Pada dasarnya, sebagaimana yang dikatakan Paulo Freire, pendidikan adalah praktik pembebasan. Sebuah proses pencerahan yang dapat melepaskan seseorang dari belenggu ganda; “kebisuan” dan “monolog”.
Kebisuan berarti hilangnya kesadaran kritis serta unsur-unsur manusiawi lainnya lantaran terdesak oleh kecenderungan anonimisasi yang menyertai logika pembangunan. Sedangkan monolog lebih mencerminkan pudarnya keanekaragaman wacana akibat terlalu kuatnya arus penyeragaman.
Karena itu, pendidikan sebenarnya tidak sekedar berkutat pada urusan transfer ilmu pengetahuan belaka, melainkan mengemban misi mencetak kecerdasan nalar sekaligus kekuatan karakter, sebagai bekal manusia untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan penuh makna.
Memang terlalu gegabah kalau pendidikan tidak menghiraukan kebutuhan pragmatis zamannya. Kurikulum sekolah dan perguruan tinggi lazimnya dirumuskan dengan memperhatikan apa yang menjadi tuntutan riil dunia profesional, sehingga bernilai tepat guna. Tak peduli bidang apa pun yang nantinya bakal digeluti, setiap orang pasti perlu bekerja dan berpenghasilan untuk membiayai hidupnya, dan itu menjadi sulit dilakukan jika institusi pendidikan yang ada tidak mengajarkannya.
Dalam hal ini, pendidikan mesti peka terhadap perkembangan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan teknologi yang mewarnai dinamika masyarakat di semua level; mulai tingkat lokal, nasional, hingga di tataran global. Tanpa memiliki sensitivitas yang mamadai, pendidikan hanya akan mentransmisikan ilmu pengetahuan usang (out of date), serta mencetak barisan sarjana yang gagap mengantisipasi perubahan.
Sulit dibayangkan prospeknya bila daftar mata pelajaran yang begitu banyak diserap para siswa pada akhirnya ternyata cuma menawarkan spesifikasi yang kelak mengharuskan mereka rela ditempatkan di lapisan bawah struktur perkerjaan dan jabatan di dunia industri atau pun di kantor-kantor admintrasi negara.
Tak masuk akal pula seandainya skill praktis yang diproduksi oleh sekolah-sekolah selama bertahun-tahun ujung-ujungnya sekedar melahirkan deretan alumni yang terpaksa menjadi pekerja kasar di aneka sektor informal yang berupah rendah sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa, lantaran minimnya kapasitas keterampilan yang dipunyai.
Lembaga pendidikan sudah sepatutnya berupaya serius agar generasi pelajar yang dihasilkannya di masa mendatang mempunyai kapasitas ilmu pengetahuan, baik bersifat murni maupun terapan, yang berdaya saing tinggi demi memperbesar kesuksesan beradaptasi di setiap perubahan, atau bahkan sanggup menginisiasi sebuah lompatan kemajuan yang mendahului zamannya.
Pada konteks ini, pendidikan diharapkan dapat membuka jalan untuk memudahkan seseorang berusaha mencukupi keperluan pokoknya, yakni rasa aman (security) dan bertumbuh (growth).
Berdasarkan paparan Scott B. Kaufman yang adopsi dari teori Abraham Maslow, rasa aman itu meliputi urusan keselamatan jiwa (safety), termasuk pangan, sandang, dan papan, lalu hubungan sosial (connection), serta penghargaan diri (self-esteem). Adapun bertumbuh adalah kebutuhan menggali potensi pribadi (exploration), merasakan cinta kasih (love), serta meraih cita-cita (purpose).
Jadi, pendidikan dapat dikatakan berhasil melahirkan keunggulan kalau orang-orang yang dicetaknya sukses berkembang menjadi insan kreatif yang berpeluang menikmati kesejahteraan lahir-batin, tanpa didikte oleh realitas di luar dirinya yang bercorak represif dan kurang manusiawi.
Di samping itu, penguatan karakter yang bertumpu pada nilai-nilai kebajikan dan spiritualitas agama juga tak kalah penting untuk ditekankan dalam pendidikan. Kejujuran, disiplin, kerja keras, toleransi, harus diramu sedemikian rupa dengan kesetiaan terhadap prinsip kebenaran dan keadilan yang lapisi oleh norma-norma transendensi agama.
Adalah suatu ironi jika bangsa yang terlanjur dianggap religius malah memperlihatkan suburnya budaya korupsi, sebagaimana janggalnya klaim keramahan oleh masyarakat yang ternyata gemar menyerang perbedaan dan pluralitas. Kontradiksi semacam ini tentu tak akan berkembang biak kalau pendidikan kita menjalankan perannya dengan tepat dan efektif.
Pada akhirnya, kita pun menyadari bahwa pendidikan adalah kerja raksasa, yang sangat menentukan wajah sebuah bangsa, sehingga keterlibatan semua pihak tak mungkin dielakkan. Setidaknya, penghargaan yang tinggi terhadap tradisi intelektual beserta support anggaran yang mencukupi merupakan prasyarat atau kunci utama.
Bicara transformasi pendidikan tak bisa dilepaskan dengan kesejahteraan guru, fasilitas riset yang memadai, insentif untuk karya ilmiah, serta pemutakhiran data dan informasi keilmuan yang cepat.
Kalau semua pihak mau memperbarui komitmen bersama untuk lebih meningkatkan profil pendidikan nasional secara keseluruhan, bisa diperkirakan dalam satu dekade ke depan kualitas karakter dan intelektual generasi penerus kita akan jauh berbeda. Pada akhirnya pendidikan pun akan menjadi investasi besar bagi peradaban dan kemajuan bangsa.