Sedang Membaca
Filsafat Pacul Sunan Kalijaga: Menata Tanah, Menata Kesadaran
Alfi Saifullah
Penulis Kolom

Alumnus Ponpes Manbaul Ulum Batu. Penulis Kolom dan Buku Biografi, salah satunya "Raden Panji Iskandar Sulaiman: Jejak-jejak perjalanan santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari". Tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Instagram: saif.ullah1090.

Filsafat Pacul Sunan Kalijaga: Menata Tanah, Menata Kesadaran

filsafat pacul sunan kaliaga

Suatu hari, Kanjeng Sunan Kalijaga melewati area pesawahan. Ia menemukan pemandangan ganjil, seorang petani menggarap sawahnya menggunakan sebatang linggis. Karena penasaran, Kanjeng Sunan bertanya, berapa hari waktu yang kisanak perlukan untuk mengerjakan satu petak tanah ? Satu bulan Den, jawab petani itu singkat. Sambil mendekati petani, Kanjeng Sunan bertanya kembali, maukah engkau kuberi sebuah alat dimana kamu dapat mengerjakannya dalam waktu satu minggu? Petani itu menjawab dengan lugu, Mau Den. Alhasil beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga memberinya cangkul atau pacul yang kita kenal sekarang. (Umar Hasyim, 1974) Dalam banyak versi, petani tersebut merupakan Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir, leluhur raja-raja Dinasti Mataram Islam.

Tentu, ini bukan kisah tentang awal mula penemuan pacul. Tidak. Faktanya para arkeolog menemukan alat sejenis pacul telah digunakan sejak zaman neolitikum, hingga tersebar di banyak peradaban kuno seperti Mesir. Bahwa menurut primbon milik Prof. Dr. KH. R. Adnan, Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang mengembangkan alat-alat pertanian adalah fakta lain. Sunan Kalijaga telah memodifikasi, memberi sentuhan filosofi, juga nilai-nilai spirit pada pacul. Kisah Sunan Kalijaga memberi sekaligus mengajari penggunaan pacul kepada Ki Ageng Selo bukan sekadar peristiwa, tetapi tentang metafora kehidupan. Dua gerak utama dalam mencangkul―ngebruk dan mbedeng―menjadi simbol penyucian jiwa, harmonisasi hidup dan pentingnya bersandar kepada Sang Pencipta. Sebuah tangga awal dalam pendakian spiritual.

Ngebruk:  Sebuah Jalan penyucian Jiwa

Gerakan pertama dalam mencangkul adalah ‘ngebruk’menggali, mengeduk, membalikkan dan membersihkan tanah dari gulma serta hama yang mengganggu. Secara literal, ngebruk terambil dari kata ambruk yang memiliki arti, rubuh (roboh), niba (jatuh), dan masrah (pasrah). Ngebruk merupakan simbolisasi proses penyucian jiwa, dengan kata lain taubatan nasuha. Penyucian ini merupakan fase pertama di semua Tarekat manapun―sehingga timbul trilogi, takhalli, tahalli dan tajalli.

Dus, dalam tanah kehidupan kita acapkali membiarkan segala sesuatunya stagnan, meski dipenuhi semak belukar dan rerumputan liar nafsu. Sehingga jiwa menjadi keras, kering, dan kehilangan vitalitasnya. Seperti tanah yang harus diolah kembali―dibalik agar mendapat udara dan nutrisi baru―dibersihkan dari hama yang merusak agar kembali subur, begitu juga halnya dengan jiwa. Rumput liar berupa kebencian, kesombongan, dan keserakahan harus dicabut hingga sampai ke akar-akarnya.

Baca juga:  Gus Dur, HAM, dan Kontekstualisasi Pemikiran Keagamaan

Karenanya, Ngebruk tidak sekadar aktivitas fisik. Lebih dari itu, sebuah dorongan untuk mengkoreksi diri, menggali apa yang telah kita biarkan tumbuh tanpa kendali. Ngebruk menjadi sebuah fase spiritual. Sebuah proses yang mengajarkan bahwa nihil adanya perbaikan tanpa keberanian membalikkan tanah diri dan membebaskannya dari hal-hal yang tidak perlu, bahkan yang mengganggu. Dengan begitu, tanah diri siap menerima hikmah baru, dan siap ditanami kebaikan.

