Jika kita mendengar kata Hellenisme, ingatan kita pasti mengarah ke hal ihwal tentang Yunani. Bagi sebagian masyarakat mungkin belum mengetahui bahwasanya hasil peradaban ilmu pengetahuan berawal dari negeri dewa-dewa itu.
Jika memilih abad paling hebat dalam setiap jajaran masuknya pengetahuan, dapat dikatakan kalau abad Hellenistik adalah abad termasyhur pada sepanjang sejarah. Tetapi tahukah bahwa hellenisme rupanya memiliki kesinambungan terhadap proses cikal-bakal hadirnya filsafat Islam?
Fakta ini jadi hal yang cukup menarik sebab filsafat kerap dikaitkan dengan hal-hal sesat, bahkan mereka yang memelajari filsafat sering dianggap tak memercayai Tuhan. Benarkah begitu? Tentu tidak.
Ini bermula pada genderang tabuh filsafat yang terdengar pada abad ke-6 sebelum Masehi hingga akhir abad ke-4 sebelum Masehi. Ditengarai sebagai awal mula eksistensi Filsafat di Yunani yang mulai memercik, sekaligus juga ditandai dengan titik mula periode helenistik zaman klasik yang kala itu digadang sebagai lahirnya suatu fase hellenisme.
Disebutkan dalam Encyclopaedia Britannica, vol. 11, Hellenic Age (Chicago: International Publishers Co. Inc., 1970), 323. Istilah “Hellenisme” pertama kali dicetuskan oleh J.G Droysen yakni seorang sejarawan dari Jerman. Ia menggunakan istilah helenistik guna menggambarkan transisi antara Yunani Kuno dan Kristen. Helenisme yang disebutkan dalam pemaparan utas peristiwa ini disebut dengan masa peralihan pada tahun 323 sampai 30 Sebelum Masehi. Jadi, kala itu helenistik masuk dalam bentuk pendekatan yang condong pada sejarah politik dan perspektif uniknya.
Pola pendekatan tersebut, yang dilakukan hellenistik, bertujuan untuk merasuki akal-akal dan mendoktrin paham baru dari sisi sejarah budaya, maka dengan itu ulur masa yang digunakan pun dapat sekonyong saja menyurut ke dasar bahkan jauh ke belakang. Dari sini mengantarkan mereka menuju impak pemahaman dan juga budaya Yunani Kuno (kisar abad IV atau III SM.); dan sekiranya pada VII Masehi, pada masa tersebut sekaligus mampu menggamit kemajuan, hingga tiba kala toreh peristiwa penaklukan daratan Mediteranian yang dilakukan bangsa serta budaya Arab, bahkan termasuk Islam sendiri.
Sepanjang pengetahuan kita terhadap Yunani, ada beberapa tokoh terkenal yang sampai kini selalu menjadi rujukan utama bahkan dalam mengutip kalimat-kalimat serta gagasan mereka. Ialah Thales dengan filsafat kosmologinya, Pythagoras si pengemuka metafisik, Socrates tentang gagasan filosofi moral serta menanamkan ilmu kebajikan, Aristoteles hinggapun Plato yang pernah menyatakan kecintaannya dalam berpikir kebenaran. Dari mereka, pemikiran-pemikiran andalnya kerap dijadikan sebagai panutan dalam pembentukan filsafat Islam.
Meski tak dipungkiri bahwa eksistensi filsafat yang bercokol di dunia Islam sempat menjadi secuil pergulatan. Pasalnya filsafat Yunani kerap dikenal sebagai pemikiran berdasarkan logika, rasional, dan akal (yang hampir bersih tak menyangkutpautkan perihal akidah keagamaan apalagi risalah; setidaknya secara eksplisit).
Terlebih filsafat Yunani pun berisi ajaran atau doktrin pemikiran yang membahas bahkan memperdebatkan kal-hal kontroversial seperti pernyataan metafisika, membahas eksistensi Tuhan, hingga konsep semesta. Sedangkan Islam yang secara mudah dapat diidentifikasi sebagai pemikiran yang berkesinambungan dengan agama, praktik ajaran atau akidah, pembahasan tentang kenabian pun bersinggungan dengan Tuhan.
Namun dari pembandingan antara helenis dan cara pandang filsafat islam yang jauh bertolak belakang tersebut, dari sejarah yang ditoreh oleh Yunani dalam hasil pemikiran mereka serta pun peradaban pesat pendidikan dan keilmuan berhasil menghasilkan suatu hal yang berkenaan dengan filsafat, dari sini cukup membuat banyak pemuka Islam tertantang untuk membentuk peradaban yang serupa di dunia Islam, memodifikasi pemikiran mereka dengan campur keagamaan dari sentuhan Yunani terdahulu. Para tokoh-tokoh filsuf Islam mampu membawakan filsafat dalam balut modifikasi yang telah mendapat sentuhan Islam tanpa menghilangkan ciri khas filsafat itu sendiri serta tanpa menciderai hukum-hukum agama Islam.
Filsafat Islam seperti paralel yang tak jauh dari warisan Yunani terdahulu, ini tak ayal kontak otentik di dalam peradaban filsafat Islam dapat terbangun sebab masih bertalian saling berkelindan dengan pengaruh Yunani hingga bermunculanlah pengemuka filsuf dari kalangan muslim. Ranah perkembangan filsafat Islam jelas telak tak pernah lepas dari pilar-pilar Yunani. Rintis landasan pembentuk filsafat Islam bisa dikatakan dimulai dari proses pemetaan yang dikembangkan berdasarkan formulasi, petak, sistematika, praktik, dan porsi yang telah dicetak lebih dulu oleh para filsuf masyhur Yunani.
Bukti lazim dalam lingkup Islam tradisional yakni filsuf pertama yang muncul dalam dunia Muslim, Iranshahri. Ia seorang ilmuwan, sarjana, dan penyusun ilmu pengetahuan abad kesebelas. Iranshahri si filsuf pertama ini adalah seorang berkebangsaan Persia. Bahkan seorang cendekiawan muslim terkenal asal Persia sekaligus matematikawan yang juga ahli dibidang fisika dan filsafat—Abu Raihan Muhammad Bin Ahmad Al-Biruni sering menyebut-nyebut nama Abul Abbas al-Iranshahri pun mengutarakan rasa hormat mendalam.
Namun sayangnya, tak ada yang tersisa dari tokoh misterius ini, Iranshahri hanya meninggalkan sebuah nama serta segenggam kecil pandangan dan ucapan-ucapannya yang berserakan. Kendati begitu, Iranshahri yang mencoba menebar filsafat ke Timur ditengarai sebagai rumah awal para filsuf lain yang lahir setelahnya, seperti dari Al-Farabi hingga Suhrawardi. Pengaruh lain di dalam filsafat Islam diikuti dengan adanya tulisan serta karya pada masa Dinasti Abbasiyah.
Begitulah, meski ini belum akhir dari proses perkembangan filsafat Islam. Namun Helenistik memiliki peran cukup besar dalam memberikan sumbangsih dan kontribusinya untuk membantu peradaban pengetahuan, sekaligus memprakarsai tumbuhnya tokoh-tokoh filsuf di dalam Islam.