Sedang Membaca
Ramadan 1366 H, Hari-Hari Terakhir Hadratussyekh M Hasyim Asy’ari
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Ramadan 1366 H, Hari-Hari Terakhir Hadratussyekh M Hasyim Asy’ari

Hilal telah tampak di ufuk barat. Pertanda Syaban telah usai. Ramadan 1366 H, bulan yang senantiasa dinantikan umat Islam, telah datang. Bertepatan dengan tanggal 19 Juli 1947. Sebagaimana biasa, Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari menyambutnya dengan “ngaji pasanan”.

Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Kiai Hasyim memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan pesantren lain semasanya. Jika, pesantren lainnya libur saat Ramadan, justru di sini menjadi semakin ramai.

“Tebuireng acap kali bertambah ramai karena dikunjungi oleh mereka dari mana-mana untuk bersama-sama dengan guru yang dicintainya beribadah dalam bentuk puasa dan sembahyang, dan beribadah dalam bentuk mengkaji ulang, itikaf dan menambah pengetahuan,” demikian tulis Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasyim.

Salah satu yang menjadi daya tarik para santri yang notabane-nya mereka adalah kiai di daerah asalnya, mondok lagi selama Ramadan di Tebuireng adalah khataman Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dua kitab hadits paling otoritatif tersebut, dikhatamkan dalam sebulan. Dengan demikian, para santri tersebut telah memiliki ketersambungan intelektual (sanad) dengan Kiai Hasyim dan guru-guru hadits di atasnya.

Sanad dalam tradisi intelektual pesantren menjadi syarat penting untuk legitimasi keilmuan seseorang. Tanpa sanad yang tersambung, kepintaran seseorang bakal diragukan. Sanad yang tersambung hingga ke pengarang kitab adalah otoritas akan pemahaman isi kitab sebagaimana yang dikehendaki oleh si mualif (penulis).

Sebagaimana diketahui, Kiai Hasyim merupakan salah satu pemegang sanad dua kitab hadits tersebut. Pada Shahih Bukhari, Kiai Hasyim belajar kepada ulama Nusantara yang menjadi intelektual terkemuka di Hijaz, Syekh Mahfudz At-Tarmasy. Syekh Mahfudz sendiri memiliki dua jalur periwayatan. Yakni, dari Syekh Muhammad Abu Bakar Syatha’ al-Makki dan Sayyid Husain al-Habsy. Dari jalur pertama, Kiai Hasyim berada di posisi ke-23 dalam mata rantai sanad. Sedangkan pada jalur kedua, ia berada di posisi ke-16.

Begitu juga dengan sanad Shahih Muslim. Kiai Hasyim juga meriwayatkannya dari Syekh Mahfudz at-Tarmasy. Kemudian tersambung dengan Syekh Muhammad Abu Bakar Syatha. Dari sini kemudian tersambung hingga ke Imam al-Hafidz Abil Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Nausaburi, sang mualif Shahih Muslim. Pada mata rantai sanad ini, Kiai Hasyim berada di posisi ke-21.

Baca juga:  Kota Islam (15): Zanzibar, Sebuah Pulau yang Diberkati

Namun, ada yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ramadan kala itu, ada kegalauan tersendiri di benak Kiai Hasyim. Situasi politik dan keamanan bangasa sedang genting. Dirinya sebagai pemimpin tertinggi dua institusi penting di Republik Indonesia, menjadi sentral pengambil keputusan. Selain sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama, beliau juga jadi Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi.

Melalui putranya, KH. Abdul Wahid Hasyim, tugas-tugas keumatan yang berkaitan dengan kerja keorganisasian tersebut, ia pasrahkan. Namun, setiap pengambilan keputusan, sang putra tetap mengikuti apa yang menjadi kebijakan ayahandanya.

Salah satu isu politik Nasional yang berkembang saat itu, adalah perihal hasil perundingan Linggarjati pada 10-15 November 1946. Hasil perundingan yang merugikan bangsa Indonesia itu, menimbulkan pro kontra. Masyumi menjadi pihak yang menentang keputusan tersebut. Ujung-ujungnya kabinet yang dipimpin oleh Sutan Syahrir bubar pada 3 Juli 1947 karena dianggap gagal dalam perundingan tersebut. Kabinet kemudian dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Pada kabinet baru ini, Masyumi memutuskan untuk menjadi oposisi.

Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang terbelah itu, dimanfaatkan Belanda untuk mengancam Republik Indonesia. Empat hari sebelum Ramadan tiba, 15 Juli 1947, Jenderal H. van Mook mengultimatum RI agar menarik mundur pasukannya dari garis damarkasi van Mook. Tepat hari kedua Ramadan, ancaman tersebut semakin ditekankan.

Pada malam hari, 20 Juli 1947, melalui siaran radio, van Mook mengumumkan jika Belanda keluar dari hasil perundingan Linggarjati. Saat itu pula diumumkan jika Belanda akan melaksanakan aksi polisional pertama dengan kode actie product (aksi produk). Dimana oleh bangsa Indonesia dikenang dengan sebutan Agresi Militer Pertama.

Di bawah pimpinan Jenderal Spoor, Belanda mengerahkan segala kekuatannya untuk menggempur Jawa dan Sumatera. Untuk Jawa sendiri, Belanda mengerahkan 3 divisi lengkap dengan kekuatan 75 ribu pasukan. Pada 21 Juli, seusai umat muslim makan sahur untuk persiapan puasa di pagi harinya, serangan mulai diluncurkan.


