
Dalam film “Mission: Impossible-Final Reckoning”, ancaman utama yang harus dikalahkan oleh Ethan Hunt bukan lagi kekuatan militer, negara adidaya, atau jaringan intelijen, melainkan sesuatu yang jauh lebih abstrak dan absolut: sebuah entitas kecerdasan buatan bernama “The Entity”.
Ia bukan sekadar mesin, bukan pula algoritma pencarian. Ia adalah akal imitasi—sebuah sistem kesadaran artifisial yang mampu menyerap, memanipulasi, dan menduplikasi seluruh struktur realitas manusia. Bukan hanya jagat maya yang terancam, tetapi juga sejarah, identitas, kebudayaan, dan bahkan spiritualitas manusia.
“The Entity” dalam film itu tidak bekerja dengan kekerasan fisik. Ia hadir sebagai kekuasaan epistemik yang mampu mengacak realitas, menciptakan simulasi yang meyakinkan, dan pada akhirnya membuat manusia kehilangan kemampuan membedakan yang palsu dari yang asli.
Dalam konteks dunia hari ini, “The Entity” adalah alegori dari kekuatan global yang tengah bekerja di balik layar teknologi: kecerdasan buatan, algoritma media sosial, dan kapitalisme data. Dunia bukan lagi tentang apa yang nyata, melainkan tentang apa yang tampak meyakinkan.
Jean Baudrillard menyebut ini sebagai era simulacra: ketika tanda-tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada kenyataan, tetapi saling meniru hingga menciptakan hiperealitas. Maka, akal imitasi bukan hanya cerdas, ia juga berbahaya. Ia memproduksi kebenaran semu, sejarah yang dimanipulasi, dan spiritualitas yang dikomodifikasi. Dan di tengah semua itu, manusia seperti kehilangan poros: tak lagi tahu harus percaya pada siapa, pada apa, dan untuk apa.
Religiositas sebagai Citra
Indonesia tidak berada di luar pusaran itu. Dalam lanskap sosial-kultural kita hari ini, dampak dari akal imitasi terasa nyata. Berbagai ekspresi budaya lokal disalin dan dipasarkan tanpa konteks.
Ritual keagamaan berubah jadi tontonan media. Nilai-nilai kepercayaan leluhur dijadikan merek dagang. Bahkan, praktik religiusitas pun mengalami transformasi menjadi komoditas digital. Dari ustaz seleb, konten dakwah viral, hingga khutbah yang disponsori brand, semua mengindikasikan pergeseran: dari iman sebagai pengalaman transendental menjadi iman sebagai performa sosial.
Religiositas yang lahir dari laku batin dan hubungan mendalam dengan Yang Ilahi, kini lebih sering hadir sebagai citra. Di tengah banjir informasi dan logika algoritmik, keberagamaan pun menjadi terseret ke dalam arena imitasi.
Kita lebih mudah percaya pada konten yang viral daripada pada pengalaman spiritual yang sunyi. Kita lebih tergerak oleh ceramah yang bombastis ketimbang laku religius yang reflektif. Bahkan, simbol-simbol agama kerap dijadikan penanda identitas politik, ekonomi, hingga gaya hidup.
Dalam suasana ini, peran kebudayaan menjadi genting. Kebudayaan bukan hanya ekspresi seni, melainkan sistem nilai, memori kolektif, dan cara manusia memahami eksistensinya. Namun ketika budaya diubah menjadi konten—diproduksi demi kecepatan, viralitas, dan daya jual—maka ia kehilangan kekuatannya sebagai penanda makna.
Tari tradisi ditampilkan di mal hanya untuk hiburan. Musik ritual di-remix agar bisa masuk playlist. Bahasa ibu dijadikan bahan lelucon di TikTok. Kita tidak sedang melestarikan budaya, kita sedang mengimitasinya.
Dalam konteks ini, akal imitasi bekerja sebagai bentuk kekuasaan baru yang melampaui batas politik konvensional. Ia tidak menghapus memori budaya secara frontal, melainkan mengacaknya perlahan melalui penggandaan simbol, pembelokan makna, dan pengalihan perhatian.
