Sedang Membaca
Mengenal Tradisi Bahtsul Masail di Lingkungan NU
Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Mengenal Tradisi Bahtsul Masail di Lingkungan NU

Wejangan Kiai Maemun, Agar NU Luwes dengan Pemerintah 2

Diskursus keagamaan, terutama fikih, dalam organisasi Nahdlatul Ulama mendapatkan ruang yang cukup besar. Persoalan-persoalan keagamaan (meski tidak selalu berupa kajian fikih) dibahas dalam sebuah forum Bahtsul Masail Ad-Diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah “bahtsul masail”.

Dilihat dari Anggaran Dasar NU, munculnya forum bahtsul masail dilatari atas dasar kebutuhan masyarakat (Nahdliyin) tentang persoalan-persoalan yang berkembang dan membutuhkan jawaban keagamaan. Dari persoalan-persoalan yang mengemuka tersebut kemudian direspons melalui musyawarah di kalangan intelektual dan kiai-kiai NU.

Forum bahstul masail ini pada gilirannya menjadi wadah untuk merawat tradisi intelektual di tubuh NU dalam merespon dan menjawab berbagai persoalan yang membutuhkan jawaban hukum.

Tradisi bahstul masail sudah berlangsung sejak lama di kalangan pesantren, bahkan sebelum NU sebagai organisasi resmi didirikan (1926). KH. MA Sahal Mahfudh, dalam pengantar buku Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam mengatakan bahwa secara historis forum bahtsul masail telah ada sebelum Nahdlatul Ulama berdiri.

Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima` Nahdlatul Oelama).

Baca juga:

Setelah berdirinya NU (31 Januari 1926) bahtsul masail secara resmi menjadi bagian dari kegiatan organisasi. Tercatat, beberapa bulan setelah berdiri, bahtsul masail masuk dalam rangkaian acara Muktamar NU I yang diselenggarakan pada tanggal 21-23 Oktober/13-15 Rabius Tsani 1325 H di Surabaya (Rumadi).

Baca juga:  Ajaran Dinasti Surya tentang Sang Hyang Nistemen

Sementara Ahmad Zahro dalam riset disertasinya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya berjudul “Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama 1926-1999 (Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih)” mengatakan:

Kegiatan bahs al-masail telah ada sejak Kongres/Muktamar ke I (1926) yang sebutannya melekat pada event tersebut, tanpa memiliki nama tersendiri. Berdasarkan rekomendasi Muktamar ke XXVIII (Yogyakarta, 25-28 Nopember 1989) dan halaqah Denanyar, Jombang (26-28 Januari 1990), PBNU dengan Surat Keputusan Nomor 30/A.I.05/5/1990 membentuk “Lajnah Bahtsul Masail Diniyah” sebagai lembaga permanen yang menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk menangani persoalan keagamaan dengan melakukan “Istinbat jamaiy”

Terhitung sejak berdirinya NU, kegiatan Bahstul Masail dalam forum-forum resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terus berjalan meski tidak ada lembaga khusus yang menanganinya. Kemudian dalam Muktamar NU XXVIII di Yogyakarta pada tahun 1989 merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah sebagai lembaga khusus yang menangani persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Rekomendasi ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan PBNU No. 30/A.I.05/5/1990 yang berisi tentang pembentukan Lajnah Bahtsul Masail Diniyah (Rumadi).

Ahmad Zahro menulis:

Lajnah Bahtsul Masail (Lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) adalah salah satu lembaga dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang menghimpun, membahas dan memutuskan permasalahan yang menuntut kepastian hukum yang dalam bidang fiqih mengacu kepada mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Lajnah (lembaga) ini dibagi menjadi dua sub-komisi, yaitu: Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah (pengkajian masalah-masalah keagamaan konseptual).

Merujuk pada Anggaran Rumah Tangga NU hasil Muktamar NU ke-33, “Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama” (LBMNU), bertugas membahas masalah-masalah maudhuiyyah (tematik) dan waqiiyyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Meskipun dalam praktiknya kemudian berkembang membahas persoalan-persoalan qanuniyyah (perundang-undangan).

Baca juga:  Ketika Nabi Bersama Pengidap Penyakit Menular

Dengan demikian, hasil-hasil yang diputuskan dalam forum Bahtsul Masail merupakan hasil keputusan resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu sendiri.

Lembaga Bahstul Masail NU sebagai lembaga yang menangani kegiatan Bahstul Masail berada di bawah arahan dan instruksi dari jajaran Syuriah (salah satu struktur di organisasi yang memiliki otoritas tertinggi). Persoalan-persoalan yang diangkat dalam forum bahstul Masail hingga proses kegiatannya berada di bawah pengawasan jajaran Syuriah.

Sementara para pesertanya adalah para kiai-kiai dan cendekiawan baik yang berada di struktur organisasi atau perwakilan lembaga maupun tokoh agama dan kiai-kiai pesantren. Dari sini dapat dimengerti bahwa pembahasan di forum bahstul masail bukan sembarang pembahasan biasa, melainkan pembahasan ilmiah yang diikuti oleh kiai-kiai yang memiliki kompetensi di bidang keagamaan yang mumpuni.

Tidak hanya itu, di pesantren-pesantren di Jawa khususnya, para aktivis bahstul masail mendapatkan tempat istimewa di kalangan para santri. Mereka terbiasa menghabiskan waktunya selama berhari-hari hanya sekadar untuk mencari referensi dari kitab-kitab kecil hingga yang tebal berjilid-jilid (sekarang bergiga-giga).

Dari sini kita menjadi mafhum bahwa orang-orang yang terlibat dalam Bahstul Masail adalah orang-orang terpilih. Jangankan orang-orang awam, para santri yang belajar bertahun-tahun sekalipun belum tentu bisa mengikuti dan memahami alur pembahasan yang dikaji di forum ini.

Baca juga:  Perempuan, Kitab Kuning, dan Kiai Husein Muhammad

Hingga tiba sebuah masa di mana orang-orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni kemudian mencibir hasil keputusan bahstul masail. Orang-orang seperti ini saya kira paham akan kapasitas dirinya. Hanya saja kebencian dan kepentingan-kepentingan terselubungnya menggerakkan tangan dan mulut mereka untuk mengomentari sesuatu yang tidak ia pahami.

Mereka ini, seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali, termasuk salah satu dari dua kategori Rajulun la yadri wa yadri annahu la yadri” (orang yang tidak mengerti sesuatu (baca:awam), akan tetapi ia sadar bahwa dirinya tidak paham. Atau kategori Rajulun la yadri wala yadri annahu la yadri (orang awam sekaligus ia tidak paham bahwa dirinya awam). Untuk kategori yang kedua ini dalam istilah lainnya adalah jahil murakkab alias kobodohan yang bertumpuk-tumpuk!

Semoga kita semua terhindar dari dua kategori tersebut. Aamiin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top