Sedang Membaca
Rasa Kesatuan dalam Identitas Hibrid
Afthonul Afif
Penulis Kolom

Penulis dan pemerhati isu-isu psikologi. Menyelesaikan S2 dalam bidang Psikologi Klinis di UGM Yogyakarta.

Rasa Kesatuan dalam Identitas Hibrid

Globalisasi kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di lain sisi, kecenderungan yang pertama ini telah melahirkan resistensi dari pihak-pihak yang merasa identitasnya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.

Secara teoretik, modernisasi memang keniscayaan sejarah yang sulit disangkal, namun secara empirik selalu saja ada deviasi-deviasi yang memaksa kita untuk menerima bahwa modernisasi tidak selamanya berwajah tunggal. Ahmed Gurnah, misalnya, melihat globalisasi budaya tidak sesederhana sebagai sebuah homogenisasi budaya sebagaimana diyakini para teoritikus perkembangan yang positivistik, tetapi di dalamnya terdapat proses seleksi, pertukaran, dan pengaruh yang rumit antarbudaya. Pengalaman sebuah kebudayaan berinteraksi dengan kebudayaan lain sudah pasti bersifat parsial. Jarang salah satu di antaranya mendominasi sepenuhnya dan dapat mengambil alih dan menggantikan kebudayaan yang dianggap subordinat itu (Alan Scott (ed.), The Limits of Globalization, 1997: 120).

Dalam bentuknya yang tidak pernah pejal, kebudayaan kita akhir-akhir ini menjadi semacam medan kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Indonesia—dalam konteks ini adalah contoh terbaik—lebih-lebih pasca-runtuhnya kekuasaan sentralistik pemerintah Orde Baru. Tidak adanya lagi pusat kekuasaan yang sanggup mengikat kemajemukan dalam satu wadah memberikan peluang kepada setiap identitas kebudayaan untuk unjuk diri—memastikan bahwa dirinya sanggup menentukan nasibnya tanpa campur tangan kekuatan eksternal. 

Kondisi ini mengingatkan kita pada teori Benedict Anderson tentang Indonesia sebagai “komunitas terangan” di awal tahun 1990-an. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dengan banyak bangsa. Artinya, imajinasi tentang kewarganegaraan, tentang nasionalisme, tidak terbangun di atas fondasi kultural yang kokoh, tetapi semata-mata berdasarkan klaim politis yang serba retak. Dengan kata lain, Indonesia adalah konsep yang mungkin terlampau ambisius–sebuah konsep yang diangankan mampu merangkum kemajemukan ekspresi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke dalam satu momen aktivitas berpikir.  

Baca juga:  Nahdlatul Ulama: Tiga Kiai Jombang Pendiri NU

Akhir-akhir ini, istilah rekaan Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman itu, mulai digugat secara terang-terangan. Cara sebagian rakyat Papua memperjuangkan aspirasi politik mereka adalah contohnya. Secara terang-terangan, mereka menyatakan dirinya bukan sebagai orang Indonesia. Sikap politik ini didasarkan atas identifikasi bahwa secara biologis mereka adalah bangsa Papua, tergabung dalam rumpun Melanesia, ras Negroid, bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang berasal dari rumpun Melayu.

Munculnya sikap politik seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan penguasa Orde Baru yang haus akan keseragaman. Cara membangun identitas kolektif-kebangsaan tidak didasarkan atas komunikasi mutual yang mengafirmasi kemajemukan, tetapi melalui proses eksklusi yang represif. Kemajemukan ekspresi kebudayaan, yang dihayati oleh lebih dari 500 suku bangsa dan diekspresikan melalui lebih dari 512 bahasa, tidak ditempatkan sebagai modal sosial, melainkan dicurigai sebagai bibit-bibit perpecahan.

 

***

Hidup dalam iklim multikultural seperti sekarang ini, tertib sosial akan dapat terwujud jika masing-masing elemen masyarakat mampu bersikap toleran serta bersedia membuka diri bagi terciptanya kerjasama-kerjasama yang bersifat mutual. Dekategorisasi identitas (ekskklusi identitas budaya asal) secara berlebihan yang dilakukan pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun sepertinya sudah cukup membuat kita sadar bahwa persatuan yang dibangun dengan jalan paksaan hanya akan berujung pada konflik sosial. 

Tanpa bermaksud menyederhanakan rumitnya persoalan hubungan antaretnik di Indonesia, lantaran makna etnisitas sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekedar penjelasan tentang asal-usul ras manusia, tetapi juga terkait dengan sumber-sumber identitas lainnya seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik, tulisan ini berusaha menawarkan model hubungan yang lebih setara dan mutual. Satu isu penting yang segera mengemuka ketika membicarakan persoalan ini adalah bagaimana seharusnya antara satu kelompok dengan kelompok lainnya saling memandang?

Baca juga:  Jaran Goyang dalam Tiga Variasi

Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilahnya Lyotard, Indonesia saat ini relatif terbebas dari bercokolnya “narasi besar” yang berwatak totaliter. Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya “narasi-narasi kecil” yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer.  

Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika masing-masing pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang. Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus, sehingga memungkinkan terciptanya identitas hibrid. Identitas hibrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori tertentu yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerjasama yang mutual dalam ruang publik. 

Satu hal menarik dari persilangan kategori ini adalah akan melahirkan banyak titik singgung dari kategori-kategori sosial yang melekat pada individu atau kelompok. Persilangan ini tentu bukan sekedar persilangan atribut, tetapi juga melibatkan proses kognitif untuk saling mengenal dan memahami, sehingga potensi konflik dan kerentanan relasi sosial antarindividu dan antarkelompok menjadi lebih kecil. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula. 

Jika diilustrasikan kira-kira seperti ini. Si Fulan adalah orang Jawa, beragama Islam, lulusan universitas A, bekerja di perusahaan B, dan beristrikan orang Batak. Dalam pergaulan sosial, setidaknya si Fulan menyandang lima kategori identitas yang dapat dipertukarkan. Sebagai orang Jawa, misalnya, dia potensial menjadi sasaran kebencian orang Batak. Namun karena si Fulan memiliki istri orang Batak, memiliki banyak teman orang Batak yang kebetulan lulusan universitas A dan bekerja di perusahaan B, maka si Fulan relatif bisa diterima oleh orang-orang Batak. Kategori Jawa, lulusan universitas A, beristri orang Batak, dan karyawan di perusahaan B, merupakan kategori-kategori sosial yang dapat dipertukarkan bagi terciptanya identitas hibrid.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (5): Pandangan KH. M. Hasyim Asy'ari dan NU

Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru?

Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok, sehingga dapat mereduksi loyalitas pada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda.

Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang. Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif, sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown, R. & Gaertner, S. (eds.), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70)

Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing, dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, maka keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah pada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung diantara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu sama lain. 

Titik singgung tersebut adalah modal utama bagi terciptanya dialog dan kerjasama multikultural yang berkeadilan. 

Cara merumuskan persatuan memang sepatutnya diawali dari mencari persamaan atas kategori-kategori tersebut, bukan malah membuat formulasi baru yang justru meluruhkannya, sebagaimana pernah dilakukan pemerintahan terdahulu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top