Sedang Membaca
Menengok Sisi Lain Snouck Hungronje: Buku Karya Ajengan Ginanjar Sya’ban
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Menengok Sisi Lain Snouck Hungronje: Buku Karya Ajengan Ginanjar Sya’ban

Menengok Sisi Lain Snouck Hungronje: Buku Karya Ajengan Ginanjar Sya’ban

Dalam pelajaran sejarah yang diajarkan ketika kita dulu menimba ilmu di sekolah, adalah sosok orientalis asal Belanda, pengajar teologi di Leiden University. Ya,  nama lengkapnya adalah Christian Snouck Hungronje. Ia selalu diframing sebagai salah satu tokoh antagonis di balik kekalahan rakyat Aceh dalam perang Sabil – nya melawan pasukan kolonial Belanda.

Kesan miring dan buruk Snouck pertama kali digaungkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, seorang pelopor gerakan puritanisme Islam abad 20. Dalam beberapa tulisannya yang dimuat di majalah Al-Manar, Ridha menyebut Snouck sebagai “orang munafik, musuh agama Islam, dan penjajah”.  Namun baru-baru ini telah terbit sebuah buku karya Ajengan Ahmad Ginanjar Sya’ban yang memuat surat korespondensi Snouck dengan beberapa tokoh seperti Teungku Putro (Istri Sultan Daud Syah / Sultan Terakhir Aceh), KH. Sholeh Darat (Maha Guru Ulama Nusantara), Sayyid Utsman bin Yahya (Mufti Betawi), Sayyid Abdullah bin Alwi al – Attas (Filantropis Arab – Hadrami asal Betawi), Syaikh Ahmad Surkatti (Pendiri Al – Irsyad), Panglima Polem (Aceh), dan H. Agus Salim (Pahlawan Nasional). Serta memunculkan “wajah baru” Snouck dalam perspektif yang lain.

Buku dengan ketebalan 328 halaman tersebut setidaknya memuat 30 surat korespondensi yang ditujukan kepada Snouck dengan penggunaan beberapa bahasa seperti Arab – Jawa , Arab – Sunda, Sunda – Aksara Latin, bahasa Belanda, Melayu – Arab (Jawi), dan bahasa Arab. Dari keseluruhan isi surat tersebut banyak yang menyematkan gelar agung pada Snouck seperti, gelar Khawwajah (Tuan), Azizina wa Mahabbatina (Tuan kami dan cinta kami), Tuan Gamparan (Tuan yang mulia), Habibuna wa Syaikhuna (Kekasih kita dan guru kita), dan masih banyak lagi pujian kepada Snouck dalam surat yang dilayangkan oleh para habaib, mufti, para tokoh, dan para bangsawan kepadanya.

Baca juga:  Dr. Ibrahim Salah al-Hudhud, Eks-Rektor al-Azhar dan Kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud

Dari surat-surat tersebut dapat kita tarik kesimpulan, bahwa Snouck di mata ulama’ dan tokoh-tokoh ternama tersebut bagaikan saudara seiman. Bahkan KH. Sholeh Darat tak segan menyebut Snouck sebagai akhi fid dunya wal akhirat (saudaraku di dunia dan akhirat). Namun terlepas dari spekulasi apakah Snouck memang masuk Islam dengan tulus atau tidak? hal tersebut masih menjadi perbincangan hangat hingga kini dikalangan para akademisi. Adapun yang dapat kita pastikan adalah keberpihakan Snouck terhadap umat Islam, perihal demikian dapat dibuktikan ketika Snouck menjabat sebagai penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda diundang oleh gubernur Aceh van Heutsz, yang dahulu pernah menjadi mahasiswanya di Den Haag pada tanggal 1 Februari 1903 guna membahas beberapa hal pasca penaklukan Sultan Muhammad Daud Syah.[1] Ketika baru sampai Kutaraja, Snouck langsung mengkritik dan berkomentar tajam perihal tindakan licik dan tidak manusiawi gubernur Aceh tersebut yang melengserkan Sultan terakhir Aceh itu dengan menyandera dua istri dan anaknya.[2]

