Sedang Membaca
KUPI-2: Memori Shima, Kalinyamat, dan Kartini yang Menggerakkan
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

KUPI-2: Memori Shima, Kalinyamat, dan Kartini yang Menggerakkan

Whatsapp Image 2022 11 26 At 12.31.53 Pm

Mengapa Jepara jadi tuan rumah Kongres Ulama Perempuan Indonesia ke-2? Pertanyaan yang terlambat jika diutarakan sekarang? Hajatan memang telah usai. Akan tetapi, KUPI-2 yang digelar di UIN Walisongo dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara pada 22—26 November 2022 masih menyisakan rasa, selain refleksi dan catatan-catatan bagi banyak orang. Ibarat pindang serani, kuahnya masih panas, karena baru saja dientas. Mana mungkin bisa move-on secepat itu? Apalagi bagi panitia yang telah bekerja sejak berbulan-bulan lalu, mungkin masih nangis sambil ngeluk boyok (meregangkan tubuh).   

Mengapa Jepara? Nyai Badriyah Fayumi, Ketua Panitia Pengarah KUPI-2 mengatakan bahwa pasangan pengasuh Ponpes Bangsri, Nuruddin Amin dan Hindun Anisah, telah “melamar” menjadi tuan rumah bahkan sejak lima tahun lalu, seusai KUPI-1 tahun 2017. Namun, pemilihan Bangsri Jepara sebagai tuan rumah bukan karena Mas Nung dan Mbak Hindun paling cepat mengajukan diri dibanding pengasuh ponpes lain. Banyak pertimbangan yang lebih naratif/argumentatif daripada sekadar alasan praktis.

Jika mempertimbangkan alasan teknis dan praktis, Jepara mungkin berada di urutan bawah. Kota kecil Bangsri, sejauh 90 kilometer dari Simpang Lima Semarang, tidak mudah dicapai, terutama karena harus melalui banyak jalan berlubang. Kendaraan para peserta kongres tidak bisa jalan ngebut tentunya, selain juga karena harus melewati banyak truk-truk besar yang melaju pelan. Awas… jaga kaki-kaki mobil Anda.

Selain itu, Ponpes Hasyim Asy’ari bukan termasuk pesantren yang sangat besar yang dapat menampung ratusan orang untuk menginap, sehingga tuan rumah pun memutar akal, meminta  warga di sekitar pesantren untuk dapat menampung para peserta/tamu. Kondisi ini berbeda dengan KUPI-1 di Ponpes Kebon Jambu Cirebon, yang meski juga tidak besar namun bertetangga/bersebelahan dengan pesantren-pesantren lain di lingkungan Babakan Ciwaringin sehingga para peserta/tamu dapat tertampung semua, jika mau. Adapun para tamu yang menginap di hotel-hotel di Cirebon, bisa dengan mudah bergerak menuju pesantren karena dekat.

Baca juga:  Perempuan dalam Perspektif Islam dan Psikoanalisis (4): Lelaki Feminin dan Perempuan Maskulin

Dengan kata lain, Jepara dipilih karena alasan yang lebih mudah disetujui secara intelektual. Satu di antaranya adalah pertimbangana sejarah. Kita telah banyak mendengar tiga nama perempuan luar biasa dari Jepara, yakni Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan Raden Ajeng Kartini. Tiga tokoh perempuan tersebut telah diabadikan dalam bentuk patung dan dipajang di perempatan Ngabul Jepara, konon dengan dana APBD Kabupaten Jepara tahun 2016 sebesar 2,5 miliar rupiah.

Membahas problematika terkait perempuan di tempat yang melahirkan tokoh-tokoh perempuan inspiratif, pastilah menjadi sebuah motivasi. Orang luar mungkin tidak akan terikat kuat dengan cerita itu, namun warga setempat akan mengayati sehingga menerima para tamu dengan tangan terbuka. Memori kolektif warga terhadap tiga tokoh perempuan yang meninggalkan jejak baik itu membuat nyaman semuanya, dan pada akhirnya menyatukan semuanya. Apakah karena itu pula maka jajaran pemkab, kepolisian, dan kodim Jepara –yang semuanya laki-laki– hadir semua dalam pembukaan KUPI-2?

Shima, Kalinyamat, Kartini dan Citra Baik   

Ratu Shima merupakan penguasa Kerajaan Kalingga yang lokasinya diyakini berada di daeerah Keling, Jepara bagian timur, sekitar tahun 648 hingga tahun 674, jika merujuk catatan perjalanan musafir Tiongkok, I-Tsing. Beberapa sumber menyebutkan, Kerajaan Kalingga pada mulanya diperkirakan terletak di dataran Dieng Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.  Namun saat ditemukan benda-benda kuno berupa perhiasan kerajaan, termasuk  cincin-cincin cap kerajaan Ratu Shima, di Jepara, maka diyakini bahwa Kerajaan Kalingga teletak di Jepara, bukan di Dieng.