Agresi militer pertama yang dilakukan oleh Belanda tersebut, sebenarnya telah diprediksikan oleh para pejuang, termasuk para kiai yang tak pernah absen dalam setiap laga. Upaya Belanda untuk menempuh jalur diplomasi dipahami hanyalah kedok untuk mereka mempersiapkan diri guna menyerang kembali Indonesia.

Baca juga:  20 Tahun Pembantaian Guru Ngaji di Banyuwangi (1/2)

Hal ini, diekspresikan dengan berbagai bentuk non-kooperatif dengan Belanda kala itu. Seperti halnya fatwa haram naik haji pada 1946 yang dikeluarkan oleh Kiai Hasyim. Saat itu, Belanda ingin membujuk umat Islam agar tunduk padanya. Salah satunya dengan memberikan fasilitas kapal bagi para calon jamaah haji dari Indonesia dengan fasilitas keamanan yang terjamin. Kiai Hasyim menolak hal tersebut, karena dengan insting politiknya, telah menengarai maksud buruk Belanda dari rencana tersebut.

Begitu pula para kiai yang terlibat dalam garis terdepan pertempuran, senantiasa diingatkan untuk tetap meningkatkan kewaspadaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Syaifudin Zuhri selaku pimpinan Laskar Hizbullah Magelang dalam bukunya “Guruku Orang-Orang dari Pesantren.” Menurutnya, diplomasi harus diimbangi dengan perlawanan secara militer.

“Pak Dirman (Jendral Sudirman), Panglima Besar kita tetap memberikan komando supaya semangat perlawanan dan daya tempur tambah dipertinggi,” ungkap Kiai Syaifuddin Zuhri saat berbincang bersama para komandan Hizbullah dari berbagai daerah di Yogyakarta sebelum aksi polisional meletus.


Sembari menunaikan ibadah puasa dan persenjataan ala kadarnya, ribuan pejuang bangsa Indonesia harus menghadapi agresi militer Belanda yang dilengkapi berbagai persenjataan mutakhir. Pertempuran yang tak seimbang itu, membuat pertahanan republik kedodoran. Pos-pos pertahanan Republik Indonesia, seperti Magelang, Surabaya hingga Malang, dengan mudah dilumpuhkan.

Pada hari keenam Ramadan, Jenderal Spoor dengan pongahnya mengumumkan kemenangannya atas Indonesia. “Pada 24 Juli, Spoor memberikan konferensi pers yang pertama. Dia sesumbar mengenai kemenangan. Dia nyatakan antara lain bahwa TNI begitu cepat enyah hingga pasukan Belanda tidak dapat mengikuti tempo larinya,” tulis J.A. de Moor dalam bukunya, Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia.


Seusai Spoor memberikan pengumuman tersebut, Kiai Ghufron, seorang mubalig PBNU sekaligus pemimpin Barisan Sabilillah melaporkannya pada Kiai Hasyim. Sebagai santri senior di Tebuireng, Gufron mencoba menyampaikan berita duka itu selunak mungkin kepada gurunya yang kala itu sedang mengajar ngaji pasanan di masjid pondok yang penuh dengan para santri itu.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (12): Qoirawan, Kota yang Menyihir Banyak Intelektual

“Namun, berita yang dilaporkan dengan cara yang amat halus bernada lunak itu tidak bisa mencegah keterkejutan Hadratusy Syekh yang tengah mengajar di serambi masjid di tengah-tengah pesantren yang terkenal sebagai markas pertahanan Republik Indonesia,” tulis Syaifuddin Zuhri pada buku Berangkat dari Pesantren.

Kiai Hasyim tak kuasa menahan keterkejutannya. Rais Akbar NU berusia 76 tahun itu, memegangi kepalanya seraya menyebut asma Allah, “Masya Allah… Masya Allah… Laa ilaaha illallah…!”. Setelah itu, Kiai Hasyim tak sadarkan diri.

Saat itu Kiai Ghufron mengabarkan tentang jatuhnya kota Malang. Salah satu daerah yang menjadi pusat pertahanan Republik Indonesia. Di sana, Laskar Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Masykur bermarkas. Jika sampai Malang jatuh ke tangan Belanda, berarti perjuangan para santri benar-benar terdesak. Hal ini tentu saja, membuat Kiai Hasyim terkejut luar biasa.

Tubuh Kiai Hasyim yang pingsan itu, segera dibopong ke kediamannya. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang segera melakukan diagnosa. Ada pendarahan di otak sang kiai menurut hasil pemeriksaan sang dokter.

Bung Tomo, komandan Barisan Pemberontak Rakyat, bersama seorang utusan Panglima Besar Sudirman hendak menghadap Kiai Hasyim. Kemungkinan besar ingin melaporkan situasi terkini tentang pertahanan Republik Indonesia. Namun, tak bisa menemuinya karena masih tak sadarkan diri.

Dokter Angka terus berusaha menangani pendarahan otak yang dialami Hadratusy Syekh. Namun, usahanya sia-sia. Sebagaimana dimuat dalam surat kabar Kedaulatan Rakjat, Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya saat waktu sahur tiba. Pukul 03.45 dini hari. Tepat Kamis, 7 Ramadan 1366 H atawa 25 Juli 1947 M.

Berita meninggalnya Kiai Hasyim benar-benar menjadi pukulan telak bagi umat Islam yang sedang gigih berjuang. Terutama bagi para santri yang tergabung dalam barisan Sabilillah dan Hizbullah. Seorang pimpinan sekaligus ulama panutannya, meninggalkan mereka tatkala doa dan bimbingannya sedang dibutuhkan.

Ramadan 1366 H kala itu, benar-benar menjadi ibadah puasa terberat umat muslim Indonesia sepanjang sejarah. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top