Sedang Membaca
Pulang Setelah Perang: Pro-Kontra Pemulangan Eks-Anggota ISIS
Adrian Perkasa
Penulis Kolom

Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan PhD candidate di Universiteit Leiden.

Pulang Setelah Perang: Pro-Kontra Pemulangan Eks-Anggota ISIS

1 A Bendera

“I don’t want to have a heart that is boiling like a volcano.” Inilah kutipan salah satu quotes of the year 2019 versi majalah Times. Pernyataan ini, yang artinya “saya tidak ingin punya hati yang mendidih seperti gunung berapi”, diungkapkan oleh Farid Ahmed, seorang penyintas dari peristiwa penembakan jemaah salat Jumat masjid di Selandia Baru tahun 2019.

Pernyataan ini ia jelaskan ketika banyak pihak mempertanyakan alasannya untuk memberi ampunan terhadap pelaku penembakan. Kebetulan majalah ini menjadi kawan perjalanan saya dari Leiden menuju masjid Al-Hikmah, Den Haag, tempat digelarnya “Ngaji Budaya Jilid Kedua”.

Ngaji Budaya sendiri merupakan sebuah program kerjasama antara LESBUMI PCI NU Belanda dengan Komunitas Tombo Ati. Apabila Anda akrab dengan program talkshow populer di berbagai stasiun televisi di Indonesia semacam ILC atau Mata Najwa, ya kira-kira seperti inilah program ini berlangsung. Maka tak heran jika kemudian jemaah ada yang nyeletuk bahwa acara ini juga pas dinamakan dengan Mata Ucok. Bang Ucok alias Aminuddin Th. Siregar adalah Ketua Lesbumi PCI NU Belanda yang menjadi inisiator sekaligus pemandu acara Ngaji Budaya.

Dalam edisi keduanya, Ngaji Budaya membahas topik yang sedang menghangat baik di Indonesia maupun komunitas Indonesia di Belanda yakni perkara pro-kontra pemulangan anggota ISIS ke negara asalnya. Diakui pula oleh jemaah anggota Komunitas Tombo Ati bahwa selama beberapa waktu dalam grup WhatsApp terjadi saling silang pendapat antara mereka yang mendukung dan menolak orang-orang Indonesia eks-ISIS untuk kembali ke negaranya. Hadi Rahmat Purnama, dosen Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia Universitas Indonesia didapuk menjadi narasumber dalam Ngaji Budaya kali ini.

Baca juga:  Mewaspadai Gerakan Delegitimasi Konstitusi

Pada sesi pertama, para jemaah yang menolak pemulangan anggota ISIS ke Indonesia diundang untuk menyampaikan pendapatnya. Menurut Mas Sofyan, para eks-ISIS ini dapat diibaratkan seperti “somba” atau pewarna sintesis yang apabila dipulangkan ke tanah air, maka akan merusak kejernihan warga negara Indonesia yang loyal pada negara.

Ditengarai mereka ini telah mengalami proses radikalisasi yang kuat sehingga hanya membawa mudarat saja apalagi kembali ke kampung halamannya. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Kang Mujtahidin dengan mengutip Ketua PBNU KH Said Aqil yang telah memberikan pernyataan tidak menyetujui rencana pemerintah untuk memulangkan eks anggota ISIS ke Indonesia. Rupanya pendapat-pendapat ini semakin menghangatkan acara ini.

Segera sesi dilanjutkan dengan mengundang para jemaah yang mendukung rencana pemulangan eks-anggota ISIS ke Indonesia. Mulai dari Mas Iqbal, Kang Nana, dan Mbak Eva menyebutkan bahwa Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah tentu harus dijadikan teladan yang diikuti. Misalnya dalam peristiwa Fathu Makkah, semua penduduk Makkah yang kafir termasuk Hindun yang telah dengan biadab memakan jantung Hamzah, paman Nabi saw yang dijuluki Singa Allah, pun diberi ampunan. Apalagi sesama muslim yang harus dianggap seperti saudara dan sebangsa, meski mereka dikabarkan 4telah membakar passport Indonesia yang dimilikinya.

