“Ustaz, apa hukumnya minum kopi di bulan suci Ramadan?” Tanya seorang pemuda di tengah obrolan santai. Ustaz yang ditanya tidak segera menjawab, dia hanya toleh kanan kiri. Pemuda lain yang ada di tengah obrolan itu menegaskan bila pertanyaan itu penting, “Ustaz, dia kerja sebagai barista di warung kopi. Makanya dia tanya itu.”
Sang ustaz diam saja. Dia tampak ragu, mungkin dia berpikir, “Ini pertanyaan sungguhan, sejenis ujian, atau tebak-tebakan?”
“Apa hukumnya, Ustaz?” penanya seperti mendesak.
“Ayo jawab Ustaz. Jawaban ente salah juga tidak masalah. Tidak akan kami laporkan Kemenag, biar ente tetap masuk mubalig recommended Kementerian Agama,” yang lain menyaut.
Mereka yang ada dalam obrolan tertawa terbahak-bahak, termasuk ustaz. Mereka memang sebaya, biasa bergurau tanpa batas di serambi masjid.
Ustaz akhirnya menjawab, meski dia ragu ini pertanyaan serius:
“Minum kopi di siang hari di bulan suci ya bikin batal puasa. Jika bedug Magrib berbunyi, tapi tidak ada makanan dan minuman kecuali segelas kopi, maka hukumnya wajib minum kopi. Jika minum kopi di malam hari membuat kita semangat membaca Alquran atau membaca buku, hukum minum kopi sunah. Tapi jika minum kopi bikin mules-mules, mencret, minum kopi makruh.”
“Ah ustaz, serius amat jawabannya,” kata seorang lagi nyeletuk.