Kita disodori ribuan citra setiap hari, tapi makin kesulitan membedakan mana yang sakral, mana yang profan. Dan ketika makna menjadi kabur, maka peradaban pun mulai kehilangan pijakan.
Religiositas dalam masyarakat Indonesia selama ini memainkan peran besar dalam menjaga struktur makna. Tapi bahkan itu pun kini terancam.
Ketika segala sesuatu harus tampil di layar, maka yang sunyi, yang kontemplatif, yang tidak visual menjadi tersisih. Tradisi lisan, doa pribadi, dan kebijaksanaan lokal yang tidak bisa ditayangkan di media kehilangan relevansinya. Kita terjebak dalam dunia yang menghargai yang bisa di-klik, bukan yang bisa dirasakan.
Kesadaran Post-Imitasi
Lantas, bagaimana kita merespons? Apakah kita harus menolak teknologi? Tentu tidak. Penolakan justru menjebak kita dalam romantisme palsu.
Yang kita perlukan adalah kesadaran post-imitasi: kesadaran bahwa kita hidup di dunia tiruan, namun tetap memilih untuk merawat makna secara otentik. Ini bukan soal mundur ke masa lalu, tapi soal membangun nalar kultural yang mampu menyaring, membaca, dan melawan kekuasaan akal imitasi.
Kita perlu membangun kembali relasi yang hidup dengan tubuh, ruang, dan waktu. Seni pertunjukan berbasis tubuh—seperti tari, teater, dan ritual—harus dirawat bukan karena estetikanya, tapi karena di sanalah tubuh manusia menjadi arsip hidup yang tak bisa ditiru mesin. Bahasa ibu harus diajarkan bukan sebagai kewajiban kurikulum, tapi sebagai cara menghidupkan kembali dunia batin yang terlupakan. Tradisi spiritual perlu dihayati sebagai pengalaman eksistensial, bukan sekadar formalitas simbolik.
Pendidikan budaya menjadi titik kunci. Literasi hari ini bukan hanya soal kemampuan membaca teks, tapi membaca konteks: mengenali pola-pola manipulasi, membedakan mana yang otentik dan mana yang simulasi.
Pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kritis dan empati, bukan sekadar keterampilan teknis. Kita tidak butuh manusia yang sekadar cakap memakai gawai, tapi yang mampu mempertanyakan untuk apa teknologi itu digunakan.
Dan yang paling penting, kita perlu membangun ruang-ruang spiritual yang otentik: ruang yang memungkinkan manusia mengalami kesunyian, bertemu dengan dirinya sendiri, dan menyadari keterhubungan dengan dunia yang lebih besar.
Di tengah gegap gempita simulasi, spiritualitas bisa menjadi penawar. Tapi bukan spiritualitas yang dijual dalam paket tiga hari dua malam, melainkan spiritualitas yang lahir dari luka, ketidaktahuan, dan kerinduan.
Akhirnya, misi kita sebagai bangsa bukan sekadar mempertahankan budaya sebagai warisan, tapi sebagai jalan pulang menuju kemanusiaan yang utuh. Dalam dunia yang semakin tiruan, menjadi manusia yang sungguh-sungguh adalah tindakan paling revolusioner. Dan dalam dunia yang kehilangan makna, memilih untuk percaya—bukan pada citra, tapi pada yang sunyi dan tak kasatmata—adalah bentuk tertinggi dari keberanian spiritual.
Inilah misi kita. Sebuah misi yang, seperti dalam film itu, tak pernah benar-benar selesai. Tapi justru karena itu, ia harus terus diperjuangkan: demi kebudayaan yang hidup, demi religiositas yang otentik, dan demi kemanusiaan yang tidak mudah ditiru.
Asli, ini artikel yang bikin mikir tapi tetap santai bacanya. Kayak obrolan sehari-hari di Kanal.id, tempat nongkrong online yang seru banget.