Suatu hari di Istana Kesultanan Utsmani di Istanbul, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II.
Seorang pelayan istana terdekat sultan mengetuk pintu ruangan khusus bengkel junjungannya. Sultan Abdul Hamid II terkenal sebagai sultan yang memiliki kesukaan bertukang (membuat produk perabotan berbahan kayu). Saat itu, sultan tampak sedang menghimpun lidi pelapah pohon kurma yang sudah kering.
“Maaf, Daulat Paduka sedang membuat apa?” tanya pelayan itu.
“Sapu,” jawab sang Sultan datar, sambil tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya.
“Sapu? Kenapa Daulat Paduka membuat sapu?” lanjut pelayan itu penasaran.
Sang Sultan diam, tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Kenapa Daulat Paduka tidak menyuruh pelayan istana lainnya utuk membuatkan sapu ini?” sambung si pelayan.
“Apakah engkau memandang remeh pekerjaan membuat sapu?” kata sang Sultan balik bertanya.
“Mohon maaf atas kelancangan hamba, Daulat Paduka,” si pelayan segera meminta maaf.
“Tentu saja, jika Daulat Paduka yang membuat, sapu ini sangat istimewa,” lanjut si pelayan.
“Ya, saya membuat sapu ini untuk orang yang sangat istimewa, dan akan diantarkan ke tempat yang paling istimewa,” jawab sang Sultan.
“Ke manakah gerangan Daulat Paduka?”
“Ke Madinah Munawwarah, ke makam Kanjeng Nabi Muhammad, shallalllaahu ‘alaihi wa sallam,” jawab Sultan lirih.
Si pelayan terperanjat bukan kepalang.
“Ini salah satu caraku mengungkapkan kecintaanku kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Aku ingin menjadi pelayannya,” lanjut sang Sultan.
“Pasha, andai saja aku bisa memilih takdir, aku lebih memilih menjadi tukang sapu makam Kanjeng Nabi Muhammad daripada menjadi sultan. Aku merasa bahagia setiap hari bisa berada di dekat makam Beliau, membersihkan dan menyapu makam beliau, melakukan shalat dan ibadah lainnya di raudhah masjid Beliau. Tapi aku tak bisa. Karena itu, paling tidak, aku membuatkan sapu-sapu ini dengan tanganku sendiri. Sapu-sapu ini aku kirim ke Masjid Nabawi di Madinah, dan dipergunakan untuk membersihkan komplek makam Beliau dan juga masjid beliau. Aku ingin datang ke hadapan beliau sebagai ummat dan hamba beliau yang rendah, bukan sebagai sultan dengan segala kadigdayaan dan ketinggiannya,” pungkas sang Sultan.