Sejatinya, ketika membicarakan al-Qur’an, kita tidak akan terlepas dari interpretasi (penafsiran) untuk menghasilkan makna sebagai tata-etika nilai dalam kehidupan umat manusia. Sebagaimana al-Qur’an sendiri turun tidak terlepas dari (sosio-historis) yang melatarinya. Di sinilah peran tafsir untuk menghidupkan teks-teks suci (living teks) agar mudah dipahami maknanya.
Karena al-Qur’an tidak terlepas teks, konteks, dan acuan makna yang akan dihasilkan, tentu dalam kondisi yang semacam inilah mengalami semacam kontestasi “klaim kebenaran” mengenai interpertasi yang diperjuangkan oleh orang sebagai kemutlakan (absolut).
Di sinilah K.H Husein Muhammad memberikan semacam benang merah di tengah realitas tafsir yang majemuk yang seringkali mengalami semacam klaim pembenaran. “ini paling benar, sedangkan itu salah!”. Jadi, dalam kondisi yang semacam inilah K.H. Husein Muhammad memberikan semacam keterangan atau tawaran yang lebih etis untuk kita pahami di dalam menyikapi setiap tafsir dengan benar dan pada ranahnya.
Buku ini menjelaskan bahwa motif konflik semacam ini tidak hanya terjadi di dunia kontemporer saja, akan tetapi sudah terjadi sejak masa sahabat Umar bin Khattab. Dan salah satu yang menjadi sumbu berlangsungnya perpecahan di lingkungan khazanah tafsir ini adalah perbedaan disiplin ilmu yang dipakai untuk mentakwil atau menafsirkan teks al-Qur’an.
Kita tahu, pada aspek tertentu memang ada beberapa bagian teks yang sudah final, akan tetapi ada teks yang hadir untuk merespons realita dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat itu. Sehingga metodologi tafsir al-Qur’an terlebih dahulu harus menggarap atau menyelami lebih jauh latar belakang sejarah teks. Hal ini bertujuan agar teks yang awalnya hanya menjadi jawaban masa lalu bisa diaplikasikan dengan baik dan benar dan sesuai porsi dan proporsi konteks zaman yang terjadi pada saat ini.
Sebaliknya orang yang tidak paham latar belakangnya, akan terperangkap dalam kesulitan memahami teks. (hal. 122). Pada akhirnya, kegagalan memahami itu akan menjadi bencana besar bagi kehidupan sosial dan kemanusian, terutama di kalangan umat muslim. Dan sadar atau tidak sadar mereka sedang menggiring islam ke-arah disintegrasi.
Akhirnya, islam yang awalnya dipahami dengan agama yang penuh cinta, keindahan pencerahan, dan kemanusian, akan diwarnai oleh interpretasi-interpretasi yang malah akan mencederai esensi makna islam itu sendiri. Semisal maraknya penafsiran makna teks yang berusaha digunakan untuk mereduksi, memanipulasi atau menegasi pemahaman lain demi kepentingannya sendiri. Atau lebih-lebih dijadikan alat pembenar dari perilaku keburukan mereka yang sesungguhnya.
Dalam kasus lain, di era modern ini, muncul berbagai kubu yang mengatasnamakan islam, akan tetapi perilakunya justru tidak mencerminkan wajah islam itu sendiri. Hal itu jelas bisa merusak hakikat makna islam yang sudah kita pahami sebelumnya. Maka dari itu, seyogianya kita sebagai umat muslim harus lebih memperkuat ukhuwah islamiyah sebagai tameng agar tidak terpisahkan satu sama lain.
Di tengah permasalahan umat islam yang terus bermunculan, esai-esai yang ditulis dengan bahasa renyah dalam buku ini hadir sebagai representasi sekaligus jawaban dari kegelisahan yang begitu kompleks menyelimuti umat muslim hari-hari ini. Tulisan dalam buku ini merupakan hasil dari renungan penulis sebagai bentuk sumbangsih-nya dalam merealisasikan kembali makna-makna islam yang sesungguhnya. Khususnya untuk menciptakan realita yang lebih indah dan harmoni. Wallahu A’lam.
Judul Buku : Islam, Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusian
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, Agustus 2021
Tebal Buku : 295 halaman
ISBN : 978-623-6166–64–2