Hanya saja memang diakui perlu proses yang seksama dalam memulangkan eks anggota ISIS ini. Bahkan lebih lanjut dicontohkan ibarat WNI yang dievakuasi dari Wuhan perlu transit di wilayah Natuna terlebih dahulu sebelum kembali ke tempat asalnya, maka perlu juga semacam tempat khusus atau lokalisasi bagi para eks-anggota ISIS tersebut.

Baca juga:  Geliat Buku di Mosul Pasca ISIS

Maka setelah memanas, Hadi Rahmat ambil bagian untuk menyampaikan secara jernih persoalan ini sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya. Menurutnya, soal ini harus dilihat secara komprehensif bagaimana awal mula, proses bergabung hingga kondisi saat ini para eks-anggota ISIS tersebut. Terdapat banyak persoalan termasuk dengan status ISIS sendiri. Meski ISIS mengklaim telah mendirikan negara dan merekrut warga negaranya dari berbagai belahan dunia, namun tetap belum memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah negara. Misalnya syarat seperti pemerintah, wilayah, dan rakyat yang tidak jelas. Belum lagi apabila syarat tersebut ditambah dengan kemampuan menjalin hubungan atau mendapat pengakuan dari negara-bangsa (nation-state) lainnya.

Jelas sekali bahwa ISIS tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Ditilik dari asal-usulnya, kelompok ini merupakan salah satu faksi dari Islam Sunni di tengah mayoritas Islam Syiah di wilayah tersebut. Kemudian berkembang karena bentrokan kepentingan khususnya geopolitik di Timur Tengah, maka kelompok ini menjadi kuat, namun tidak sampai membuat negara sendiri yang terlepas dari Suriah maupun Irak. Jadi secara de facto ISIS tidak memenuhi syarat sebagai negara. Peperangan melawan ISIS ini bisa dikategorikan sebagai perang asimetris karena negara melawan kelompok bukan negara.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka anggapan bahwa para eks-anggota ISIS tersebut telah memiliki kewarganegaraan baru karena telah berbaiat jelas tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak kepulangan mereka ke Indonesia. Adapun perusakan atau pembakaran passport mereka sendiri tidak serta merta menghilangkan status kewarganegaraan Indonesia mereka.

Baca juga:  Kelenteng dan Masjid Bersanding di Bangka, Simbol dan Nilai Kerukunan

Atas tindakannya tersebut, mereka hanya dapat disanksi sesuai dengan peraturan atau tindakan merusak dokumen negara karena passport termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, seyogianya pemerintah harus jelas posisinya dimana, kebijakan seperti apa yang diambil, dan proses seperti apa yang disiapkan apabila mereka benar-benar ingin pulang. Apalagi jika mereka yang ingin pulang ini adalah korban terutama ibu-ibu dan anak-anak mereka. Hal ini juga telah diatur dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005.

Sebelum usai, terdapat masukan menarik dari Pak Hambali dan Pak Hasyim. Kedunya mengatakan bahwa perlu juga pemerintah memerhatikan aspek internasional dari masalah pemulangan eks-anggota ISIS ke negaranya masing-masing. Misalnya bagaimana Organisasi Konferensi Islam atau OKI termasuk negara-negara anggotanya merespon mereka yang ingin kembali ke negaranya. Seharusnya Indonesia bisa mengambil inisiatif dalam hal ini mengambil kebijakan humanitarian dan tidak hanya ikut-ikutan saja mengikuti kebijakan yang telah diambil negara-negara lainnya.

Maka kembali saya teringat pernyataan Farid Ahmed di atas. Kebijakan apapun yang diambil pemerintah, hendaknya didasarkan atas rasa kemanusiaan yang memang telah menjadi bagian dari dasar negara kita, Pancasila.

Kebijakan ini tentu tidak hanya berlaku bagi mereka para eks-anggota ISIS saja melainkan kepada semua anak bangsa yang telah lama merindukan kepulangan mereka kembali di pangkuan ibu pertiwi.

1 A Belanda
Suasana diskusi di Masjid al-Hikmah, Den Haag, Belanda
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top