Hari Senin 19 April 2021 (bertepatan dengan 7 Ramadan 1442 H), 76 tahun silam, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menghadap Sang Khalik. Nahdliyin atau pengikut NU pun mengenang kepergian Hadratussyaikh, setidaknya melalui dua momen.
Pertama, malam itu, tanggal 03 Ramadan 1366 H, bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 Masehi. Pukul 21.00 WIB atau jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat tarawih, kemudian dilanjutkan dengan memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo.
Tamu utusan ini mengabarkan kondisi negeri sedang darurat, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun. Utusan ini selain memohon doa keselamatan untuk anak negeri yang sedang berjuang, ia juga berharap Hadratussyaikh memberi petuah.
Selain itu ia juga berharap agar Hadratusyaikh bersedia mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat pernyataan mendukung Belanda. Jika itu terjadi, moral para pejuang akan runtuh. Tetapi Hadratussyaikh kekeh tidak mau meninggalkan sejengkal pun dari Tebuireng, sebab jika ia mengungsi, strategi Belanda untuk meruntuhkan mental pejuang, berhasil.
Kedua, empat hari kemudian, pada tanggal 07 Ramadan 1366 H, pukul 21.00 WIB, datang utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo lagi. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan pada Hadratussyaikh, tak lama berselang, Hadratussyaikh mendapat laporan bahwa kota Singosari Malang sudah jatuh ke tangan Belanda, dan banyak pejuang yang gugur.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim langsung merasa dadanya sesak, gemetar, dan berujar, ”Masyaallah, masyaallah,” sambil memegang kepalanya beliau terhuyung-huyung. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadan 1366 H, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dipanggil Sang Maha Kuasa. Itulah detik-detik kepergian Hadratussyaikh, bahwa sampai detik penghabisan hayatnya pun, kecintaannya pada bangsa Indonesia tak pernah padam dari hatinya.
Tetapi di tengah haru-biru warga nahdliyin memperingati haul ke-76, sebuah buku dua jilid “Kamus Sejarah Indonesia” yang diterbitkan oleh Kemendikbud viral dan sebagai kado “pahit” yang menghentak publik. Buku dengan ketebalan 362 halaman (jilid 1) dan 354 halaman (jilid 2) itu telah menghapus namanya. Anehnya pada cover buku tersebut ditampilkan foto Hadratussyaikh.
Padahal jika melihat tim kreatif penyusunnya, kredibelitasnya tak diragukan. Ada nama besar begawan sejarah Taufik Abdullah, dua pengarah, Hilmar Farid dan Triana Wulandari, serta sejumlah nara sumber yang berkompetan. Pertanyaannya, kenapa Pahlawan Nasional (Kepres No. 249/1964), aktor fatwa jihad yang dijadikan rujukan hari santri Nasional, muasis jam’iyyah Nahdlatul Ulama, nama sepenting itu, justru tak ada bersama deretan nama lain di buku “Kamus Sejarah Indonesia?”
Melalui siaran pers resmi, Kemendikbud mengaku bahwa buku tersebut masih berupa draft, tapi anehnya buku sudah ada di perpustakaan Kemendikbud dan beredar luas di tengah masyarakat, lengkap dengan dua tandatangan Hilmar Farid selaku direktur kebudayaan dan Triana Wulandari selaku direktur sejarah Kemendikbud. Saat pihak personil PBNU bertanya, orang nomer satu di Kemendikbud, Nadiem Makarim, mengelak.
Pak Nadiem melempar masalah ke Pak Muhajir, selanjutnya Pak Muhajir melempar ke Pak Hilmar dan Pak Hilmar ke editornya yaitu Susanto Zuhdi, begitu seterusnya Susanto Zuhdi ke penyusunnya. Maka sudah sewajarnya kerja teledor dan tidak profesional ini mesti membuat klarifikasi lagi. Apalagi di sana tidak juga mencantumkan cucu Hadratusyaikh yaitu Gus Dur, sementara Pak Amin Rais dan Abu Bakar Ba’asyir ada bersama deretan tokoh bangsa lainnya.
Sedikit mengingatkan, jasa-jasa Hadratusyaikh pada republik ini teramat panjang jika hanya ditulis di sini. Beberapa yang perlu disebut pertama, Hadratusyaikh adalah Bapak Revolusi Pendidikan Islam. Dimulai dari Tebuireng, Hadratusyaikh mendirikan pondok pesantren di tengah- tengah masyarakat bromocorah, perampok, pemabok, suka berjudi dan prostitusi, dan asusila.
Di bidang kurikulum dan metode pengajaran, gagasan Hadratusyaikh membongkar kejumudan yang mengkarat. Materi ilmu-ilmu umum sampai metode seminari dimasukkan ke dalam pendidikan Islam bersanding imbang dengan ilmu-ilmu agama. Sementara metode pengajaran ala salaf yang dikenal di kalangan pesantren tetap dipertahankan.
