Satu hal pokok yang kerap dikesampingkan dalam kehidupan keberagamaan adalah isu lingkungan. Tentu tak salah khotbah-khotbah yang digaungkan di mimbar-mimbar melulu mengajak umat agar senantiasa meningkatkan ketakwaan, getol beribadah, dan seterusnya. Tetapi juga jangan lupa, tanpa lingkungan yang baik umat tak ‘kan tenang dan khidmat beribadah. Kemarahan sementara umat karena rumah ibadahnya ditutup, kegiatan dakwahnya dibatasi adalah bukti yang sangat bagus.
Ulul amri kita, yakni para otoritas di bidang kesehatan dan lingkungan telah banyak menyodorkan fakta. Antara lain, bahwa virus yang sama-sama kita yakini sebagai takdir Tuhan itu, tidaklah muncul ke tengah-tengah kita secara tiba-tiba. Jangan bayangkan Tuhan menabur benih-benih Covid-19 dari langit seenteng petani menebar bibit atau rabuk di hamparan sawah. Sama sekali tidak. Semuanya itu tak lain adalah segelintir ekses-ekses kejahatan ekologis yang barangkali tanpa sadar telah diberlangsungkan sejak bertahun-tahun.
Sanusi, Peneliti Ekologi Manusia di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, dalam artikelnya “Ketika Lingkungan Merespon Manusia: Sebuah Kontemplasi Pandemi COVID-19”, merangkum banyak data yang menunjukkan betapa Pandemi yang kita hadapi saat ini erat kaitannya dengan interaksi tak sehat antara manusia dengan alam atau lingkungan. Ia menerangkan:
“Ketika manusia bergerak semakin jauh ke habitat hewan liar untuk menebangi hutan, berburu, memeliharanya sebagai hewan ternak, dan mengambil sumber daya alam lainnya, maka manusia akan semakin cepat terpapar patogen (Deutsche Welle, 2020). Pada dasarnya patogen tidak bergerak meninggalkan tempat-tempat dimana mereka selama ini hidup. Namun semakin dekat manusia dengan habitat hewan liar maka semakin besar potensi manusia terpapar virus yang bersumber dari hewan-hewan liar tersebut.”
Mendahului hal itu, Matthew Burton, Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia, dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Covid-19 and Our Relationship with Wildlife”, sebagaimana diwartakan Nursastri lewat artikelnya di Kompas.com dengan tajuk “Bukan Kebetulan, Virus Corona Muncul Akibat Ulah Manusia”, mengungkapkan, “Bukanlah kebetulan kalau kerusakan ekosistem berkaitan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah penyakit menular. Ekosistem yang utuh memberikan perlindungan terhadap manusia. Penyakit menular baru seringkali disebabkan oleh kerusakan ekosistem alam dan perubahan aktivitas manusia.”. Ia mencontohkan bahwa penebangan liar di hutan Amazon meningkatkan prevalensi penyakit malaria secara siginifikan.
Dalam kesempatan yang sama, Joko Pamungkas, Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Peneliti PSSP-IPB, juga memaparkan, “Antara lain deforestasi, perubahan industri pertanian, degradasi habitat, dan fragmentasi habitat. Semuanya mendekatkan satwa liar pada manusia. Ini berkaitan dengan naluri mereka untuk bertahan sehingga menginvasi lingkungan lain dan pemukiman,”.
Demikian, paparan dari otoritas bidang dan lingkungan tersebut cukup kiranya untuk menegakkan kesadaran kolektif umat untuk kian peduli lingkungan. Dengan data-data itu pula, keyakinan kita semakin mantap. Maha Benar Allah dalam firman-Nya QS. al-Rum: 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Di saat yang sama, umat beragama, khususnya umat Muslim, memiliki tanggung jawab ekologis yang lebih besar dibandingkan kalangan yang hanya berpijak pada sains atau realita di lapangan. Pertama, seperti telah disinggung di awal, karena kehidupan beragama tak akan pernah stabil manakala keselamatan lingkungan belum terjamin. Kedua, baik dalam firman maupun sabda, manusia ditekankan untuk bertanggung jawab atas lingkungan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tugas manusia sebagai mandataris-Nya di bumi.
Kita dapat membaca antara lain dalam Qs. al-A’raf: 56. “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Seusungguhnya rahmat Allah dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”.
Secara lebih spesifik, sebuah riwayat yang tersurat dalam al-Muwattha’ karya Imam Malik dan al-Sunan al-Kubra anggitan al-Baihaqi juga menunjukkan betapa besar atensi Islam terhadap lingkungan. Tersebut bahwa sebelum Yazid bin Abu Sufyan bertolak melakukan ekspansi ke Syam, Abu Bakar membekalinya dengan beberapa nasihat. Antara lain agar ia tidak membunuh mereka yang tua renta, anak-anak, perempuan, dan jangan sampai menebang pohon yang berbuah. Perhatikan, betapa menebang pohon secara serampangan disejajarkan dengan tindak pembunuhan. Tak berlebihan kita mengatakan bahwa menebang pohon sembarangan bentuk kejahatan yang kurang lebih sama jahatnya dengan menghilangkan nyawa orang.
Dengan demikian, wajar pula jika sanksi ukhrawi yang diperuntukkan bagi para perusak lingkungan juga tidak main-main. Salah satu ancaman keras bagi perusak lingkungan tersebut dalam hadis riwayat Abu Daud berikut. “Barangsiapa yang menebang pohon bidara di tanah tandus yang menaungi orang yang bepergian dan hewan ternak secara serampangan tanpa alasan yang jelas, maka Allah akan merendam kepalanya ke dalam api.”
Barangkali tak sepenuhnya salah menyebut pandemi ini sebagai hukuman Tuhan bagi kesalahan kita. Tetapi bukan pada tataran moral ataupun keyakinan. Melainkan dalam ranah interaksi dengan lingkungan. Corona menjadi semacam warning agar kita segera insyaf dan bertobat dari segala macam jenis kesalahan dan kekufuran ekologis. Jika tidak, hukuman yang lebih berat akan diterima –kalau bukan oleh kita sekarang berarti anak cucu kita di masa depan, bahkan tanpa harus menunggu hari kebangkitan. Dan hawa panas kepala perusak lingkungan yang direndam di neraka barangkali sudah bisa kita rasakan kini, dalam bentuk kepanikan massal menghadapi makhluk bernama Corona.