Mbedeng: Sebuah Harmonisasi Hidup

Setelah tanah dibersihkan dan diolah, langkah selanjutnya adalah ‘mbedeng’meratakan tanah agar bisa dialiri air secara merata. Air harus bisa mengalir dengan adil, memberi kehidupan secara merata. Apabila selanjutnya menanam padi tinggal memberi garis-garis area tanam, sebaliknya bagi sayuran tinggal membentuk tanah menjadi guludan memanjang. Lagi-lagi ini bukan soal agronomi, mbedeng berbicara tentang filosofi hidup. Tentang sikap tawazun―pola hidup yang seimbang. Hidup moderat. Seperti teori Yin-Yang dalam Taoisme, dalam Islam keseimbangan menempati inti dari segalanya.

Keseimbangan bukan urusan duniawi-ukhrawi saja, tetapi melibatkan akal yang berhadapan dengan perasaan. Intelektual versus spiritual. Kerja versus istirahat. Kepentingan diri versus kepentingan umum. Karena itu, manusia harus bersikap eksaminatif terhadap diri, memastikan bahwa kehidupannya tidak timpang. Sebab ritme dunia acapkali bergerak liar, menyeret manusia condong ke salah satu sisi secara ekstrem―seperti beribadah tanpa kepekaan sosial, bekerja tanpa istirahat, mencintai tanpa logika dan membenci tanpa alasan yang cukup.

Baca juga:  Mengenang Setahun Kepergian Gus Im, Adik Gus Dur Itu

Layaknya tanah yang diratakan agar kelak tanaman bisa dijangkau air secara merata, pun hidup harus diatur sedemikian rupa agar semua aspek mendapatkan porsi yang cukup. Hidup yang condong ke salah satu sisi layaknya tanah yang tidak rata; mudah longsor. Keseimbangan adalah memastikan tak ada hal yang terabaikan, bahwa semuanya perlu menempati posisinya masing-masing secara adil dan merata.

Ngeker Doran: bersandar kuat kepada Sang Ilahi

Betapapun kita harus ngebruk dan mbedeng dalam tanah kehidupan masing-masing, leluhur Jawa selalu berpesan, ‘Yen macul, cekelen dorane kelawan caket’ (apabila mencangkul, peganglah doran dengan erat). Yang dipegang adalah doran, bukan bawak. Ini mengisyaratkan bahwa doa dan bersandar kepada Tuhan harus diutamakan daripada mengandalkan kemampuan diri yang cenderung naif.

Memegang erat doran menjadi pengingat, bahwa di luar rencana dan usaha, ada kekuatan Sang Maha Perkasa yang harus dijadikan sandaran. Ada batas dalam setiap usaha manusia. Karena itu, setiap kerja keras harus menyisakan ruang pasrah―membiarkan ‘tangan Tuhan’ bekerja dengan mekanisme dan hukum-hukum yang selalu tidak bisa kita pahami. Dan doa adalah bagian kecil dari kesadaran―tentang hakikat usaha manusia yang tak lebih anugerah dari Sang Maha Hidup. Seperti pacul yang butuh pegangan, hidup pun butuh sandaran―bukan untuk menghindari tanggung jawab, tetapi menerima bahwa setelah semua dilakukan, ada saatnya menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Baca juga:  Ustaz Tionghoa Ini Ingin Hubungan Antaragama Rukun Selamanya

Dus, mencangkul bukan hanya tentang aktivitas, ia adalah serangkaian proses yang mengajarkan kita banyak hal. Dari ngebruk kita belajar membersihkan diri. Dari mbedeng kita belajar keseimbangan. Dari ngeker doran kita belajar tentang kepasrahan. Dan pada akhirnya, hidup bukan perkara menanam dan menuai. Setiap orang dalam kapasitas dan caranya masing-masing sedang mencangkul tanah kehidupannya; menggali, membersihkan, menata, dan memasrahkan kepadaNya. Karena orang bijak tahu, setiap inci tanah harus dipersiapkan dengan baik agar tanaman yang dihasilkan adalah tanaman kebajikan.

Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur seizin Tuhannya. Adapun tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami jelaskan berulang kali tanda-tanda kebesaran Kami bagi orang-orang yang bersyukur. (QS Al-A’raf: 58). Wallahu a’lam.

 

Bahan Bacaan :

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Kementerian Agama.

Chodjim, Achmad (2013), Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Jakarta: Serambi.

Hasyim, Umar (1974), Sunan Kalijaga, Kudus: Menara Kudus.

Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, (2005), Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), Yogyakarta: Kanisius.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
0
Senang
4
Terhibur
1
Terinspirasi
5
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Dari ngebruk kita belajar membersihkan diri. Dari mbedeng kita belajar keseimbangan. Dari ngeker doran kita belajar tentang kepasrahan.

    Terimakasih Pak atas ilmunya. Minta keberkahan nya🙏

Komentari

Scroll To Top