Lelaki berselera manis dan romantis. Ia bernama Arifin C Noer. Orang-orang mengenali Arifin C Noer adalah manusia teater dan film. Ia memang tenar di panggung teater dan tontonan “lajar putih”. Puluhan tahun, ia mengabdi di teater dan film. Arifin C Noer meraih puncak-puncak, pernah pula di “kejatuhan” atau sasaran kritik.
Dulu, tampilan Arifin C Noer berambut gondrong. Pada masa-masa memiliki gairah “beribadah” seni tak henti-henti, orang-orang mengingat tampang Arifin C Noer itu serius dan kepala tak berambut. Kacamata selalu mejeng.
Pada saat menjalani hari-hari itu seni, Arifin C Noer menunaikan pernikahan. Pada 1979, ia sudah tercatat menikah dua kali. Ia mengaku tak seperti tokoh dalam film Indonesia dalam bab pernikahan. Semula, ia beristri Pudji Nurul Aini, perempuan Solo. Sepuluh tahun berlalu, pernikahan itu selesai. Arifin C Noer terus menempuhi teater dan film. Ia pun bertemu Jajang Lidia Djunita Pamontjak. Arifin C Noer dan Jajang membuat janji suci: menikah. Pada saat menikah dan hidup bersama Jajang, tubuh Arifin C Noer tampak gemuk.
Pernikahan itu puitis. Arifin C Noer menggubah puisi berjudul “Karena Jajang”. Puisi (hampir) mbeling tapi ingin romantis. Ia menulis: Tuhan, saya minta duit/ buat beli sugus,/ karena jajang lagi doyan sugus. Puisi tak pernah dipilih HB Jassin, Ajip Rosidi, dan Linus Suryadi AG sebagai puisi penting dan bermutu di Indonesia. Puisi seperti dititipi iklan permen. Pada masa lalu, orang-orang pernah keranjingan permen Sugus. Permen enak dan manis. Permen itu masih bisa kita beli dan nikmati di masa sekarang. Puisi gubahan Arifin C Noer belum pernah dijiplak para lelaki untuk meruntuhkan perasaan perempuan. Puisi tak dibeli oleh perusahaan dijadikan iklan-komersial.
Arifin C Noer mula-mula memang sering menggubah puisi. Ia tak cuma di teater dan film. Pada saat muda di Solo untuk kuliah dan berkesenian, ia memilih menekuni puisi. Arifin C Noer lahir di Cirebon, 10 Maret 1941. Masa remaja dan dewasa menempuh studi di Solo dan Jogjakarta. Ia masuk ke kesenian tapi gelar kesarjanaan diperoleh di ilmu sosial-politik. Selama di Solo, ia bergabung dengan komunitas sastra dan turut merancang Hari Puisi. Berseni di Solo berlanjut ke Jogjakarta dengan bergabung di Teater Muslim. Ia berada di asuhan Mohammad Diponegoro. Arifin C Noer sempat turut pula di kelompok teater Rendra. Pada masa 1960-an, ia minggat ke Jakarta.
Kita kembali ke puisi. Arifin C Noer memilih 27 puisi diterbitkan jadi buku berjudul Selamatpagi Jajang. Buku cetak seribu eksemplar, dibagikan ke para tamu asal memberi kado. Buku puisi untuk maskawin. Pernikahan diselenggarakan 14 Februari 1979. Jajang sumringah dan mengaku: “Ya, saya memang suka permen Sugus, sejak populer. Kalau kebetulan lagi nggak ada, itu artinya Mas Arifin lagi nggak punya duit.” Permen, puisi, dan pernikahan. Jajang bilang: “Sugus itu punya keistimewaan bagi kami berdua”. Pengakuan dimuat di majalah Tempo (17 Februari 1979) mengingatkan permen manis dan pernikahan puitis. Peristiwa itu realis, bukan berlangsung di film atau panggung teater.
Arifin C Noer, teladan bagi kaum lelaki suka menggubah puisi. Rajinlah menulis puisi! Rajinlah berdoa dan berharap agar lekas ketemu jodoh saat sudah telanjur menulis ratusan puisi. Pada masa terindah, pilihlah sekian puisi diterbitkan jadi buku. Jadikanlah mas kawin! Kini, puisi-puisi gubahan Arifin C Noer tak dikutip di undangan pernikahan. Puisi manis itu kalah bersaing dengan puisi-puisi gubahan Kahlil Gibran dan Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo mungkin juga mulai laris di edisi-edisi pernikahan. Kita mendapat cerita Arifin C Noer dan Jajang tentang buku berjudul Selamatpagi Jajang (1979). Buku itu masih mungkin ditemukan?
Kita mesti mengenali Arifin C Noer tak cuma di pernikahan. Ia memiliki masa lalu agak tak manis. Arifin C Noer itu anak kedua dari 8 bersaudara. Bapak dan ibu adalah pedagang sate. Hari-hari Arifin C Noer adalah sekolah dan memanggang sate. Peristiwa dan mengartikan waktu demi keluarga berakibat Arifin C Noer jarang bisa bermain dengan teman-teman. Hari-hari terus sate. Ia ingat tak berhasil menendang bola. Kaki bermaksud menendang bola. Luput, ia pun terpelanting. Tragedi di masa kecil itu menghasilkan sumpah-serapah bahwa ia tak mau bermain sepak bola. Pada saat dewasa, ia seniman, bukan penjual sate atau pemain sepak bola.
