Kamis, 13 Januari 2022, jam 14.30 adalah waktu pertama kali di mana saya menginjakkan kaki di negeri gudangnya para ulama, Mesir. Tepatnya di Cairo International Airport. Setelah proses persiapan yang cukup lama (sekitar setengah tahun) di PUSIBA (Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab), akhirnya saya menjadi salah satu dari 2000 orang yang diterima untuk melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar. Universitas yang menjadi impian saya sejak duduk di kelas 6 MI (Madrasah Ibtidaiyah).
Setelah kurang lebih 3 bulan berada di Mesir, saya mendapat banyak sekali pemahaman baru mengenai Islam (baik dari para Masyayikh al-Azhar ataupun para senior saya di sini) antara lain: toleransi bermazhab, cara istinbat (penetapan) hukum fikih secara manhaji, Islam tawassuth (moderat) dan masih banyak lagi. Saya merasa berada di tempat yang tepat untuk mengembangkan pemahaman-pemahaman Islam yang damai, sejuk, dan pastinya rahmatan lil ‘alamin.
Namun hal yang paling berkesan selama ini adalah saya menyadari betapa tingginya toleransi bermazhab di Mesir ini. Perbedaan bermazhab sudah bukan menjadi persoalan lagi di sini. Misalnya, ketika berjamaah salat lima waktu, saya menemukan fakta bahwa jamaah tersebut diikuti oleh para makmum yang multi-mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan dengan imam-imam yang berbeda mazhab pula di setiap waktunya (sesuai jadwal).
Permasalahan qunut subuh atau non-qunut dan membaca bismilah di awal fatihah ataupun non-bismilah sama sekali tidak dipersoalkan di negeri seribu kubah ini. Tidak ada tuduhan saling menyalahkan dari sekte qunut subuh ke sekne non-qunut ataupun sebaliknya. Semua yang berjamaah (makmum) pokoknya manut (ikut) dengan sang imam salat. Kalau imamnya qunut, semua ikut qunut. Kalau imamnya tidak qunut, semuapun menerima dengan sukarela (walaupun si makmum notabene bermazhab Syafi’i). Hal ini hampir terlaku di semua masjid-masjid yang ada di Mesir (koreksi saya, jika salah).
Biasanya saya niteni (menandai) mazhab para makmum dengan cara melihat cara duduk mereka ketika tasyahhud akhir. Apabila duduknya dengan cara tawarruk berarti bermazhab Syafi’i atau Maliki. Kalau duduk tasyahhud akhir-nya tetap iftirosy berarti bermazhab Hanafi serta masih banyak bentuk duduk lain yang akan jarang kita temui di Indonesia dan mungkin akan dipermasalahkan seandainya ada.
Uniknya, walaupun masyarakat Mesir menganut berbagai mazhab, namun tidak ada pengkhususan masjid berdasarkan mazhab. Semua masjid sama, tempat untuk beribadah seluruh umat muslim. Tidak ada istilah masjid khusus mazhab Maliki, masjid khusus Hanafi ataupun yang lainnya, sehingga tidak menimbulkan sentimen terhadap salah satu mazhab.
Belum lama ini, saya sempat melaksanakan salat tarawih di Masjid Imam Syafi’i (masjid dimana Imam Syafi’i disemayamkan). Lucunya, kebanyakan yang berjamaah di sana bukanlah orang bermazhab Syafi’i dan salatnya hanya 8 rakaat saja (padahal dalam mazhab Syafi’i seharusnya salat tarawih dilakukan sebnyak 20 rakaat). Saya juga sempat heran, padahal ini Masjid Imam Syafi’i lho, tapi kenapa seperti ini? Tapi akhirnya saya menyadari bahwa memang inilah Mesir, dengan tingkat kesadaran dan keterbukaan toleransi bermazhab yang sangat tinggi.
Masyarakat Mesir sudah mampu mempunyai sikap yang dalam istilah as-Sya’roni disebut adz-Dzauq bi Anna Jami’ Aimmah al-Mazdahib al-Arba’ah Showab wa ‘ala Hudan min Robbihim, kesadaran bahwa semua Imam Mazhab empat benar dan mendapat pentunjuk dari Allah. Ini adalah main idea (gagasan utama) as-Sya’roni dalam kitab Mizan al-Kubro, salah satu karyanya yang sangat masyhur. Ketika seseorang sudah mempunyai sikap ini, maka sirnalah sikap fanatik terhadap suatu mazhab dan punya kesadaran bahwa semua mazhab adalah benar dan bisa diikuti kapanpun.
Sikap inilah yang sudah tertanam di hati masyarakat Negeri Nil ini. Mungkin, sikap ini muncul disebabkan pengalaman-pengalaman pahit masa lalu yang sudah dilalui oleh negeri yang mulia ini.
Bagi saya, selama 3 bulan di Mesir, sikap toleransi bermazhab inilah hal yang sangat kumanthil (lengket) di benak saya. Di negeri kinanah ini, saya menemukan corak islam yang unik, adem, damai, dan tentram. Harapan saya, budaya toleransi ini nantinya bisa dijadikan oleh-oleh dan jajan oleh Masisir (mahasiswa Indonesia yang tinggal di Mesir) untuk masyarakat Indonesia, sehingga nantinya bisa menyatukan seluruh elemen keislaman di Indonesia dan menjadikan NKRI sebagai negara yang Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghofur.
Cairo, 25 April 2022