apa maslahatnya bagi NU sebagai organisasi–bukan hanya elitnya–secara keseluruhan.
Masih banyak yang ingin saya sampaikan, tetapi poinnya adalah Jokowi harus paham bahwa musuh ideologis Islam politik adalah NU, NU sebagai organisasi, bukan NU sebagai klaim kultural orang per orang. Sekarang Prabowo yang merupakan patron Islam politik dirangkul ke dalam kabinet, sebuah langkah yang sangat strategis dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Mungkin tidak akan ada lagi kontroversi yang melelahkan seperti rangkaian aksi 212, tetapi konsekuensinya adalah Islam politik akan semakin mewarnai wajah negara dan pemerintahan. Langkah seperti ini dilakukan oleh Soeharto pada awal tahun 1990-an, tetapi apakah Jokowi sungguh mau mengulanginya? Saya masih berharap kepada Jokowi untuk mengatakan tidak!