Pada November 1945, diselenggarakan Kongres Umat Islam pertama yang dihadiri oleh tokoh-tokoh dan perwakilan dari organisasi-organisasi Islam se-Indonesia. Kongres ini menghasilkan keputusan paling bersejarah bagi pergerakan umat Islam Indonesia: berdirinya Partai Masjumi, sebagai satu-satunya partai yang membawa aspirasi politik umat Islam.
Saat itu, Masjumi hadir untuk mempersatukan, bukan justru memecah kekuatan Islam. Masjumi bertujuan untuk mewadahi, menjadi payung organik Keislaman yang saat itu berserak dan bergerak dinamis.
Para pendiri partai melewati suatu siklus proses pendidikan yang ‘komprehensif’, yang merubah alam pikiran, pola tingkah laku, dan moral yang terjaga. Mengenyam pendidikan barat secara formal dan Islam secara informal, menjadikan korelasi dua model pendidikan seperti itu ke dalam satu karakter yang membentuk jiwa mereka. Ditambah lagi dengan keaktifan mereka di berbagai organisasi pemuda. Sebut saja Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Kasman Singodimedjo.
Mohammad Natsir misalnya. Selama aktif di Jong Islamieten Bond (JIB), ia adalah seorang muda intelektual yang produktif. Pada 1931, ia menerbitkan dua bukunya yang berjudul Komt tot her Gebed dan Muhammad als Profeet. Pada 1932, terbit buku selanjutnya Gouden Regels uit den Quran. Pada 1933, ia kembali menerbitkan buku De Islamietische Vrouw en haar Recht, dan pada 1934 muncul lagi bukunya yang berjudul Het Vasten. Buku Natsir berbahasa Indonesia yang ia tulis bersama Prof. Kemal Schoemaker berjudul Cultuur Islam diterbitkan pada 1936.
Prinsip pendirian partai bergaris lurus dengan munculnya insan cendekia para pendirinya yang secara kualitas keilmuan terus tumbuh dan hidup dalam tulisan-tulisan yang mereka tulis dan disebar lewat brosur dan majalah kepartaian sampai ke pelosok desa. Habitus kerja intelektual ini terus ditanam dan bahkan berkembang.
Ideologi bukan hanya menjadi slogan semata, tapi sudah menjadi ritme kerja para cendekia partai tersebut. Tapi, kerja politik dari partai ideologis seperti Masjumi tidak sekaku yang diperkirakan. Apalagi dengan melihat fakta sejarah yang terungkap pada proses politik masa demokrasi parlementer 1950-1959. Jatuh-bangun kabinet menjadi hal yang lumrah, bahkan berkoalisi dengan partai sekuler atau partai berbasis agama lain bukan lah menjadi suatu persoalan yang serius.
Berkoalisi dengan Partai Sekuler
Sebagaimana proses politik dalam iklim demokrasi pada umumnya, Masjumi pernah pula berhadap-hadapan dengan pemerintah. Menariknya, walau menjadi partai Islam terbesar, Masjumi berkoalisi dengan partai yang berhaluan kiri seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Murba serta partai bernafaskan agama Kristen dan Katolik, seperti Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Ini terjadi pada 1953-1955, pada saat kabinet pemerintahan dipimpin Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Partai koalisi pemerintah terdiri dari partai besar: PNI, NU, dan PSII, sedangkan PKI memberikan sokongan dari luar kabinet.
Menurut Remy Madinier, dalam bukunya Partai Masjumi: Antara Godaan Demorkasi dan Islam Integral, dukungan dari tiga formasi itu mewarnai kerja-kerja politik Masjumi sepanjang 1950-1956, dimana pada kurun periode tersebut ruang gerak politik Masjumi terasa semakin menyempit. Dengan kata lain, kerja politik seperti ini, tidak bisa diukur hanya sebatas hitam dan putih.
Dari sini terlihat bahwa biarpun ideologis, namun tidak serta merta partai Islam “anti” untuk berkoalisi dengan partai yang bahkan diferensiasi asas partainya berseberangan jauh sekali, PSI diklaim sebagai partai kiri, sedangkan Parkindo dan Partai Katolik adalah partai yang berhaluan agama Kristen dan Katolik. Ini menandakan sejak dulu, partai berhaluan Islam tidak bisa tidak untuk tidak merangkul partai sekuler.
Konstelasi politik hari ini tentu berbeda pada saat itu. Tapi jangan sampai sejarah hanya dijadikan alat politik semata. Sejarah harus dilihat secara komprehensif, khususnya bagi masyarakat yang ingin melihat kiprah kerja-kerja politik Masjumi sebagai partai Islam terbesar saat itu. Masjumi menjalankan roda organisasi dan program partai dalam nafas Islam yang rahmatan lil alamin, bukan menjadi partai Islam yang eksklusif, apalagi diskriminatif.