Pada biografi Snouck yang ditulis oleh Van Den Doel dituliskan bahwa ia tak segan mengkritik karya Van Den Berg terhadap terjemahan karya Syaikh Nawawi al – Bantani yang dialihkan ke dalam bahasa Prancis. Dalam hal ini Berg menambahkan beberapa komentar yang menjadikan makna dalam kitab al – Bantani tersebut amburadul sehingga Snouck menuangkan kritikan tajam karya Berg tersebut dengan judul De Indische Gids. Pada akhir Maret 1883, Jan de Loutter, professor dari Utrecht berkomentar sinis tentang perkembangan Islam yang ada di Hindia Belanda. Menurutnya Islam tidak mengakar kuat di Hindia Belanda dan agama Hindu dan Buddha lebih penting dari Islam. Snouck pun bereaksi sangat sengit dalam artikelnya yang berjudul “Prof. De Loutter. Over.’godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken’“.

Baca juga:  Mencari Tuhan: Menyusuri Jalan Cinta

Dalam artikel tersebut Snouck memaparkan, Dimanapun Agama Islam muncul, selalu tetap ada sisa – sisa agama sebelumnya, baik di dunia Arab, maupun di Asia Tenggara.[3] Martin Van Bruinessen dalam kata pengantar karya Ginanjar Sya’ban ini juga memaparkan bahwa selama Snouck bertugas di Indonesia (Hindia Belanda), ia lebih banyak bergaul secara intensif kepada kaum pribumi terutama para habaib dan ulama’ yang menerimanya sebagai Muslim. Hal lain yang menunjukkan keberpihakan Snouck kepada Ummat Islam dapat kita lihat dalam surat menyuratnya dengan H. Agus Salim. Baik Snouck dan H. Agus Salim tercatat pernah berdiskusi perihal penentangannya atas gerakan zionisme Yahudi di tanah Palestina.

Snouck sendiri menulis beragam judul artikel mengenai Palestina seperti, “De Onlusten in Palestina” (Kerusuhan di Palestina) yang dimuat di koran De Telegraaf pada edisi 27 April 1930. Kemudian di edisi berikutnya pada tanggal 29 April 1930, Snouck menulis sebuah artikel kembali dengan judul “Na de Onlusten in Palestina” (Setelah Kerusuhan di Palestina). Dan pada edisi 2 Juli 1930 Snouck menulis kembali sebuah artikel dengan judul “Een Nederlandsch zionist over ‘t Palestina – mandaat” (Seorang zionis Belanda tentang mandat Palestina).

Baca juga:  Masymumat al-Warrad Fi Tartib al-Awrad: Jejak Peninggalan Khazanah Spiritual Islam di Tanah Buton

Tulisan tersebut merupakan sanggahannya kepada J. H. Kann, seorang konsul Belanda di Jerussalem dan juga bankir Yahudi yang sebelumnya menulis artikel berjudul “Opmerkingen betreffende het beleid van de Mandaats – Regeering van Palestina, met betrekking tot de Arabische overvallen op de Joodsche bevolking in August 1929 en betreffende de Joodsche en Arabische volksgroepen” (Komentar tentang kebijakan Pemerintah Mandat Palestina, sehubungan dengan serangan Aeab terhadap penduduk Yahudi pada Agustus 1929 dan sehubungan dengan orang – orang Yahudi di Arab). Dalam artikel – artikelnya tersebut, Snouck berpendapat bahwa kebijakan Inggris di Timur Tengah telah mengakibatkan serangkaian ‘kebodohan yang luar biasa’.

Menurut Snouck, keputusan Inggris yang menjadikan tanah Palestina sebagai proyek Zionis adalah ‘ide yang sangat buruk’. Dari buku ini kita dapat memetik hikmah bahwa Snouck tidak seburuk apa yang diasumsikan oleh masyarakat dan masih ada tokoh orientalis lain seburuk Berg dan De Loutter yang selalu berasumsi sinis terhadap masyarakat Islam pribumi di Hindia Belanda. Wallahu ‘Alam..

[1] Wim Van Den Doel, “Snouck : Biografi Ilmuan Christian Snouck Hungronje”, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia ; KITLV – Jakarta, 2023), halaman 33.

[2] Ahmad Ginanjar Sya’ban, “Christian Snouck Hungronje dan Wajah Islamnya”, (Depok : Penerbit Sahifa, 2024), halaman 129.

[3] Wim Van Den Doel, “Snouck : Biografi Ilmuan Christian Snouck Hungronje”, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia ; KITLV – Jakarta, 2023), halaman 35 – 36.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top