“Dulu ketika saya masih sekolah, saya ingin sekali menjadi dokter. Belajar adalah hal yang sangat saya sukai. Tapi, sekarang saya tidak tahu ke depannya seperti apa.”
Pengakuan Nada terdengar getir. Ia tak pernah membayangkan akan menjalani kehidupan yang kelam di kamp pengungsian Al-Hol. Dulu, ia adalah anak yang aktif di sekolah. Sama dengan mayoritas remaja Indonesia lainnya, ia berharap setelah lulus SMA akan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dan menggapai apa yang ia cita-citakan. Namun, keputusan ayah Nada, Aref Fedulla mengubah segalanya.
Aref mengorbankan banyak hal, dari uang, rumah, hingga properti, demi mewujudkan cita-cita utopia hidup mapan di Islamic State atau daerah yang dikuasai kelompok teroris ISIS, di sana ia ditawarkan bahwa ISIS akan menjamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya: sandang, pangan, papan hingga jaminan sosial. Semangat berapi-api untuk menjalani hidup secara kaffah sebagai seorang muslim yang baik di tanah baru membuatnya tak segan-segan membujuk anak-anak dan ibunya untuk turut serta. Ia bahkan berhasil membuat Nada tergerak untuk mengiyakan ikut dengannya. Ia berjanji pada putrinya bahwa di wilayah Islamic State, ia akan bisa melanjutkan kuliah kedokteran. Cita-cita Nada masih dapat terwujud, meski mereka meninggalkan Indonesia, begitu janji Aref pada Nada yang kini tinggal kenangan.
Alih-alih bisa dengan suka cita menimba ilmu, untuk mendapatkan air saja di Suriah, nyatanya Nada dan keluarga harus antri berjam-jam lamanya. Pun terkadang, ia perlu mengeluarkan uang lebih karena pasokan air sangat terbatas. Keadaan terhimpit yang dialami Nada sejatinya adalah efek domino dari propaganda hampa yang ditawarkan ISIS. Setelah sampai di wilayah yang disebut-sebut sebagai tanah suci, Nada dan keluarganya justru tidak menemukan ‘surga dunia’ yang mereka impikan, yang terlihat di jalan-jalan hanyalah padang tandus yang diwarnai oleh pembantaian brutal yang dilakukan oleh gerilyawan ISIS.
Lebih dari 70.000 orang keluarga petempur ISIS seperti Nada kini harus menelan pil pahit atas keputusan fatal yang mereka ambil. Malang tak dapat ditolak, mereka bagai memakan buah simalakama. Tak bisa melakukan apa-apa. Di negara asalnya, mereka ditolak mentah-mentah karena dikhawatirkan akan membawa paham radikal. Sementara, bertahan di pengungsian juga tidak ada gunanya karena fasilitas yang ada sangatlah tidak layak untuk bertahan hidup. Kini, disebabkan oleh kekalahan petempur ISIS beberapa tahun lalu, banyak eks kombatan dan keluarganya terlunta-lunta di tenda-tenda pengungsian tanpa adanya kepastian bisa pulang. Kondisi tersebut membuat Nada dan neneknya kini hanya bisa berharap bahwa ke depannya pemerintah Indonesia membuka pintu untuk mereka kembali dan melanjutkan kehidupan baru di tanah air.
Dan sayangnya, setelah dua kejadian terakhir, yakni bom bunuh diri di Makassar dan di Mabes Polri. Kepulangan Nada dan keluarga Indonesia untuk segera menghidup udara bebas di Indonesia tampaknya akan semakin sulit terealisasi. Tanpa kepulangan mereka saja, pengikut ideologi ISIS di Indonesia sudah tak lagi mengenal rasa takut untuk beraksi. Bisa dibilang, gerakan mereka kini tak perlu lagi menunggu komando dari atas. Sifatnya: mandiri, dengan peralatan seadanya, tapi yang penting tujuan teror tercapai. Tak masalah mati bunuh diri karena itu diasumsikan sebagai jalan mulia untuk mencapai surgaNya. Dengan membabi buta menyitir ayat tanpa mempelajarinya secara benar, mereka salah satunya mengutip QS al Anfal: 39 yang diartikan sebagai anjuran memerangi orang-orang yang tak sejalan dengan ideologi mereka:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
(Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya kepatuhan semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.)
Padahal konteks ayat itu sendiri bukan mengarah pada realita saat ini, namun mengacu pada sejarah Rasul yang diperangi oleh Kaum Musyrik. Pun, ketika diberikan izin membalas tindakan jahat mereka, syarat-syarat perlawanan ditetapkan secara ketat, tidak sembarangan.
Sayangnya, nafsu dan ego melihat diri menjadi paling mulia melalui jalan pintas menggelapkan para pelaku teror untuk melihat makna dan hikmah dalam ayat-ayat suci Al Quran secara jernih. Dikuasai ideologi sesat yang menganggap perbuatan mereka adalah misi suci dalam rangka jihad fii sabilillah, mereka mengupayakan segala cara, termasuk berbohong dan menipu kepada orangtua atau keluarga yang tidak memiliki pemahaman sama. Seperti yang dilakukan oleh Aref Fedulla kepada anggota keluarganya yang kini harus menanggung derita akibat ajaran radikal yang tertanam kuat dalam dirinya.