Ratu Shima terkenal akan tabiatnya yang tegas dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Itulah mengapa patung Ratu Shima di perempatan Ngabul digambarkan sebagai wanita bermahkota penguasa kerajaan dan menggenggam keris yang diacungkan tegak lurus.

Baca juga:  Wanita Penyebab Pengangguran?

Perempuan dalam jejak sejarah Jepara yang kedua adalah Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana, puteri Trenggana, Raja Demak (1521-1546). Karena menikah dengan Pangeran Kalinyamat, Retna Kencana pun dipanggil Ratu Kalinyamat saat memerintah. Pangeran Kalinyamat konon adalah  seorang saudagar Cina bernama Win-tang yang berguru pada Sunan Kudus. Namun ada yang mengatakan bahwa Win-tang adalah Pangeran Toyib, putera Raja Kesultanan Aceh, Sultan Mughayat Syah (1514-1528) yang berkelana ke Cina. Saat datang ke Jepara, Win-tang mendirikan Desa Kalinyamat yang kini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan.

Sosok ketiga, yang paling masyhur, adalah R.A. Kartini, kelahiran Mayong Jepara pada 21 April 1879 dan wafat pada 17 September 1904 di Rembang. Kartini inilah tokoh perempuan paling kuat yang membuat Jepara dikenal di seantero dunia. Kartini, yang tanggal kelahirannya diperingati saban tahun itu, sosoknya juga telah ditulis dalam buku-buku, dibahas dalam karya-karya ilmiah, dan difilmkan dalam format layar lebar bioskop.

Hindun Anisah menceritakan betapa tiga perempuan sohor yang namanya tercatat dalam sejarah tersebut  telah menjadi teladan bagi warga Jepara, khususnya kaum perempuan. Dulu, tembok benteng Kerajaan Kalinyamat membentang di beberapa desa, meliputi Purwogondo, Margoyoso, Kriyan, Bakalan, Robayan. Adapun kekuasaan Kerajaan Kalinyamat meliputi Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Mataram. Pada masa Ratu Kalinyamat inilah tradisi ukir mulai diperkenalkan dan dikembangkan. “Kami beserta 250 peserta KUPI-2 telah berziarah ke makam Ratu Kalinyamat dan mengunjungi Museum Kartini,” kata Hindun.

Mengoleksi Memori 

Memori warga Desa Petekeyan, Kecamatan Tahunan, Jepara akan sosok Ratu Kalinyamat tergambar sangat terang, karena di zamannyalah mulai dikenalkan seni ukir kayu. Memori mengenai ratu, sejarah kerajaan, hingga mengukir kayu mereka  koleksi sejak kecil. Informasi mereka dapat dari kakek-nenek, orangtua, tetangga, guru, dan buku-buku. Kini Petekeyan dikenal luas sebagai desa wisata ukir, dengan para perempuan pengukir yang aktif.

Baca juga:  Islam Memuliakan Perempuan, Berikut Penafsiran Al-Qur'an, Hadis, dan Pendapat Para Ulama

Sejarah Kerajaan Kalinyamat dengan ratunya yang tegas dan berdaya telah menjadi memori kolektif warga desa. “Sudah sejak dulu banget, sejak kami belum lahir, ibu-ibu di Petekeyan mengukir kayu. Tidak semuanya dari kami pekerjaan utamanya ngukir. Banyak yang ngukir setelah pulang dari pasar atau di sela-sela kerjaan lain, tapi ngukir sudah jadi kebisaan,” kata beberapa warga Desa Petekeyan sambil mengukir kayu untuk suvenir/dagangan bagi peserta KUPI-2 di Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri.

Warga desa membentuk memorinya sendiri dan menyimpan kenangan setiap zaman dalam kehidupan. Memori itu, sadar atau tidak, terus diproduksi karena hubungan yang terus menerus.  Persis seperti dikatakan Maurice Halbwachs dalam The Collective Memory (1980), memori kita bersifat kolektif karena pada kenyataannya kita tidak pernah sendiri. Memori kita bisa kita panggil kembali lewat orang lain, karena memori yang melekat pada masing-masing individu bisa bervariasi sesuai dengan intensitas pengalaman yang diserap. Ingatan kolektifnya tetap bertahan karena masing-masing individu saling mendukung ingatan itu satu sama lain.

Begitulah, saya memandang bahwa para perempuan Jepara masa kini tidak terlepas dari inspirasi Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini yang terekam dalam memori. Nilai-nilai dan norma-norma perilaku baik dari mereka kemudian direpetisi. Ditambah dengan hajatan akbar KUPI-2 yang merangkul lebih dari 100 UMKM berbasis perempuan di Jepara, pesan keberdayaan perempuan makin menggerakkan langkah. Hasil-hasil musyawarah keagamaan dan rekomendasi-rekomendasi penting KUPI-2 mejadi motivasi besar untuk keberlanjutan peran perempuan dalam kehidupan sosial.

Jika benar bahwa memori itu menggerakkan, dan memori kolektif yang baik mampu menghimpun banyak orang untuk bergerak bersama, mari kita ukir memori. Kok jadi terkesan romantis, ya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top