Secara umum ada kesepakatan di antara para sarjana bahwa pasca-Orde Baru, Indonesia menjadi semakin konservatif (conservative turn)—sila lihat buku Martin van Bruinessen dkk, Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the “conservative Turn. Arah konservatisme ini bisa dilihat semisal melalui beberapa keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) seperti larangan doa bersama antaragama pada 2005 ataupun fatwa penistaan agama 2016.
Selain itu, beberapa peneliti melihat juga adanya dinamika di dua organisasi terbesar Islam Indonesia (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) di mana kelompok progresif dan konservatif di dua organisasi ini saling bertukar wacana.
Sementara fenomena hijrah para artis juga menjadi salah bukti arah konservatisme ini. Bisa dibilang saat ini, bagi para artis, menjadi keren adalah hijrah. Maka banyak dari artis yang dulu sering kita lihat berpakaian ‘seksi’, sekarang sudah berjibab dan memakai pakaian lebih tertutup.
Konservatisme dalam bentuk lain juga muncul dengan merebaknya industri halal seperti perumahan islami yang mengharuskan pemilik rumah beragama Islam. Lebih jauh lagi, muncul juga semacam fatwa untuk membelanjakan uangnya hanya di toko-toko ‘Muslim’ dan menjauhi toko yang dimiliki oleh nonmuslim.
Menjadi konservatif dalam agama bukan sesuatu yang salah. Yang menjadi problem jika posisi ini membuat kita menegasikan orang atau kelompok lain sebagai salah, dan di luar golongannya.
Imbasnya adalah eksklusifitas yang menjadikan kelompoknya sangat homogen, dan cenderung diskriminatif terhadap orang di luar lingkarannya. Akibatnya, intoleransi atas nama agama mudah untuk diucapkan.
Akhir-akhir ini (terutama di media sosial) banyak contoh intoleransi ataupun ujaran kebencian yang muncul akibat eksklusifitas tersebut. Ejekan, hujatan dan makian mudah kita temukan di lini masa media sosial dan tidak jarang menjadi trending. Kata ‘kafir’ yang bermakna peyoratif sering terucap kepada nonmuslim dan bahkan kadang-kadang diucapkan kepada sesama umat Islam yang mungkin berbeda pendapat.
Yang termutakhir tentu ujaran kebencian atas nama agama yang dikaitkan dengan politik, baik itu Pilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017 dan Pilihan Presiden (Pilpres) 2019. Demonstrasi berjilid-jilid atas nama agama adalah contoh riil semakin besarnya gerakan konservatisme di negara ini.
Beberapa fakta kejadian tersebut memunculkan tanda tanya besar, bagaimana hubungan antaragama di negara kita jika perbedaan agama berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan kita, baik itu politik, sosial dan ekonomi? Alih-alih saling berdialog untuk melunturkan perbedaan, yang terjadi justru saling menghindar untuk tidak berkumpul ataupun berdialog karena perbedaan agama yang dipersepsikan berpotensi melunturkan iman.
Munculnya Akun Garis Lucu
Untungnya, lini masa media sosial tidak melulu berisi ujaran kebencian dan intoleransi. Kita juga menemukan akun-akun yang mungkin sekilas terkesan ‘receh’ dan menggelikan, tetapi punya peran besar terhadap dialog antariman dan melunturkan kecurigaan berbasis pandangan keagamaan. Ini kaitannya dengan merebaknya akun garis lucu di medsos terutama Twitter.
Akun dengan ‘genre’ garis lucu ini diawali oleh NU garis lucu (@NUgarislucu) yang aktif di Twitter sejak Mei 2015.
Sebagai akun yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), akun ini banyak mencuit tentang ritual ataupun aktivitas orang orang NU dengan bahasa ‘receh’ nan kocak sehingga membuat para followernya terpingkal-pingkal.