Hidup di Cirebon, Arifin C Noer bertumbuh menjadi penggemar dangdut. Di majalah Zaman, 22 November 1981, ia bercerita: “Saya hidup di dunia kelam, karena itu saya dekat dengan dangdut dan kejelataan.” Ia suka dangdut, cerita horor, dan dunia santri. Masa lalu itu merasuk di garapan teater dan film. Ia bisa memasukkan dangdut ke teater dan film tapi berjanji tak bakalan bersaing menjadi musisi dangdut bersaing dengan Rhoma Irama.
Di teater dan film, ia pun meresapkan lenong, stambulan, dan wayang. Hidup di kejelataan mengajarkan pula rajin bangun pagi. Ia sering bahagia menanti kemunculan matahari. Pada saat sudah bercap seniman, masa menanti digunakan dengan menulis puisi. Ia mengaku lelaki pukul empat pagi.
Kita mencatat sekian judul dalam garapan bersama Teater Muslim dan Teater Kecil: Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Madekur dan Tarkeni (1974), Umang-Umang (1976), dan lain-lain. Ia pun menggarap film, dari Suci Sang Primadona sampai Pengkhianatan G30S/PKI. Orang-orang cenderung mengingat Arifin C Noer di teater dan film, jarang di sastra. Ia penggubah puisi tapi sulit mendapat perhatian dari para kritikus sastra. Arifin C Noer, bermula dari kejelataan menggarap seni sering bertema protes sosial dan kesewenangan naib bagi kaum jelata. Pada masa sela, ia mengerjakan hal-hal (agak) politis. Situasi seni dan politik masa Orde Baru membentuk anggapan publik ke Arifin C Noer.
Garin Nugroho (2015) mencatat bahwa Arifin C Noer di masa 1990-an “menyesali keputusannya menyutradarai film-film propaganda pemerintah”. Film-film itu berjudul Serangan Fajar (1981), Djakarta 1966 (1982), dan Pengkhianatan G30S/PKI (1982). Ia meminta maaf ke publik tapi kurang tersiar luas. Pengakuan sesalan dan permintaan maaf mula-mula disampaikan ke Goenawan Mohamad dan Putu Wijaya. Di mata penikmat sinema, Arifin C Noer tetap dianggap ampuh dalam film-film bertema keseharian mengandung protes-protes sosial.
Di film, ia pernah mendapat serbuan omelan dan kritik. Di sastra, Arifin C Noer hampir terlupa. Dulu, ia masuk pilihan HB Jassin dalam mengerjakan bungarampai berjudul Angkatan ’66: Prosa dan Puisi (1968). Pada masa 1960-an, Arifin C Noer tercatat sudah menerbitkan buku puisi: Nurul Aini (1963), Siti Aisah (1964), dan Puisi-Puisi jang Kehilangan Puisi (1965). Kesantrian dan protes sosial-politik Arifin C Noer terasa di situ. Ia tekun bergumul dengan religi dan peka atas tatanan sosial-politik amburadul di Indonesia.
Arifin C Noer dalam puisi berjudul “Dalam Langgar” merekam biografi dan zaman: Sekarang tahulah aku bagaimana aku mesti berkata/ dalam ini langgar jang ramah dimana Engkau memberi/ berkah/ istirahat dan damai atas setiap gelisah, gelisahku!/ Setelah berdjalan kesana-kemari tanpa ada jang dilakukan/ terhadap setiap kedjahatan dan segala pengchianatan/ jang tengah meramaikan kota ini siang malam/ Pentjuri-pentjuri jang terang-terangan dan korupsi jang/ dilakukan setiap orang/ disamping ulama-ulama jang tjuma sibuk dengan kata-kata/ dan para demagog lainnja! Tahulah aku/ apa jang mesti aku katakan pada hatiku sendiri/ Kini, disini, sendiri dilanggar ini/ dimana tjahaja bulan menjusup lewat tjelah atap/ menundjukkan noktah-noktah noda pada setiap wadjah. Wadjahku! Dulu, Arifin C Noer membuat seri puisi religius, sebelum mengalami hari-hari melulu teater dan film.
Selama puluhan tahun, September sering mengingatkan kita dengan film “trauma” dan memunculkan nama Arifin C Noer. Kita ingin mengubah itu semua dengan pilihan mengenang Arifin C Noer adalah penggubah puisi. Ia itu lelaki manis dan romantis. Kita menanti saja ada penerbit mau mencetak ulang sekian buku puisi menandai biografi kesastraan Arifin C Noer. Ia telanjur dikenali penulis naskah dan sutradara teater, penulis skenario dan sutradara film, masih jarang dipuji dengan kesastraan. Pada masa getol “beribadah” seni, Arifin C Noer mendapat Anugerah Seni (1971) dan SEA Write Award (1990). Pada 28 Mei 1995, pamitan dengan warisan-warisan manis meski ada sejumput hal disesali. Begitu.