Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 15 Syawal, adalah hari peringatan haul KH. Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren al-Falah Karangharjo, Silo, Jember. Sebagai alumnus pondok pesantren itu, saya akan mencoba mengenang beliau dengan membacakan manaqib beliau yang menurut saya sedikit banyak dapat diambil hikmahnya di masa pandemi COVID-19 ini.
Berdasarkan cerita-cerita tutur yang saya dengan dari beberapa alumni santri sepuh, KH. Syamsul Arifin ini betapapun beliau adalah seorang pendiri sekaligus pengasuh sebuah pondok pesantren, dalam kesehariannya lebih sering mengenakan pakaian ala Madura daripada ala kiyai. Murid dari KH. Abdullah Sajjad Pondok Pesantren an-Nuqayah Sumenep ini, dalam berkegiatan sehari-hari sering terlihat mengenakan pakaian hitam, kaos merah putih, dan odeng (ikat kepala ala pendekar Madura).
Di luar kebiasaan beliau mengenakan pakaian khas Madura tersebut, menurut beberapa penuturan alumni santri sepuh, kiyai yang berasal dari Guluk-Guluk Sumenep Madura ini juga kerap “nyongkel sekep” (membawa senjata tajam, seringnya berupa celurit yang diselipkan di pinggang). Ke manapun beliau pergi, beliau selalu istiqamah “nyongkel sekep”. Bahkan dalam keseharian di lingkungan pondok pesantrenpun beliau juga istiqamah “nyongkel sekep”.
Prinsip beliau, “Mon bedeh oreng, man dekman tak nyongkel, aruah oreng sombung. Oreng ruah lah aromasah teggu.(Kalau ada orang yang ke mana-mana tidak membawa senjata itu namanya orang sombong. Dia sudah merasa dirinya kebal.)” Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut dan untuk menghindarikan diri dari sikap sombong, beliau pun kemana-mana selalu “nyongkel sekep”. Pendek cerita, senjata tajam yang beliau bawa itu adalah semacam pengingat agar beliau tidak jatuh pada sikap sombong.
Prinsip menjaga diri dari kesombongan ini adalah salah satu ajaran Rasulullah, walaupun dengan konteks yang berbeda. Untuk konteks arab pada masa Rasulullah, saat itu Rasulullah menjaga diri dari kesombongan dengan menggunakan pakaian di atas tumit, sementara pada konteks KH. Syamsul Arifin adalah dengan “nyongkel sekep”.
Lantas bagaimana untuk konteks pandemi COVID-19 seperti saat ini? Bagaimana menjaga diri dari kesombongan di masa pandemi COVID-19?
Kalau pada masa KH. Syamsul Arifin, hal yang secara nyata di hadapi adalah era kolonial dan era mempertahankan kemerdekaan (agresi militer Belanda I dan II). Hal yang saat itu dihadapi adalah moncong senjata para penjajah dan senjata-senjata tajam para preman kampung. Karena saat itu, di desa Karangharjo, Silo, Jember, selain ada ancaman penjajah, juga ada ancaman preman. Desa itu dikenal sebagai sarang preman.
Masuknya KH. Syamsul Arifin ke desa Karangharjo, tidaklah diawali dengan mengajarkan kitab kuning, melainkan mengajarkan pencak silat dan ilmu kanuragan. Berkat keunggulan beliau di bidang ini, pada akhirnya preman-preman di sekitar itu banyak yang insaf bahkan anak-anaknya kemudian di mondokkan di Pondok Pesantren al-Falah. Begitulah konteks zaman yang dihadapi oleh KH. Syamsul Arifin. Maka tidak heran jika, dalam rangka memelihara dari kesombongan, beliaupun dalam kesehariannya istiqamah “nyongkel sekep”.
Sementara, untuk saat ini bahaya yang dihadapi kita hadapi adalah virus korona, bukan moncong senapan penjajah atau senjata tajam preman. Strategi menjaga diri dari kesombongan pun berubah. Memelihara hati agar tidak tergelincir pada sikap sombong saat ini bukan lagi melalui “nyongkel sekep,” melainkan lewat penjarakan sosial, penjarakan fisik, pakai masker, cuci tangan, dst.
Segala upaya yang direkomendasikan oleh para saintis itu haruslah senantiasa dilakukan oleh kita saat ini, agar kita semua tidak tergelincir pada kesombongan. Untuk konteks saat ini, prinsip KH. Syamsul Arifin yang telah disebut di atas, kurang lebih bisa diterjemahkan menjadi seperti ini: “Barangsiapa yang saat ini masih sering keluyuran mengunjungi kerumunan baik di pasar, mall, maupun tempat ibadah, dan tidak mengenakan masker serta rajin cuci tangan. Maka ia adalah termasuk orang yang sombong. Ia merasa dirinya sudah kebal dari virus korona.”
Kontekstualisasi pesan itu agaknya dipraktikkan dengan baik oleh generasi-generasi penerus KH. Syamsul Arifin. Biasanya, setiap tanggal 15 Syawal, Pondok Pesantren al-Falah Jember selalu istiqamah menyelenggarakan istighasah akbar memperingati haul KH. Syamsul Arifin. Namun, untuk tahun ini, acara yang biasanya dihadiri ribuan orang itu tidak lagi dihelat. Peniadaan istighasah akbar memperingati haul KH. Syamsul Arifin ini dilakukan dalam rangka menghindari penularan virus korona.
Begitulah kira-kira selintas tentang manaqib KH. Syamsul Arifin dan kontekstualisasinya di masa Pandemi COVID-19 yang kita hadapi bersama saat ini. Berhubung saat ini masih tidak jauh dari tanggal 15 Syawal, saya mohon keridla’an sidang pembaca sekalian untuk sejenak mendoakan beliau. Semoga allah senantiasa memberikan rahmat dan ridlanya untuk KH. Syamsul Arifin. Amin.
Tulisan yang inspiratif tapi bagian artikel ini ada yang ditulis menggunakan Bahasa Madura yang kaidah kebahasaannua kurang tepat. Pun demikian saya kira orang madura paham maksudnua sebab secara dialektik mereka memang kurang begitu memperhatikan aspek kebahasaan baik secara fonologis dan morfologis.