Setelah beberapa lama ‘bermain’ sendirian menghibur ribuan jamaahnya, akun NU garis lucu diikuti oleh akun dari organisasi Islam lain seperti Muhammadiyah Garis Lucu (@MuhammadiyahGL). Kedua akun ini kemudian sering berinteraksi bahkan kadang kala membahas tema yang mungkin sulit dibayangkan jika dua orang pengikut NU dan Muhammadiyah berhadap-hadapan.
Semisal pada satu cuitan, @NUgarislucu menyindir @MuhammadiyahGL: “Saat mudik, tempat favorit buat istirahat adalah masjid NU. Selain kamar mandinya luas juga tersedia spot wisata religi yakni wahana kolam renang gratis di kobokan kaki. Di masjid @MuhammadiyahGL mana ada”.
Cuitan inipun dibalas oleh @MuhammadiyahGL: “Setelah dari Masjid NU, berikutnya mampirlah ke rest area Kami yang disupport Lazismu dan RS PKU. Di sana biasanya ada pemeriksaan kesehatan. Bukan apa2, khawatir kalo anaknya gatel2 setelah berenang di kolam gratisan, misalnya. Maaf sekadar mengingatkan”.
Selain cuitan di atas, banyak sekali cuitan dua akun ini yang banyak menyerempet isu perbedaan penafsiran agama di antara keduanya. Menariknya, para pengikut kedua grup tidak ada yang meneriakkan takbir dengan amarah untuk menyerang salah satu di antara keduanya.
Yang ada, jamaah dua akun tersebut berbalas sindiran lucu terkait pemahaman keagamaan masing masing.
Setelah dua akun di atas, akun dengan ‘genre’ garis lucu beranak pinak, mulai dari LDII Garis Lucu (@LdiiLucu), Hizbut Tahrir Garis Lucu (@HizbutTahrirGL), Wahabi Garis Lucu (@WahabiLucu), Tasawuf Garis Lucu (@TasawufGL), hingga Gontor Garis Lucu (@GontorGarisLucu). Semua akun ini mempunyai kesamaan: membahas perbedaan penafsiran agama dengan cara receh dan menghibur.
Perkembangan terbaru dari dunia Twitter, ternyata akun garis lucu tidak hanya muncul dari kelompok dalam agama Islam, akan tetapi sudah menjalar ke agama lain seperti Katolik (@KatolikG), Budha (@BuddhisGL), Kristen Protestan (@ProtestanGL) dan Konghucu (@KonghucuGL).
Seperti seniornya, akun garis lucu beda agama ini dengan manis mencuit banyak persoalan perbedaan agama dengan kocak dan menghibur.
Contoh mutakhir ketika Deddy Corbuzier masuk Islam. Akun @KatolikG pun mencuit: “Hari ini kami serahkan Corbuzier ke @NUgarislucu untuk selanjutnya silahkan disunat dan diarahkan.
NU Garis Lucu menjawab cuitan tersebut sebagaimana berikut: “Siap, ndan. Ajaran-ajaran baik dari sampean tetap kami pertahankan”.
Pudarnya Kebencian atas Nama Agama
Pada 27 Juli 2017, Huffington Post dalam postingannya mengutip penelitian yang mengatakan humor bisa mempererat jalinan sosial dan menyatukan orang dengan pandangan yang berbeda. Lebih dari itu, wacana ataupun kritik agama jika disampaikan dengan cara yang lucu dan kocak akan menerobos sekat-sekat prasangka dan kecurigaan.
Inilah yang dilakukan oleh banyak akun garis lurus di Twitter. Berusaha melunturkan prasangka dan mendialogkan perbedaan intra ataupun antaragama dengan cara yang menggelitik tanpa kehilangan isi dari kritik tersebut. Paling tidak interaksi antarakun garis lucu beda agama bermanfaat karena dua hal.
Pertama, melunturkan ujaran kebencian yang berlalu lalang di media sosial dan kedua, menjadi cara baru untuk dialog antariman agar ujaran kebencian antaragama bisa sedikit demi sedikit berkurang dan kemudian hilang.
Semoga mengikuti akun-akun bergenre garis lucu dua kesadaran tersebut bisa kita dapatkan. Sudahkah anda menjadi follower mereka? (atk)