Pada Rabu siang 22 Januari 2020 saya mengabarkan kepada panjenengan, Yai Sholah, soal kiriman tiga ratusan buku untuk temannya yang ada di Surabaya. Tak berapa lama kemudian beliau pun membalas pesan, “Terimakasih.” Jawab beliau.
“Masih ada sisa berapa buku?”
Kami yang saat itu baru saja mengerjakan tugas-tugas beliau, siang hari itu sejenak berhenti, sambil menikmati udara dibawah pohon mangga. Lima menit kemudian kami bergegas menghitung ulang jumlah buku dalam kardus yang dimaksud.
Meskipun sebenarnya data buku sudah dalam genggaman kami namun kami mencoba memastikan lagi untuk menghitung ulang. Khawatir, ada yang belum kehitung. Sesaat kemudian saya kembali mengirim pesan kepada beliau, “Seratus lima puluh buku, yai.” Jawabku.
Ya, sebenarnya kita tahu diri, sebelum berangkat ke Jakarta mau cek kesehatan beliau pamit kepada kita tim Pustaka Tebuireng. Sekitar satu jam lebih diskusi panjang dengan panjenengan. Lo njenengan tidak sms dahuluan kita juga sungkan banget mau sms. Butuh bernafas sesaat dan membaca basmalah untuk berkirim sms kepada beliau. Meskipun pintu telah beliau buka kapanpun bila perlu monggo. Sebagai santri kita tahu akan batasan-batasan itu.
Dalam kondisi apapun, berkaitan buku yai memang selalu ingat. Kondisi sakit, tiba-tiba muncul tulisannya dimana, hehehe. Kita kalah produktif nih yang masih muda belia. Terasa kayak dijewer. Bahkan, baru rasan-rasan saja seringnya beliau langsung sms. Pikirku, mau main-main atau aneh gimana kepada beliau, kita-kita. Dikontrol mingguan, bulanan, bahkan lebih ekstrim via mimpi dan sms dadakan sewaktu dirasani. Apalagi ngawur tambah g mungkin berani.
Pustaka Tebuireng merupakan sebuah penerbit buku yang beliau dirikan. Lewat Pustaka Tebuireng kami diajarkan banyak hal. Misalnya, diajarkan supaya ikut berjuang memberikan apresiasi kepada sejumlah tokoh yang berjasa kepada tokoh-tokoh Pesantren utamanya Pesantren Tebuireng dan NU dalam bentuk buku. Lebih dari itu kami diajarakan soal tanggungjawab, istikomah, jujur, komunikatif, terbuka, mandiri, dan lain sebagainnya.
Tahun 2020 ini ada sejumlah buku yang rencana akan diterbitkan Pustaka Tebuireng. Tentu saja sudah melalui diskusi panjang dan menyangkut potensi pasarnya, dll. Dari mulai buku bertemakan Aswaja, Tokoh NU terlupakan, dan Masyayikh Tebuireng. Serta lainnya. Masih dua judul buku dari rencana kita susun dan telah diterbitkan ulang yang selesai di bulan Januari 2020.
Masih sekian agenda terencana yang akan kita wujudkan. Buku kerja berhalaman cukup tebal ini belum selesai kita baca dan pelajari tuntas. Baru bab pertama di bulan Januari lembaran kerja dibuka, tiga buku permintaan njenengan sudah siap cetak. Dan sekian buku dalam antrian. Kita hanya bisa berencana, Allah lah yang memutuskan.
Sudah sekian puluh judul buku sejak tahun 2016-2020 sampai sekarang khususnya yang berhasil kami terbitkan, tanpa merepotkan panjenengan baik soal pendananan dan lainnya. Kami tulus menjalankan dhawuh panjenengan. Sebagai santri kami hanya percaya selama ada restu dan bimbingan panjenengan, Yai kami tidak terlalu khawatir akan tidak ada logistik, bahkan kita sendiri juga sudah tidak takut akan kelaparan, kekurangan, keterbatasan, keterpinggiran, dll. Dan terbukti berkat barokah doa panjenengan selalu diberikan jalan dan kelancaran.
Kami tidak mencari materi didalam berjuang menghidupkan ide dan perjuangan panjenengan. Puasa adalah hal biasa bagi kita. Berbuka dengan ala kadarnya ta masalah. Kita berusaha membersihkan hati dan pikiran dari hal materi yang berlebih apalagi tidak halal. Yang terpenting penerbit panjenengan dapat hidup, dapat diterima masyarakat, dan dikenal luas lebih dahulu. Hasil tidak mengkhianati proses. Itulah bakti kami sebagai santri kepada panjenengan. Kami hanya mencari barokah doa panjenengan dan para masyayikh Tebuireng.
Mimpimu sangat tinggi bagi kemajuan intelektual muda, pesantren, NU, dan Indonesia. Demi mewujudkan mimpi panjenengan memiliki penerbit yang mandiri. Yang mampu memberikan ruang kreatif bagi guru dan santri yang mau menulis buku. Memberi manfaat seluas-luasnya. Terbuka untuk siapa saja.
Terbukti, lima tahun kebelakang kami dapat bertahan hidup dengan segala dinamika dan tantangannya. Dan itu menjadi modal yang sangat berharga bagi kami untuk terus belajar berkhidmat kepada kiai dan pesantren.
Darimu kami belajar kesederhanaan, tidak takut salah, selalu berpikir positif, optimis, welas asih, menghargai perbedaan pendapat, berkhidmat, kejujuran, keterbukaan, kepedulian dan lainnya.
Meskipun, kini engkau telah beristirahat dari dunia perbukuan, kami yang masih diberikan kesempatan hidup tidak akan berhenti untuk terus belajar, membaca, menulis, berdiskusi, dan menyalakan api literasi dalam diri minimal.
Semoga kami bisa mengamalkan apa yang telah engkau ajarkan, dan dhawuh-dhawuh positif yang selalu diucapkan saat kami didekatmu. Biarkan, buku itu tetap berada di mejamu, yai. Biar kami yang menutup dan membawanya ke ruang kerja panjenengan. Kami juga senang sebatas mengantar dan membukakan plastik sampul buku untuk njenengan.
Saat tangan panjenengan membuka lembaran demi lembaran buku secara acak, kami merasakan betul aroma buku itu. Auramu yang begitu kuat. Terpenting njenengan bisa senyum melihat hasil produknya dan diterima di masyarakat. Kami sangat yakin sebagai santrimu ada dalam setiap lantunan doa terbaikmu.
Yai, kini engkau telah memenuhi panggilan kekasihmu. Hanya buku amalmu yang engkau bawa. Selamat beristirahat, yai. Al Fatihah. (RM)