Kedua, Hadratusyaikh adalah nasionalis sejati, meski terkadang pilihan politiknya terkesan melampaui zamannya. Melalui hasil istikharahnya, Hadratusyaikh menerima tawaran kerjasama dari Jepang, di antaranya bersedia menjadi ketua shumubu. Sementara pada saat itu, banyak kiai dan rakyat pernah menjadi korban kekejaman Jepang. Jadi langkah ini dinilai kontroversial.
Jepang saat itu kemudian melunak dan mengambil jalan kooperatif terhadap pribumi lantaran cemas, bahwa suatu hari nanti Belanda akan merebut kembali wilayah yang kini diduduki Jepang. Kecemasan itu terbukti. Forum Internasional di Wina pada 1942 memutuskan bahwa negara-negara sekutu sepakat akan mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang kepada koloni masing-masing.
Landasan logika yang dijadikan pijakan Hadratusyaikh adalah kenyataan bahwa beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda, sehingga mentalitasnya rapuh dan mudah ciut. Dengan didikan dan gemblengan militer dari Jepang, bangsa Indonesia diharapkan memiliki kesiapan mental dengan suasana peperangan. Hal ini menjadi modal untuk kelak merebut kemerdekaan yang sesungguhnya.
Sementara kelompok lain saat itu melontarkan tuduhan bahwa Hadratusyaikh adalah antek kolonialisme dan anti kemerdekaan. Bagi mereka, cara yang tepat merebut kemerdekaan adalah dengan melawan kaum penjajah, tanpa kompromi apapun. Namun nyatanya, langkah politik yang ditempuh Hadratusyaikh berbuah manis, masyarakat pribumi telah mengalami kemajuan yang pesat berkat keterlibatan Jepang.
Ketiga, Hadratusyaikh adalah dalang dibalik tercetusnya ideologi negara. Ketiga suasana politik nasional yang memanas lantaran terjadinya pertentangan kelompok dalam menentukan ideologi negara. Pada sidang BPUPKI 28 Mei-1 Juni 1945, kubu yang didalangi Soekarno dan Soepomo menghendaki negara ini bercorak nasionalis sekuler. Sedangkan kubu yang dikomandoi Muhammad Yamin menginginkan Islam sebagai landasan dasar negara Indonesia.
Kedua kubu ini masih terus saling memaksakan pandangan masing-masing, sehingga nasib Indonesia masih di ambang kesuraman, apakah dijadikan negara sekuler atau negara Islam. Pertentangan tersebut baru reda setelah hadirnya Abdul Wahid Hasyim. Abdul Wahid Hasyim yang sudah menerima gagasan dari ayahandanya, Hadratusyaikh, tampil sebagai penengah dan mempertemukan dua kubu yang bertentangan itu.
Wahid Hasyim saat itu menyampaikan pesan-pesan dari ayahandanya bahwa kondisi sosial politik bangsa Indonesia ketika itu persis dengan kondisi Madinah pada masa Rasulullah. Karena itulah, ideologi negara yang tercantum dalam Piagam Madinah layak untuk dijadikan contoh dalam merumuskan ideologi negara Indonesia.
Keempat. Kadang kala, pihak yang paling mencintai negara adalah rakyat, dan pemerintah seringkali memiliki langkah yang berbeda. Hadratusyaikh bersama kiai pesantren lainnya atas nama hati nurani rakyat mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah untuk melawan tentara sekutu yang berniat kembali menguasai Indonesia. Pada saat yang sama pemerintah lebih memilih jalur diplomatis.
Tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945, Hadratusyaikh menyerukan resolusi jihad yang dicetuskan oleh pendiri Nahdlatul Ulama. Seruan tersebut dilakukan untuk mencegah dan menghalangi kembalinya tentara Kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA.
Saat itu, Hadratusyaikh menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap orang.” Seruan ini membakar semangat para santri Surabaya untuk menyerang Markas Bridge 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Pada pertempuran tersebut, Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari berturut-turut. Pertempuran itu terjadi pada tanggal 27, 28, dan 29 Oktober 1945. Jenderal tersebut tewas bersama pasukannya sebanyak +/- 2.000 pasukan. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan angkatan perang Inggris, yang akhirnya berujung pada Peristiwa 10 November 1945.
Itu sedikit fakta sejarah, dan tak sedikit peneliti asing sudah mempublikasikan penelitiannya. Tetapi anehnya, masih ada anak negeri, bahkan yang mendapat amanah di pemerintahan “membuang” nama penting ini. Meskipun dari pihak keluarga dan masyarakat Nahdliyin, kami yakin tidak begitu peduli dengan penghargaan atau pengakuan dari suatu rezim, tetapi generasi bangsa selanjutnya ini yang membutuhkan kebenaran dan kejujuran sejarahnya.
Jadi, jangan sampai ada yang menganggap bahwa peran penting Hadratusyaikh atas negeri ini, diantaranya Resolusi Jihad dan telah ditetapkan menjadi hari Santri Nasional ini dianggap cerita fiksi dan hanya semacam drama kolosal semata. Bukankah sebuah pepatah mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
Wallahu’alam bishawab.