Danrem 062 Tarumanegara Kolonel Inf Parwito merasa optimistis, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan akan tersosialisasi serta terlaksana dengan baik di wilayah naungannya. Meski cakupan wilayahnya cukup luas di Periangan Timur, mulai Kabupaten Bandung hingga pantai Selatan Kabupaten Ciamis Jawa Barat, termasuk Garut, ia dan jajarannya siap menangkal berbagai ancaman kebudayaan, seperti narkoba, sikap individualistis, intoleransi, hingga radikalisasi.
Narasi atau slogan Kabupaten Garut, yakni Maju Berbudaya memperkuat upaya pemajuan kebudayaan. Bahkan slogan itu terdengar klop, ditambah lagi dengan ciri khas masyarakat Garut yang sering dikabarkan, yakni gotong-royong dan kesantunan. Oleh karena itu, Kerjasama TNI, Polri, dan masyarakat sipil dalam memajukan kebudayaan Indonesia sangat dibutuhkan, agar optimal berpenetrasi hingga ke akar rumput.
“Ciri khas kita adalah gotong-royong, tapi hedonisme dan konsumerisme yang menjadikan kita individualistis itu sudah mengancam. Toleransi sudah terancam. Prediksi ancaman kebudayaan itu sudah tampak, seperti narkoba, radikalisme, kehidupan individualistis,” papar Parwito di sela-sela acara Seminar Pemajuan Kebudayaan di Tengah Peradaban Dunia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di Garut, Jumat (13/9/2019).
TNI mempunyai kesatuan mulai tingkat markas besar hingga babinsa, dan sistem itu bisa dimanfaatkan untuk bekerjasama dalam penguatan pertahanan kebudayaan. Adalah tepat jika Komisi X DPR RI yang menggawangi UU Nomor 5/2017 mengajak semua komponen dalam masyarakat termasuk TNI/Polri untuk bersama-sama memajukan kebudayaan.
Untuk memahami konsep kebudayaan hingga kepada pelaksanaan strategi kebudayaan di dalam bentuk program, sosialisasi secara terukur harus dilakukan. Sosialisasi semacam seminar hanyalah langkah pembuka untuk tindak-lanjut yang lebih terukur dengan membuka keran kerjasama lintas sektoral.
Sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan
Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah menggarisbawahi konsep kebudayaan yang sangat luas itu agar mampu dijabarkan ke dalam aksi nyata. Ia mengacu pada Pasal 5 UU 5/2017 yang tertulis sebagai berikut:
Objek pemajuan kebudayaan meliputi: a. tradisi lisan; b. manuskrip; c. adat istiadat; d. ritus; e. pengetahuan tradisional; f. teknologi tradisional; g. seni; h. bahasa; i. permainan rakyat; dan J. olahraga· tradisional.
Sepuluh objek tersebut tampak sangat sedikit, mengingat unsur kebudayaan yang sangat luas. Akan tetapi, sepuluh objek tersebut sejatinya poin-poin penting yang masih bisa dijabarkan lagi. Di dalamnya tidak akan terlepas dari sejarah, antropologi, sosiologi, hingga agama. Pemajuan objek-objek kebudayaan tersebut harus dijabarkan ke dalam program-program dan visi ke depan, menurut Ferdiansyah, adalah mewujudkannya menjadi budaya dunia.
Pemajuan kebudayaan juga harus memiliki landasan etika dalam pelaksanaanya. Dalam Pasal 3 tertulis, pemajuan kebudayaan berasaskan: a. toleransi; b. keberagaman; c. kelokalan; d. lintas wilayah; e. partisipatif;f. manfaat; g. keberlanjutan; h. kebebasan berekspresi; i. keterpaduan; J. kesederajatan; dan k. gotong royong.
Pariwisata Sepaket dengan Seni dan Kuliner
Pemajuan kebudayaan ini menjadi tampak sangat strategis diterapkan di Jawa Barat khususnya Garut. Jumlah penduduk Jabar yang sangat besar, yakni 19,2 persen penduduk Indonesia adalah potensi subjek pemajuan kebudayaan. Bungkusnya bisa melalui pariwisata dengan penonjolan pada seni dan kuliner lokal. Seperti kita ketahui, 60 persen wisatawan datang ke Indonesia karena tertarik dengan budaya, 35 persen karena alam, dan 5 persen karena program buatan (festival, konferensi, pertandingan).
Setiap kota/kabupaten harus mampu menyusun pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah, lalu dilanjutkan ke tingkat provinsi dan nasional sehingga menjadi strategi kebudayaan nasional. Setiap tahun pokok-pokok pikiran yang terwujud ke dalam program tersebut dievaluasi. “Dari 514 kabupaten/kota, saat ini sudah terjaring 60 persen,” kata Ferdiansyah.
Bupati Garut Rudy Gunawan tidak ingin kehilangan momentum untuk menyosialisasikan pemajuan kebudayaan ini, apalagi telah sesuai dengan slogan Pesona Garut, Maju Berbudaya. Kuliner lokal menjadi andalan yang ingin digaungkan. Di luar dodol dan jeruk, Garut memiliki makanan khas seperti burayot, yakni kue dengan bentuk menggelantung yang terbuat dari bahan gula merah, tepung beras, kacang tanah, dan minyak kelapa. Selain burayot ada juga nasi liwet domba yang sangat enak.
Garut saat ini memiliki 100 curug, tiga danau, dan pusat-pusat pariwisata buatan. Dana bantuan satu miliar rupiah akan turun pada Januari 2020 untuk pengembangan pariwisata dalam konteks pemajuan kebudayaan. Wilayah Selatan Garut juga banyak ditemukan potensi baru. “Saya baru kasih 300 juta rupiah ke desa yang ada di Leuwi Tonjong, itu surga tersembunyi,” kata Rudy.
Bagaimana menerjemahkan kebudayaan yang sangat luas itu menjadi satu produk budaya, mengacu pada UU Nomor 5/2017? “Kebudayaan itu datang dari bawah, lalu tumbuh. Kebudayaan itu sudah ada di sini. Budaya Garut itu budaya gotong royong dan rendah hati, bisa dimanifestikan dalam seni, misalnya pencak silat, seni mengambil ikan, dan lain-lain. Gotong royong itu hablun minan nas (ikatan antarmanusia), misal soal suguhan, kami memiliki tradisi untuk memberi suguhan ke orang-orang yang datang meski belum saling mengenal,” papar Rudy.
UU tersebut diyakini bisa memberikan perlindungan, contohnya memberi subsidi pada kampung-kampung adat seperti di Kampung Dukuh. Sejumlah kampung buhun (lawas, kuno) tetap dipertahankan, misalnya ada kampung yang penduduknya tidak mau memakai listrik. Maka itu, kampung harus disubsidi, yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan yang sesuai dengan keinginan warganya. (SI)